Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyelami Fenomena "Faktanya Pun Dicap Hoaks"

29 Oktober 2018   21:00 Diperbarui: 30 Oktober 2018   02:47 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Crowd of Pinocchio Figures - foto: publicvoiceny.com

Kebebalan seseorang saat dibeberkan fakta pada hoaks yang disebar sering kita temui. Metode menyangkal seperti logika ad hominem sampai pada teori konspirasi pun digunakan.

Selepas 'lelah' karena hoaks yang disebar dibantah telak fakta. Ada kecendrungan orang tersebut akan mengulang hal serupa di waktu lain. Hal ini secara psikologi menjadi indikasi back-fire effect.

Back-fire effect umumnya ditandai dengan semakin kuatnya menganut suatu keyakinan. Semakin diberi argumen/fakta, seseorang malah semakin yakin. Perlawanan yang ada membuat dinamika 'pencarian kebenaran' semakin menarik. Walau yang diyakini kadang menyesatkan.

Dan yang paling menarik setelah begitu kuatnya keyakinan ini. Dengan mudah muncul pelabelan fakta sebagai hoaks. Setidaknya ada empat indikasi yang saya amati.

Pertama, karena kubunya terbiasa melabeli fakta sebagai hoaks. Pola filter bubble sosmed akan mengusung indikasi pertama ini. Apa yang dilihat di linimasa Facebook/Twitter adalah posting yang memang ingin user lihat. 

Dengan ribuan friends/following linimasa tentu akan sesak dijejali posting. Untuk menyaring informasi yang user suka saja. Maka algoritma sosmed memfilter berdasar preferensi lokasi, ideologi, sampai interaksi posting lain.

Maka jika linimasa penuh dengan posting serupa seperti melabeli fakta sebagai hoaks. Tak ayal perilaku ini akan mudah ditiru. Mencari fakta dirasa tidak perlu jika posting fakta dilabeli hoaks oleh kubunya.

Kedua, karena berargumentasi dan menelaah fakta begitu rumit. User akan merasa lebih aman dan tanpa konflik jika turut saja dengan kelompok. Sebuah pola digital tribalism dimana perlawanan kubu kadang lebih diutamakan. Dan melawan fakta biasanya tak lepas dari perlawanan mereka.

Apalagi saat yang menjabarkan fakta adalah kubu kontra. Mentah-mentah posting kubu oposisi dilabeli informasi bodong. Kadang komentar user yang kontra akan lebih cenderung di-block bahkan di-delete.

Bahkan kadang user/kubu yang dianggap netral bisa dicap berpihak. Dan mencap keberpihakan ini bisa dilakukan baik oleh kubu pro/kontra. Karena toh hanya posting yang sesuai keyakinan mereka yang divalidasi sebagai fakta.

Fake News - ilustrasi: dribbble.com
Fake News - ilustrasi: dribbble.com
Ketiga, karena labelisasi fakta sebagai hoaks didukung tokoh/referensi daring lain. Publik figur yang juga menyebar informasi hoaks kadang menjadi pembenaran. Dan umumnya, yang diacu tentu tokoh dari kubu sendiri.

Media arus utama tentu bukan saja menjadi sumber informasi valid. Namun kadang blog/portal berita gurem turut bermain dalam ruwetnya tsunami informasi dunia digital. Tak ayal, beberapa media non-maintstream mengemas berita hoaks demi klik/iklan.

Dan secara spesifik, bisa jadi salah satu kubu mencap media mainstream tidak independen. Kadang pembenaran ini dikaji dengan data (baca: asumsi) di linimasa kubu mereka sendiri. Sehingga berita apapun dari media mainstream pasti dicurigai bahkan dicap bohong.

Keempat, karena ilusi jumlah like/komen/share banyak. Ilusi 'strength by numbers' ini mudah sekali difabrikasi di dunia digital. Berkat kemampuan bot yang kian canggih. Jadi akun dengan komen yang berisi pesan 'Ah, ini hoaks' dan variasinya mudah dijumpai.

Apalagi saat bot ini dikendalikan oleh kelompok elit dari sebuah kubu. Dengan dukungan tenaga dan dana, tentu informasi apapun bisa dicap hoaks. Saat kubu lawan mengklarifikasi fakta atas kebohongan. Maka kerumunan bot ini akan berusaha menggiring opini publik dengan kepentingannya.

Dan indikasi keempat ini menjadi support bagi indikator lain. Saat melabeli fakta menjadi hoaks menjadi sistematis dan masif. Perilaku ini menjadi 'kebiasaan'. Publik figur salah satu kubu pun menjadi reaktif dan sembrono. Dan media gurem pun mendapat panen 'komoditas'.

Mudahnya mencap fakta menjadi hoaks bisa jadi menjadi epidemi digital di kemudian. Kebiasaan yang timbul karena perspektif bias medsos seperti ini bisa membahayakan. Urgensi meminimalisir dan mencegah 'penyakit' ini harus kita sadari bersama.

Pentingnya literasi digital menjadi amunisi mujarab menghadapi polemik seperti ini. Karena yang dihadapi 5-10 tahun lagi adalah tantangan dunia digital di semua sektor. Dan kita tentu tidak ingin tersesat di dalam dunia digital.

Salam,

Solo, 29 Oktober 2018

08:57 pm 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun