Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membahas Fenomena "Jajan Pulsa"

17 November 2018   22:22 Diperbarui: 18 November 2018   03:34 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
No Connetion - Ilustrasi: talkofweb.com

Zaman saya memakai HP Nokia 3315 dulu. Membeli pulsa bukan sebuah aktifitas 'jajan'. Tetapi mata anggaran yang cukup mahal. HP sudah berisi pulsa Rp. 10.000 saja sudah sangat bersyukur. Karena tak jarang, membeli pulsa Rp. 5.000 harus rela mengambil pos anggaran yang lain.

Ditambah lagi berkirim SMS dengan harga Rp. 350. Jari dan fikiran tak henti mengecek sisa pulsa. Untuk menelepon via HP diusahakan jangan. Selain mahal karena dihitung perdetik. Untuk menelepon, saya lebih memilih ke Wartel yang dulu sempat menjamur dimana-mana.

Jadi buat saya, jaman dulu tidak ada yang namanya 'jajan pulsa'. Yang ada adalah membeli pulsa. Layaknya makna saat membeli pakaian. Karena tidak setiap hari saya 'jajan' pakaian.

Dengan jumlah pengguna aktif internet aktif mencapai 123 juta jiwa. Indonesia menempati urutan ke 6 dalam jumlah penduduk yang sudah terkoneksi internet. Kita tepat berada di bawah Jepang dengan hampir 100 juta lebih rakyatnya terkoneksi internet.

Sehingga di era digital, pulsa mungkin sudah laik dicap sebagai jajanan. Dan pulsa yang dibeli biasanya segera diubah menjadi paket kuota internet. Karena dengan koneksi internet dari pesan singkat, telepon, video call, sampai token game bisa didapat.

Seperti dilansir viva.co.id yang mengabarkan video anak yang merengek meminta kuota internet. Kepada sang ibu, anaknya begitu tantrum memohon kuota internet. Video ini sempat viral via sosmed. 

Ramai-ramai netizen menyayangkan fenomena ini. Salah satu netizen sampai berkomentar jajan pulsa lebih mengenyangkan daripada jajan (makanan).

Kita pun hendaknya patut mengkritisi fenomena ini. Mengapa pulsa (kuota internet) sudah menjadi jajanan? Sedang pulsa pun relatif tidak murah. Mungkin berikut beberapa alasannya.

Pertama, masyarakat kita yang kian terkoneksi membuat kita sulit melepaskan diri. Informasi publik maupun personal begitu cepat lalulintasnya. Di sosmed, kita selalu ingin tahu trending topic viral apa yang sedang terjadi. Pun, dengan chat personal via WhatsApp misalnya, kita dibuat menunggu dan terus berusaha me-reply.

Fear of Missing Out (FoMO) menjadi epidemi digital. Ketertinggalan informasi teranyar dapat berarti pengucilan di sosmed/grup chat. Sehingga lahir perasaan keterasingan dari obrolan/diskusi. Pun, kecemasan kadang muncul. 

Disadari atau tidak FoMO memaksa kita untuk selalu terkoneksi secara digital. Tidak adanya kuota internet membuat kecemasan. Baik itu tentang update berita politik, gosip artis, sampai menjaga leaderboard sebuah gim. Interkoneksi kadang menjadi adiksi yang tak kita sadari.

Smartphone Addiction - Ilustrasi: toonpool.com
Smartphone Addiction - Ilustrasi: toonpool.com
Kedua, karena masif dan beragamnya penawaran beragam paket internet. Mulai dari iklan provider dengan jaringan super cepat, kuota besar, sampai jangka waktu unlimited membujuk rayu hati dan fikiran kita.

Sejatinya ini adalah ilusi preferensi saja. Semua menawarkan kelebihan pada kuota internetnya. Sedang jaringan super cepat itu hanya di kota. Kuota besar juga ternyata termasuk fitur kuota film dan pembagian waktu. Unlimited pun dibatasi pemakaiannya hanya sekian gigabyte perhari.

Dengan jenis dan frekuensi iklan yang setiap hari kita saksikan. Seolah membuat fikiran kita 'dikalibrasi'. Kenyataan yang ada adalah paket internet itu murah, mudah didapat, dan banyak keuntungannya. Logika yang menyatakan pulsa itu mahal dan sulit didapat seolah melesap.

Ditambah efek FoMO diatas, membeli pulsa pun serasa ringan saja. Bak membeli sebuah camilan yang sebenarnya tidak membuat kenyang. Tapi entah kenapa seseorang seperti ketagihan akan camilan tersebut.

Dan dalam hal ini, dunia digital dan promosi provider telekomunikasi tidak sepenuhnya bersalah. Karena kontrol dirilah yang menjadi benteng logika. Karena toh kita dapat hidup normal walau tanpa kuota internet di tangan.

Secara praktikal, mungkin membatasi screen time menjadi solusi. Pada anak, mengenalkan gawai lebih awal pun bisa dilakukan. Sehingga, gawai berisi kuota internet tidak menjadi media adiksi pada dunia digital di keluarga kita.

Salam,

Solo, 27 November 2018

10:21 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun