Namun yang pasti, dibalik akun-akun penyebar hoaks ada manusia nyata. Seseorang yang begitu takut dan licik akan tindak berbohongnya. Iapun bersembunyi dibalik tembok-tembok digital.
Hoaks itu kreatif dan reaktif, sedang cek fakta itu logis dan menjemukan.
Seperti pernah saya tulis di artikel hoaks sebagai sebuah kreatifitas subversif. Orang yang melek dunia digital bisa dengan mudah membuat kebohongan.Â
Tinggal memotong sebuah video, mengubah subtitle, atau merekayasa foto. Beri narasi yang emosional dan huruf kapital pada kalimat pembuka narasi.Â
Tak lupa memakai tagar yang trending sambil men-tag banyak orang. Maka kabar bohong demi klik dan sensasi pun bisa diciptakan. Tidak perlu komputer canggih. Hanya sebuah smartphone berisi kuota internet atau WiFi.
Sedang mencek fakta adalah rigiditas berfikir yang berpadu dengan skill digital forensic yang cukup. Kekakuan dalam merepresentasi fakta. Ditambah bahasa yang cenderung ilmiah. Juga beragam link yang butuh kuota untuk diketahui kebenarannya. Membuat fakta menjemukan.
Memahami verfikasi fakta atas hoaks memerlukan waktu berfikir logis. Tak jarang, viralitas hoaks jauh mengungguli verifikasi faktanya. Bukan karena orang tidak mau tahu faktanya. Tapi kadang hoaks yang baru lebih menarik dari verifikasi fakta hoaks sebelumnya.
Maka semua kembali kepada manusianya. Hoaks yang kadung viral dan berdampak negatif secara sosial. Tak lain adalah akibat dari lemahnya dan disepelekannya literasi digital dan media dalam pendidikan.
Pendidikan kita timpang karena berfokus pada kognisi bukan critical thinking. Parameter pintarnya peserta didik dinilai dari nilai, raport, UN dan sekolahnya. Dalih collaborative learning menjadi jargon belaka. Karena guru kadang takut jika siswa menjadi kritis dan lebih pintar dari gurunya.Â
Pembelajaran masih menjadi mentransfer ilmu dari guru kepada siswa. Siswa cukup diam, perhatikan, dan kerjakan. Karena guru hanya ingin siswa menurut saja. Juga karena guru sudah cukup terbebani sekolah dan administrasi yang menggunung.
Berfikir kritis bukan menjadi pondasi pendidikan kita secara riil. Prinsip ini cukup menjadi narasi idealisme dalam kurikulum. Sistem pendidikan beserta perangkat pendidikan yang juga tak melek digital memperparah iklim negatif hoaks.
Karena yang sering disorot banyak guru dan dosen yang malah menyebarkan hoaks. Saat mereka menuntut peserta didik berfikir kritis. Mereka dengan pongah menyebarkan kabar bohong. Sebuah ironi yang kini sering kita jumpai.