Maaf jikalau saya berkata, selfie di kala bencana itu minim etika. Alasan seperti laporan kegiatan donasi, berbagi kesedihan, atau sebagai simbol rasa syukur kita tidak terdampak. Semua alasan ini non-sense, irasional.
Keprihatinan plus kegundahan saya bukan tanpa alasan. Saya tertegun setelah membaca artikel The Guardian berjudul 'Destruction Gets More Like: Indonesia Tsunami Selfie-Seekers'. Reporter The Guardian, Jamie Fullerton melihat, mewawancara, plus melapor foto para pencari selfie bencana paska tragedi tsunami Anyer.
Dengan beragam alasan mereka datang ke area bencana untuk mengabadikan selfie . Mereka tak ragu befoto di lokasi terdampak tsunami Anyer dengan senyum dan 'perjuangan'. Dalam artikel diatas, bahkan seorang ibu yang rela berjuang menembus kubangan banjir. Semua demi mendapat selfie dekat sebuah mobil yang terseret ke tengah sebuah kubangan tadi.
Untuk apa selfie selain disebar via sosmed atau grup chat? Lalu saya sendiri berfikir. Jika sudah selfie di tengan bencana. Apa mereka merasa bangga?
Momen bencana tentu mengundang empati dan simpati kita pada umumnya. Tidak ada orang yang ingin tertimpa bencana di daerahnya. Dari akun individu di medsos sampai berita arus utama akan meliputnya. Tentu dengan durasi dan liputan yang komprehensif.
Namun, wajarkah saat korban terdampak menderita dan kesusahan. Para pencari selfie berfoto (kadang dengan wajah tersenyum) di reruntuhan atau kamp pengungsian. Apakah foto selfie benar-benar diperlukan dan dibutuhkan banyak orang?Â
Lalu teman di Facebook atau WhatsApp apakah juga turut bangga melihat si A ber-selfie di tengah bencana. Saya pribadi, urung memberi like atau komentar pada posting seperti ini. Dan mungkin banyak dari kita yang memberi teguran kepada orang demikian.
Pertama, memberi like berarti ikut minim etika pada bencana yang terjadi. Karena memberi like bisa jadi menyetujui tingkah orang tersebut. Dan di lain waktu, mereka bisa saja mengambil foto selfie di daerah bencana lain. Atau bahkan kala sebuah kecelakaan.
Selain menjadi 'candu', like di Facebook dirasa sebagai pengakuan sosial seseorang. Namun sayangnya, banyak yang menempuh cara ekstrim guna mendapatkannya. Mulai dari selfie bencana atau selfie wisata yang destruktif.
Menyaksikan berita penanganan dan pemulihan daerah terdampak via TV atau sosmed  saya kira cukup. Jika tidak berkompeten menolong atau berkuat hati menjadi relawan. Memberi donasi via organisasi atau kelompok juga cukup membantu.
Kedua, memberi teguran kepada pencari selfie bencana memiliki efek bumerang. Semakin dilarang, biasanya kengeyelan yang akan muncul. Bias perspektif mereka dengan logika personal akan menjadi dalih. Semakin ditantang, biasanya mereka akan semakin senang.
Mencari pembenaran seperti agar kita bersykur, sebagai laporan pandangan mata, dll, dilakukan. Dan kadang berdebat dengan mereka akan sia-sia dan memakan waktu dan tenaga. Tak jarang demi mempertahankan argumen, menyeran individu bisa dilakukan.
Ada baiknya usah dan urung mengikuti selfie bencana untuk diri pribadi kita. Pengakuan sosial seperti ini malah akan membuat mereka semakin ekstrim bertindak via sosmed.
Cukup camkan dalam hati kita, 'Think in the shoes of someone'. Dengan kata lain, mencoba berfikir seperti para korban terdampak bencana. Bagaimana perasaan kita saat melihat orang lain riang ber-selfie di rumah kita yang hancur.Â
Salam,
Solo, 27 Desember 2018
11:00 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H