Media arus utama tentu bukan saja menjadi sumber informasi valid. Namun kadang blog/portal berita gurem turut bermain dalam ruwetnya tsunami informasi dunia digital. Tak ayal, beberapa media non-maintstream mengemas berita hoaks demi klik/iklan.
Dan secara spesifik, bisa jadi salah satu kubu mencap media mainstream tidak independen. Kadang pembenaran ini dikaji dengan data (baca: asumsi) di linimasa kubu mereka sendiri. Sehingga berita apapun dari media mainstream pasti dicurigai bahkan dicap bohong.
Keempat, karena ilusi jumlah like/komen/share banyak. Ilusi 'strength by numbers' ini mudah sekali difabrikasi di dunia digital. Berkat kemampuan bot yang kian canggih. Jadi akun dengan komen yang berisi pesan 'Ah, ini hoaks' dan variasinya mudah dijumpai.
Apalagi saat bot ini dikendalikan oleh kelompok elit dari sebuah kubu. Dengan dukungan tenaga dan dana, tentu informasi apapun bisa dicap hoaks. Saat kubu lawan mengklarifikasi fakta atas kebohongan. Maka kerumunan bot ini akan berusaha menggiring opini publik dengan kepentingannya.
Dan indikasi keempat ini menjadi support bagi indikator lain. Saat melabeli fakta menjadi hoaks menjadi sistematis dan masif. Perilaku ini menjadi 'kebiasaan'. Publik figur salah satu kubu pun menjadi reaktif dan sembrono. Dan media gurem pun mendapat panen 'komoditas'.
Mudahnya mencap fakta menjadi hoaks bisa jadi menjadi epidemi digital di kemudian. Kebiasaan yang timbul karena perspektif bias medsos seperti ini bisa membahayakan. Urgensi meminimalisir dan mencegah 'penyakit' ini harus kita sadari bersama.
Pentingnya literasi digital menjadi amunisi mujarab menghadapi polemik seperti ini. Karena yang dihadapi 5-10 tahun lagi adalah tantangan dunia digital di semua sektor. Dan kita tentu tidak ingin tersesat di dalam dunia digital.
Salam,
Solo, 29 Oktober 2018
08:57 pmÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H