Two ways of exercising power over men, of controlling their relations, of separating out their dangerous mixtures. The plague-stricken town, traversed throughout with hierarchy, surveillance, observation, writing; the town immobilized by the functioning of an extensive power that bears in a distinct way over all individual bodies --- this is the utopia of the perfectly governed city. Discipline and Punish - Panopticism, 1975 -Michel FoucaultÂ
Setiap hari, 300 juta foto diunggah di Facebook. Di Twitter, 400 ribu lebih tweet dibuat setiap menit. Instagram memfasilitasi 46.740 foto diunggah per menit. Dengan rerata perhari  mencapai 90 juta lebih foto. Sedang secara global, ada 5 miliar pencarian via Google .
Apa maksud data diatas? Ternyata kita begitu mudah dan belaka mengunggah semua tentang kita ke dunia digital. Entah itu berupa posting, foto bahkan video. Limpahan data tentang tiap users kini mencapai 2,5 quintillion bytes data. Angka ini setara 2,5 juta hardisk berkapasitas 1 terabyte.
Dampak secara ekonomis tentu big data ini menjadi target pengiklan. Sedang secara akademis, limpahan data ini tentu bisa dikembangkan menjadi network Internet of Things.Â
Dimana semua perangkat fisik maupun digital terkait satu sama lain. Dan harus kita terima, data diri kita menjadi 'bahan bakar' infrastuktur digital ini.
Panopticism Digital di Tiongkok
Saat Foucault menggagas Panopticism di tahun 70-an, kamera pengawas menjadi mata negara di kehidupan kita. Namun kini implementasinya bukan saja menguping suara telpon atau mengawasi dengan CCTV semata.Â
Era digital telah mendatangkan inovasi pengawasan (surveillance) ke arah yang lebih canggih. Mulai dari menggunakan face recognition kamera sampai pemolaan suara berdasar etnis dan logat dioperasikan di Tiongkok.
Model pengawasan pemerintah kepada warganya di Tiongkok menimbulkan pro dan kontra. Data personal digital mulai dari nama asli, email, nomor telpon, sampai lokasi tempat tinggal belum cukup untuk memonitor kita. Maka muncul istilah Multi-Modal Biometric (MMB) yang dicetuskan Liu Qinfeng sejak tahun 2012
MMB pertama kali dicetuskan oleh perusahaan teknologi asal Tiongkok, iFlytek. Perusahaan ini mengumpulkan sample suara guna menciptakan pola suara. Difasilitasi pemerintah, sample besar iFlytek dilakukan di propinsi Anhui. Di Anhui, iFlytek mengumpulkan 70,000 sample pola suara penduduk.Â
Peruntukan awal sample suara ini konon untuk ranah pertahanan dan keamanan negara. Namun pemerintah Tiongkok sendiri belum jelas menggariskan pola pengawasan dengan MMB ini.Â
Pemerintah Tiongkok  saat ini melakukan pengawasan masyarakat dengan kamera face-recognition. Di banyak tempat, kamera dan drone berkamera AI mengenali satu-persatu warga yang sedang beraktifitas.Â
Namun pada praktiknya, banyak kejadian salah tangkap akibat kamera ini. Sehingga banyak pihak yang melihat apakah perlu MMB dengan parameter pola suara dibuat juga.Â
Sehingga demi mengenali pelaku kejahatan, terorisme, dan radikalisme. Setiap orang di Tiongkok harus dikenali mulai dari data DNA sebesar zarah, wajah, sampai suara.Â
Kabarnya pemerintah Tiongkok pun telah membuat mesin Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi posting yang bernada mengkritisi pemerintah. Beberapa aktifitis dan tokoh politik berhasil diamankan polisi karena bersuara sumbang di sosmed WeChat.Â
Sehingga MMB yang diciptakan pemerintah Tiongkok bukan sekadar pengukuran fisik penduduknya. Jejak digital dan MMB menjadi acuan pengawasan holistik (atau mungkin panoptic).
Pengawasan dengan model seperti di pemerintah Tiongkok tentu menimbulkan pro-kontra. Pada satu sisi yang dipertaruhkan kita sebagai pengguna internet adalah kebebasan berpendapat dan privasi.
Pengawasan super ketat ala pemerintah Tiongkok tentu membungkam kebebasan berpendapat. Tiongkok sendiri dianggap independen dari pengaruh Google atau Facebook.Â
Penggunaan server dan platform sosmed negri sendiri memang ditekankan pemerintah. Tak heran Google, Facebook, Twitter dan ribuan situs lain diblok di negri tirai bambu ini.
Sehingga, tidak ada lagi sekat privasi untuk users baik dunia nyata maupun digital. Mungkin hal ini terjadi bagi publik di Tiongkok.Â
Mindset yang belum berubah menyoal menjauhkan campur tangan dan ideologi asing masih diterapkan pemerintah Tiongkok. Walau kini, mungkin banyak warganya yang mencari 'jalan tikus' untuk mengakali firewall ala pemerintahnya.
Sedang di sisi lain, pola ketat pengawasan seperti di Tiongkok bisa jadi karena menyangkut mencegah kejahatan dunia digital. Perancis saat ini sadar betapa Google telah begitu banyak 'mengawasi' warganya. Baik itu untuk maksud ekonomis, politis, dan inteligen. Sehingga sejak 2015, publik Perancis dihimbau menggunakan mesin peramban Qwant.
Rusia pun sedang membangun infrastruktur digital miliknya sendiri. Dan atas perintah Presiden Putin, semua pesan telekomunikasi dan enkripsi data harus diserahkan kepada badan siber pemerintah Rusia.Â
Dan pemerintah bisa menonaktifkan situs apapun tanpa perlu ada campur tangan pengadilan terkait.
Ketat dan hirarkisnya pengawasan banyak pemerintah dunia saat ini timbul karena kuasa US dan FCC. Dan faktanya banyak perusahaan teknologi besar seperti Alphabet (induk perusahaan Google), Microsoft, Facebook, dan Apple berkantor di US. Sehingga segala infrastruktur dan sumber daya disimpan dan 'dimiliki' mereka.
Kasus Wikileaksdengan Snowden yang membocorkan campur tangan CIA dan NRA yang mengawasi komunikasi digital dan telepon sempat membuat kita kaget. Belum lagi skandal Cambridge Analytica yang mengekspolitasi puluhan juta pengguna Facebook guna kepentingan politis beberapa kelompok saat Pemilu US di tahun 2016.
Untuk kita di Indonesia, gejala pengawasan dunia digital yang terlihat adalah pengawasan sosmed. Terutama menyoal penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian, pornografi, dan penipuan (scamming). Walau kini, model kamera AI untuk pengawasan diterapkan pada kamera untuk mengenali plat nomor kendaraan.
Sedang dalam perlindungan data pribadi digital, pemerintah belum cukup serius. Salah satu langkahnya seperti pendaftaran nomor telpon untuk mengurangi kejahatan dunia digital. Karena saat ini banyak platform digital yang menggunakan two-tier authentication, antara lain menggunakan nomor telepon pribadi yan terdaftar.
Langkah lain seperti memblokir platform dan situs juga cukup efektif melindungi pengguna internet kita. Telegram yang sempat dicurigai sebagai media komunikasi teroris sempat diblokir Kemenkominfo.Â
Sedang Tumblr pernah ditegur karena konten pornografinya yang meresahkan. Walau penyalahgunaan aplikasi sosmed ini juga tergantung tujuan dan penggunanya.
Paparan penduduk pada entitas pengukur biometris digital belum terjadi di Indonesia. Publik masih merasa kebebasan berpendapat mereka di dunia digital belum terkekang.Â
Walau faktanya hal ini ilusi semata karena pola filter bubble yang menyebabkan perspektif homogen. Tak ayal terjadi polarisasi berdasar preferensi politis dan agama yang begitu kuat di Indonesia.
Apakah Indonesia akan menerapkan pola Panopticon digital seperti Tiongkok. Atau mulai berbenah diri untuk membentengi diri dari campur tangan asing dengan hanya 'nuansa' Panopticon yang dibuat. Pemerintah kita membuat sendiri infrastruktur digitalnya guna keamanan negara secara politis dan konstitusinonal.
Konsep Panoticism dari Foucault mungkin terkesan dispotis dan represif. Namun dari kejadian yang melanda negara maju diatas, kita baiknya menyadari pola Panopticon untuk masa depan.Â
Hal ini untuk memastikan kedaulatan negara di dunia digital tetap ada. Dan barang tentu tidak menyerah dan mengikuti kemauan perusahaan teknologi besar dunia.
Tentu tidak dengan pola pengawasan yang mengekang dan cenderung melanggar kebebasan berpendapat dan privasi. Wajib para stakeholder keamanan, teknologi, dan inteligen mulai waspada dan siap untuk dampak buruk campur tangan asing via dunia digital. Butuh kewaspadaan, infrastruktur, bahkan sumberdaya yang melek akan dunia digital.
Salam,
Tangerang, 07 Desember 2018
05:19 pmÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H