Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Satu Hari di Mana Cokelat Menjadi Haram

13 Februari 2019   21:58 Diperbarui: 14 Februari 2019   21:21 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Box of Chocolate - Foto: pexels.com

Perdebatan yang membahas kaum siapa mengikuti kaum siapa kian banal. Yang tercipta adalah gesekan dan peyorasi makna coklat dan kasih sayang. Hari kasih sayang tanggal 14 Februari nanti menjadi satu hari dimana coklat diharamkan satu kaum, secara implisit.

Namun setelah hari ini berlalu. Coklat kembali menjadi komoditas mood booster. Tanpa embel-embel hari kasih sayang. Bahkan tanpa embel-embel dianggap mengikuti adat kaum asing.

Saya coba bayangkan narasi imajiner pengharaman coklat di hari tersebut. Berikut dampaknya secara imajiner juga. Baik itu yang cukup esktrim, sedang dan wajar.

Dalam contoh imajiner ekstrem. Satu minggu sebelum hari Valentine. Terjadi penggeledahan toko, minimarket, dan supermarket yang menjual coklat. Setiap orang berusaha diam-diam dan terselubung menjual coklat bak menjual narkoba. Persekusi terjadi bagi oknum penjual dan pengedar coklat. 

Coklat pun menjadi barang mahal. Bukan lagi dijual per-bungkus atau paket. Tetapi ditera dengan berat gram atau ons. Semakin berat dan langka. Semakin mahal harga coklat.

Orang yang mendapat coklat langka dan mahal ini dianggap mengungkap perasaan cinta dan kasih yang superior. Karena setidaknya mendapat dan mencarinya mengancam diri bahkan nyawa.

Pada kondisi imajiner sedang, kondisi lebih baik tapi tetap tidak kondusif. Banyak pihak, ormas, dan golongan masyarakat mengadakan demo. Jauh sebelum tanggal 14 Februari, demo diadakan berjilid-jilid.

Mereka meminta menghentikan distribusi coklat seminggu sebelum dan sesudah hari Valentine. Bagi toko-toko yang men-display dan menjual coklat wajib menyembunyikan coklat dari pandangan. Jika tidak, akan ada inspeksi dari peserta demo berjilid-jilid tadi.

Jika kaum lain ingin membeli coklat. Maka diminta menunjukkan KTP agar terlihat keyakinannya. Jika ada penjaga toko yang ketahuan menjual coklat ke kaum tertentu. Maka akan ada konsekuensinya.

Bagi yang ketahuan menjual, memajang, dan membeli coklat, tidak dipersekusi. Namun menjadikan ia bulan-bulan netizen pendukung demo anti-coklat. Mulai dari foto dan identitas secara candid diambil dan direkam. Lalu diunggah ke sosmed.

Pada kondisi imajiner wajar contohnya seperti saat ini. Coklat dilekatkan dan dipaksakan sebagai simbolisasi tradisi kaum lain. Haram menjadi sebuah label yang terselip dalam makna dan pemaknaannya.

Tidak ada pelarangan, intimidasi atau persekusi bagi pembeli dan pemberi coklat di hari Valentine nanti. Yang terjadi hanya kegaduhan satu minggu sebelum dan sesudah tanggal 14. Beragam wacana dan pro-kontra hari kasih sayang dan pemberian coklat memenuhi linimasa dan kepala.

Sayangnya, hal ini banal diulang tahun demi tahun. Tahun kemarin, dua tahun lalu, bahkan mungkin tahun depan. Semakin terakumulasi wacana coklat haram di hari Valentine. Semakin banyak pula 'pengikut' keyakinan ini.

Lima tahun dari sekarang, bisa jadi kita beralih ke kondisi imajiner sedang. Konflik sosial pun bisa terjadi. Pemerintah urung campur tangan karena katanya masalah keyakinan adalah urusan personal.

Namun negara luput melihat kalau wacana sudah menjadi tindak nyata. Karena begitu masifnya pendukung dan kuatnya keyakinan atas coklat yang dapat menyelewengkan sebuah keyakinan. Kondisi imajiner ekstrim mungkin bisa terjadi. 

Semua hanya gegara satu hari dimana coklat menjadi haram.

Salam,

Solo, 13 Februari 2019

09:55 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun