Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami "War Room" ala Facebook dan Twitter

6 November 2018   22:28 Diperbarui: 7 November 2018   08:19 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana War Room di kantor Facebook, Menlo Park - Foto: politico.com

Perang dunia maya sudah dimulai di linimasa  sosmed US. Opini publik via sosmed akan berpengaruh pada mid-term election atau Pileg dan Pilkada-nya publik US. Hal serupa terjadi saat Pilpres US di tahun 2016. Dimana diindikasi kemenangan Trump berkat dukungan linimasa yang dikuasai pihak asing.

Facebook dan Twitter pun bersiaga 24/7 di War Room. Memang istilahnya War Room identik dengan konflik dan kegaduhan. Karena misi utama War Room tak lain adalah mengkondusifkan linimasa mereka dari penggiringan opini, hate speech dan hoax saat Pemilu.

Saat ini, War Room Facebook aktif mengawasi Pemilu di banyak negara. War Room Facebook dinilai sebagai langkah proaktif mencegah preseden buruk pada linimasa. Dan mencegah 'kelalaian' saat Pilpres US tahun 2016 tidak terulang kembali.

Dipetik dari npr.org, unit War Room Facebook berisi 20 staf. Unit ini diisi oleh data engineers, data scientist, dan operation specialist. Sedang 300 orang lain memonitor unit ini sebagai bagian besar dari kinerja Facebook.

Di dalam War Room Facebook, terdapat 16 layar besar. Dengan dashboard berisi grafik dan statistik khusus yang memantau gerakan trend linimasa. Jika kabar bohong menjadi viral. Staf dari War Room dapat menghentikan posting dan trend yang terjadi.

Sedang Twitter memiliki jenis War Room  yang cukup berbeda. Menurut Del Harvey, Head of Trust and Security Twitter, mereka bekerja berdampingan dengan beberapa pihak. Saat mid-term election US, Twitter merangkul US Homeland Security Department.

Saat inipun, Twitter memerangi sebaran hate speech dan hoax soal Pemilu di beragam tempat. Dibantu ratusan orang di beragam lokasi, Twitter mengawasi linimasanya dengan seksama dan real-time. 

Namun, apakah War Room versi Facebook atau Twitter efektif?

Menurut riset FireEye, sebuah perusahaan cybersecurity, mendapati fenomena ini belum seberapa. Yang dilihat dan diperangi hanyalah 3%-5% dari akun penebar kebencian dan kebohongan di linimasa. Para aktor kejahatan siber seperti ini, mencari langkah lebih maju daripada penangangan yang dilakukan Facebook. 

Pada bulan Agustus-Oktober Twitter menghapus 10.000 akun hyper-partisan Demokrat. Riset dari Oxford pun mendapati berita bohong dari kubu sayap kanan dan liberal lebih cepat viral di Twitter. Sedang berita faktual dari sumber yang ada tidak begitu diperhatikan users. Dan cara Twitter memfilter tweet buruk pun memiliki margin error yang besar, ungkap Yoel Roth, Head of Site Integrity Twitter.

Twitter Hacker - Ilustrasi: thedailybeast.com
Twitter Hacker - Ilustrasi: thedailybeast.com
Efektif atau tidaknya menurut saya pribadi bukan menjadi persoalan. Karena begitu masifnya otomatisasi bot dalam bisnis kebencian dunia maya. War Room bisa menjadi indikasi berikut:

Platform medsos yang menjadi bagian sosial masyarakat sesungguhnya. Sudah lebih dari 1 dasawarsa platform medsos menjadi perekat sosial. Namun hilang nilai sosial dan etika publik karena prinsip liberal, komersial dan egaliter. 

War Room ala Facebook atau Twitter menjadi sebuah jawaban. istilah media sosial yang sepatutnya tidak mementingkan keuntungan dan interaksi saja. Tapi berperan serta dalam dinamika sosial. Dalam hal ini mereduksi dan memerangi ekses buruk hate speech, hyper-partisan, dan hoax.

Platform sosmed yang semakin transparan kepada publik. Karena selama ini publik tidak pernah tahu apa dan siapa yang mengawasi dan mengisi linimasa. Jika dulu linimasa penuh dengan jebakan filter bubble dan iklan komersial. Kini setidaknya publik bisa lebih tenang.

Linimasa medsos mau tidak mau mempengaruhi situasi sosial di dunia nyata. Tak jarang konflik, debat kusir, sampai trolling linimasa berakhir persekusi bahkan menyangkut pengadilan. War Room diharapkan tidak saja bekerja saat Pemilu, namun seterusnya.

Platform sosmed yang mulai mau berkoordinasi aktif dengan otoritas setempat. Tentunya dampak buruk linimasa selama ini terakumulasi belum lama ini. Publik sudah jengah dan bosan dengan konflik di linimasa.

Dihadirkannya instansi pengatur keamanan dan ketertiban di linimasa telah diimplementasi War Room. Artinya, publik akan lebih merasa tenang di linimasa karena ada jaminan aparat yang segera bertindak atas gangguan linimasa.

Salam,
Solo, 06 November 2018

10:25 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun