Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Konten Menyesatkan (Clickbait)

11 Desember 2018   19:30 Diperbarui: 11 Desember 2018   20:30 1350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Misleading - Ilustrasi: adstandards.com.au

"Inordinate magazine reading has, in some degree, generated, and will be apt to further generate, a false taste and a feverish desire for the rapid acquisition of superficial information." Pengamat tahun 1836 dalam Gershon 2016.

Sejarah Jurnalisme Tabloidisasi

Penerbitan majalah di abad ke-19 dimulai pertama kali oleh para elit British. Menurut Brian Maidment (2010), kemunculan majalah menjadi sebuah ledakan konsumsi informasi publik. Majalah menawarkan format kecil dan mudah masuk kantong. Ditambah konten yang dan cover yang menitikberatkan gambar/ilustrasi.

Di salah satu majalah abad ke-19, Miniature Magazine berseloroh di tagline mereka. Membaca majalah ini 5 atau 1 jam, Anda tetap mendapat informasi yang sama-sama bermanfaat. Maidment melihat redaksi dan penerbit majalah ini yang menawarkan hal yang singkat dan menarik pembaca. Walau pada satu sisi, publik mendapat informasi yang cenderung sepele.

Majalah Spirit of The Times malah menggantungkan konten dari koran/majalah lain.  Awalnya, tiap isu majalah ini membahas kabar terkini. Dengan gambar besar dan menarik. Namun berselang 1 tahun, majalah ini tidak lagi menggunakan konten asli. Tekanan waktu penerbitan dan opini yang rendah untuk para pembaca jadi alasan. Dan yang lebih penting, pengalihan isu lebih bisa menjual daripada fakta.

Dengan menganut prinsip informasi padat, aktual, dan sensasional. Jurnalisme tabloidisasi diadaptasi di beragam negara. Jonathan Pulitzer menerbitkan The World bersama Alfred Hamsworth, penggagas tabloid Daily Mirror di UK. Di tahun 70-an, American Media Inc. membuat banyak jenis tabloid. Salah satunya Sun yang berisi artikel konspirasi, berita hoaks alien, kejadian supranatural, dll.

Jurnalisme tabloid dianggap menjadi cikal bakal informasi clickbait yang kita kenal saat ini (Chen, Conroy dan Rubin 2015). Banyak yang melabeli tabloidisasi sebagai antithesis objektifitas dan akuntabilitas jurnalisme. Fokus jurnalisme tabloid yang banyak berfokus pada mencari perhatian dapat mengaburkan garis batas antara fakta dan fiksi para pembaca. 

Darkside of Clickbait - Ilustrasi: franchisehelp.com
Darkside of Clickbait - Ilustrasi: franchisehelp.com
Clickbait dan Curiosity Gap

Sejak internet menjadi medium diseminasi informasi masif dan real-time. Banyak informasi baik via portal berita maupun sosial media mencoba meraih perhatian dan klik users. Gabielkov dkk (2016) melihat budaya sharing information signifikan pengaruhnya pada persebaran berita, penggiringan opini dan difusi komunikasi langsung (word-of-mouth). 

Namun dari total 2,8 juta share berita, 59% link tidak pernah diklik menurut riset Gabielkov, dkk diatas. Link share ini disebut silent click, dimana users cenderung hanya membaca dan berbagi headline berita tanpa mengamati konten. Berita dari situs non-populer yang mengandalkan headline pun lebih banyak diklik (60%-90% probabilitas) daripada portal berita mainstream.

Co-founder situs Upworthy Peter Koechly, membeberkan rahasia mengapa situsnya mendapat banyak share via Facebook. Sejak tahun 2013, situs Upworthy semakin populer karena headline yang dianggap clickbait. Koelchy membeberkan, bahwa headline berita yang memprovokasi dapat membuat users terikat secara emosional. Dengan kata lain, Koechly mengerti konsep curiosity gap yang dicetuskan oleh Golman dan Lowenstein (2014).

Curiosity gap adalah insting manusia untuk menjembatani jurang informasi pada sebuah informasi. Kita akan memiliki motivasi intrinsik dan ekstrinsik untuk mencari jawaban. Walau akan ada resiko, ambiguitas, bahkan kekecewaan pada jawaban yang didapat dari keputusan kita. Dan hal inilah yang dieksploitasi jurnalisme tabloid atau clickbait di era digital saat ini.

Clickbait Sebagai Misinformasi

Apa jadinya jika clickbait menjadikan kita kesulitan menemukan fakta. Kita sebagai users pun terjebak mendiseminasi hoaks alias berita bohong. Apalagi motivasi menyebarkan hanya headline informasi ini didorong sikap partisan, sentimen agama, maupun politis. Yang untung secara finansial adalah portal berita yang merekayasa atau memframe berita sesuai prinsip clickbait.

Salah satu contoh berita clickbait ditemui pada fans page Facebook yaitu FAFHH dari Mafindo. Judul berita diatas, yang dilansir dari portal-islam.id memampang headline provokatif "Astagfirullah, Musibah Gunung Agung Presiden Malah Bilang Sebagai 'Tontonan Tambahan'". Headline yang bermuatan politis dan sentimen agama ini memframe negatif Presiden. Sedang situs korpri.id sebagai referensi berita ini saat ini mengarah pada toko baju online.

Berita Clickbait dari Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks di Facebook - Screenshot Facebook FAFHH
Berita Clickbait dari Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks di Facebook - Screenshot Facebook FAFHH
Selain headline clickbait yang bermuatan politis setidaknya ada 9 jenis headline lainnya. Contoh headline seperti "A Man Tries to Hug a Lion, You Won't Believe What Happens Next!" Memeluk singa saja sudah mengundang penasaran. Headline ini semakin memprovokasi logika kita untuk melihat apa yang terjadi berikutnya. Share atau klik pun kita lakukan.

Judul headline diatas benar berisi seorang pria memeluk singa, yaitu Kevin Richardson. Namun frasa headline tentang 'What Happens Next' cukup menipu. Karena yang terjadi selanjutnya adalah Kevin yang merupakan seorang Zoologis berkata bahwa habitat singa mulai terancam. Jadi secara logika, kita terperangkap mencari tahu informasi judul dengan konten yang kadang tidak sesuai ekspektasi.

Kita Buntung, Mereka Untung

Terjebak men-share dan membaca berita clickbait yang kini masif dan real-time via sosmed mengelabui naluri curiosity gap. Judul berita beraliran jurnalisme tabloid yang mengundang sensasi bukan esensi dapat mengaburkan pola berfikir kritis. Apalagi saat sosmed dan mesin peramban mempersonalisasi hasil pencarian. Users yang sering mengklik berita clickbait tentu akan semakin terpenjara dalam misinformasi.

Yang diuntungkan tentu para pemilik situs atau link yang dituju. Meraih banyak visit via klik di sosmed kini menjadi pola umum yang diterapkan. Visit mungkin tidak seberbahaya phising atau scamming dari link/situs yang dikunjungi. Ancaman malware yang mengintip rekening, menutup akses file komputer, sampai menguasai kontrol komputer kita bukan lagi kasus yang jarang ditemui.

Apalagi saat kampanye politis untuk kepentingan kampanye berlangsung. Hanya dengan headline saja, fanatisme partisan bisa saja tersulut. Silent click yang terjadi membuat gaduh sosmed. Walau judul berita dengan konten berita jauh panggang dari api. Saring Sebelum Sharing (3S) sebelum berbagi informasi di dunia digital menjadi langkah praktikal yang bisa kita lakukan.

Jenis misinformasi sebelumnya Satir atau Parodi

Salam,

Solo, 11 Desember 2018

07:31 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun