Melihat potensi paparan dan micro-targeting bot dalam sosmed. Maka tak heran kampanye politik dianggap lebih efektif via sosmed. Dan tidak semua tujuan penggunaan bot untuk kampanye politik sehat positif.
Pembentukan opini untuk kubu Capres dalam pemilu menjadi lebih efektif, real-time, dan terkoordinasi. Dan opini yang dibuat pun bisa apa saja. Baik berita berisi konten kritik maupun disinformasi bisa menjadi 'komoditas'.
Tak heran jika seorang politisi prominen salah satu kubu men-tweet/reply/quote sebuah informasi. Maka akan banyak interaksi yang terjadi. Pun bisa juga menjadi trending topic.
Akun bot akan pertama kali mengerubungi posting politisi tadi. Dengan RT/reply/favorite, ditambah beberapa akun bot akan pura-pura berinteraksi. Akun asli pun akan ikut nimbrung interaksi yang ada.
Ilusi percakapan seru yang berasal dari akun dengan ribuan/jutaan followers akan tercipta. Dan inilah yang setiap saat mengisi linimasa kita. Akun-akun asli diberikan fatamorgana konflik dan intrik yang kadang dibesar-besarkan.
Bukan saja rekayasa ilusi, kadang berita bohong menjadi ramai di linimasa. Bisa jadi dalam kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, bot juga berperan. Prosedur mengerumuni seorang tokoh dan menciptakan ilusi interaksi terjadi pada kasus ini.
Dan hampir pada semua platform sosmed terkenal, bot bisa ditemukan. Dan di dalam beragam platform inipun, opini politik publik dibentuk sedemikan rupa. Fabrikasi dan disinformasi informasi Capres tiap kubu dibentuk dan saling dibenturkan pada linimasa.
Hanya kewarasan kitalah mampu bijak menyikapi information obesity semacam ini. Karena dibalik semua akun bot ini tersimpan muatan politis yang begitu jumud dan kadang picik.
Salam,
Solo, 19 Oktober 2018
10:48 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H