Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perang Monopoli Informasi Tsunami Anyer

1 Januari 2019   21:48 Diperbarui: 2 Januari 2019   13:11 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya, tulus saya haturkan duka cita mendalam kepada 600 lebih korban tsunami Anyer beberapa minggu lalu. Semoga keluarga korban yang ditinggalkan diberi ketabahan dan keikhlasan. Dan wilayah terdampak dapat pulih dan bangkit seperti sediakala.

Ada yang menarik dari peristiwa tsunami Anyer ini. Pihak seperti BMKG 'kepleset' dalam memberikan kabar terkini tsunami Anyer. Sedang Kumparan yang terdahulu mengabarkan, gegap gempita dilabeli sebagai penyebar hoaks oleh warganet. Sedang yang terjadi adalah Kumparan benar dan BMKG cenderung salah mengabarkan.

Peristiwa tsunami seperti di Anyer beberapa waktu lalu tentu berbahaya. Karena peristiwa ini memakan dan mengancam korban jiwa. Apalagi distribusi informasi yang salah dan cenderung tidak berbasis fakta seperti tsunami Anyer ini memiliki potensi membahayakan. Pihak kredibel seperti BMKG dan Kumparan pun terjebak dalam perang informasi.

Kumparan-lah yang memberitakan kebenaran tsunam Anyer lebih dulu pada dini hari (23/12/2018). Namun netizen terbelah saat pemberitaan ini dirilis. Apalagi saat hampir bersamaan. Sutopo Purwo Nugroho sebagai Kepala Pusat data dan Humas BNPB mengkounter isu tsunami di Anyer. 

Beliau hanya berkata apa yang terjadi di Anyer adalah gelombang tinggi. Warganet otomatis percaya sekaligus terbelah. 

Rekam jejak Sutopo yang kredibel dan faktual menjadi referensi real-time warganet. Informasi kebencanaan selalu dirilis via akun Twitter beliau. Sedang Kumparan sebagai portal berita arus utama pun sering dijadikan referensi informasi publik.

Namun kini, publik tetap merasa kebingungan dengan perang informasi yang telah terjadi. Apakah dampak yang terjadi dari perang informasi yang telah terjadi. Dua pihak, baik Sutopo (dan BMKG) dan Kumparan adalah persona yang kredibel di dunia maya.

Kuasa Informasi di Tangan Beberapa

Informasi di era Technopoly menurut Postman (1993) dimonopoli beberapa elit. Informasi yang didistribusikan via medium teknologi pun terbatas. Tak jarang, informasi yang ada sekadar akses pada pengetahuan sebenarnya. Seperti akses Jurnal Ilmiah populer yang meminta kita untuk berlangganan.

Yang terjadi pun demikian dengan BMKG vice versa Sutopo dalam mengabarkan tsunami Anyer. Baik akun BMKG dan Sutopo sudah terverifikasi Twitter. Dua akun ini memiliki kekhasan ranah informasi. Antara lain mitigasi kebencanaan, penangangannya, dan laporan pandangan mata.

Publik berasumsi informasi kedua akun adalah kredibel. Secara implisit terjadi penguasaan informasi. Namun 'monopoli' seperti peristiwa kebencanaan ini penting di era misinformasi. Sampai sebelum peristiwa tsunami Anyer, mungkin publik memiliki kepercayaan tinggi.

Sedang Kumparan melalui laporan jurnalisnya yang kebetulan berada di Anyer. Jurnalis Kumparan sempat melihat air surut sebelum tsunami terjadi. Dan setelah tsunami menghantam pantai Anyer dan sekitar. Dengan segera informasi ini dirilis melalui portal berita Kumparan.

Publik tidak percaya begitu saja. Karena toh model judul berita dalam jurnalisme digital saat ini bernuansa tabloidisasi. Dengan kata lain, judul berita lebih cenderung clickbait atau mengundang klik. Saya pribadi pun sempat menyangka apa yang diberitakan Kumparan sebagai hoaks.

Kumparan sebagai portal berita investigatif memang laik memberikan informasi aktual. Apalagi di era jurnalisme digital yang pesat dan kompetitif ini. Menjadi nomor satu dalam hasil penelusuran Google dan PageRank sosial media menjadi tujuan. Salah satunya, memberikan judul sensasional bermodel tabloidisasi.

Confusion - Ilustrasi: foodinsight.org
Confusion - Ilustrasi: foodinsight.org
Tabloidisasi adalah terma yang digunakan jurnalis abad ke-18 di Inggris. Tabloidisasi umumnya ber-headline sensasional guna menarik perhatian pembaca. Kombinasi pemberitaan aktual dengan mode tabloid kini sering dijumpai di dunia digital. Tujuan utamanya tentu menarik klik dan share pembaca. Walau diakui, tidak selamanya judul sensasional berbanding timpang dengan isinya.

Namun mindset warganet sudah begitu jenuh pada judul berita sensasional ini. sedang pihak media massa digital menginginkan beritanya aktual, trending, dan banyak visit. Dan bagi mereka yang melek dunia literasi digital, tak jarang enggan mengunjungi berita macam tadi. Tak jarang juga cukup sekilas membaca judul berita langsung dilabeli hoaks.

Sampai pihak BMKG merevisi dan meminta maaf atas misinformasi tsunami Anyer pun. Mungkin saya atau banyak orang yang merasakan konflik kepercayaan. Saat model berita clickbait memenuhi linimasa kita. Kini institusi dan persona kredibel pun terpleset ke dalam distribusi misinformasi yang cukup berbahaya.

Publik merasa dibohongi Sutopo dan BMKG. Dan di saat bersamaan, prasangka buruk pribadi pada Kumparan enggan diungkap. Karena misinformasi peristiwa macam tsunami ini tentu tidak boleh dimaklumi atau dianggap sepele. Selain merusak secara fisik, korban jiwa pun tentu berjatuhan.

Miskomunikasi yang Berbahaya

Patut diakui, kesalahan mengabarkan peristiwa tsunami Anyer ini bisa fatal dampaknya. Perspektif jurnalisme yang diwakili Kumparan tidak sejalan dengan kepakaran BMKG dan Sutopo. Dan yang baru saja terjadi kemarin adalah kedua belah pihak merasa memiliki kuasa atas informasi tersebut.

BMKG melalui Sutopo, berhak mendistribusi berita tentang kebencanaan. Sedang Kumparan merasa peristiwa tsunami Anyer tentu bersifat newsworthy. Saling mendahului dalam mengabarkan dianggap wajar dalam distribusi informasi dunia digital. Apalagi ketika kedua pihak dianggap kredibel.

Namun bukankah ada baiknya kedua pihak ini saling berkoordinasi dalam peristiwa tsunami Anyer. Saya pribadi tidak tahu secara riil apakah Kumparan sudah mengkonfirmasi ke BMKG sebelum mengabarkan tsunami Anyer. Bisa jadi karena anggapan jurnalis sekadar mengabarkan dan bukan ahlinya. Laporan yang masuk bisa jadi dinafikan.

Sedang BMKG (dan Sutopo) mungkin tidak ada personil di lapangan saat tsunami Anyer terjadi. Tweet Sutopo pun menampilkan video yang diduga air pasang di sebuah pelataran hotel di Anyer. Sehingga belum tentu saksi mata ini faham atau mengerti mengenai jenis, gejala dan efek, tsunami. Tetapi Sutopo via kicauannya segera silap mengabarkan.

Atau seandainya pihak jurnalis Kumparan di lokasi menghubungi langsung pihak BMKG via video conference. Konferensi via video call ini setidaknya bisa memberikan indikasi dan laporan langsung sang jurnalis Kumparan kepada BMKG. Sebelum mengabarkan bahwa terjadi tsunami di Anyer.

Sehingga kedua belah pihak bisa bermufakat bahwa yang terjadi adalah tsunami. BMKG dan Sutopo tidak perlu mengabarkan warga Anyer untuk kembali ke tempat tinggal. Dan Kumparan dengan melansir informasi BMKG bisa lebih dipercaya saat mengabarkan.

Nafsu mengabarkan pertama dan aktual mungkin terlintas dalam benak jurnalis Kumparan. Sedang BMKG dan Sutopo berseloroh yang terjadi hanya korban tinggi untuk mencegah kepanikan warga. Walau sejatinya, saat kejadian dan sesudahnya kedua belah pihak bisa bekerjasama mengabarkan.

Ini adalah pelajaran bagi media massa digital dan institusi negara ini. Tidak terjalinnya komunikasi institusi pemegang informasi dapat berdampak buruk untuk publik. Peristiwa Anyer harusnya memberi refleksi kedua pihak. Miskomunikasi malah berimbas pada misinformasi.

Dan misinformasi pada tsunami Anyer mempertaruhkan unsur moril dan materil.

Salam,
Solo, 01 Desember 2019


09:48 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun