Bagaimana jika selama ini bot atau akun otomatis di sosmed yang membentuk opini politik kita? Dengan fungsi bot yang otomatis, sporadis, dan parasistik ini. Perspektif politik kita dikonstruksi sedemikian timpang.
Dan studi tentang bot sebagai pembentuk opini politik membuktikan hal ini. Hasil studi dari Australian National University mendapat hasil yang cukup mengejutkan.
Studi ini mengambil data linimasa Twitter saat debat pertama Trump dan Hillary tahun 2016 lalu. Pengamatan inipun mengumpulkan 6,4 juta tweet terkait debat dalam waktu 90 menit. Dan dari pengamatan pada 1,5 juta akun Twitter. Sekitar 4,8% diantaranya dipastikan adalah akun bot.Â
Dan ternyata dengan 72 ribu akun bot, mampu terbentuk opini untuk kubu pro-Republik. Akun ini menempel pada akun asli kubu pro-Republik. Untuk kemudian membuat interaksi dengan re-tweet ataupun reply tweet yang pro-Republik.Â
Bot dengan otomatisasi algoritma, jaringan cepat dan melekat pada akun tertentu, memang mampu membuat gaduh linimasa. Tak heran sering kita temui trending topic baik itu tentang sinetron, konser, bahkan tragedi politik Pilpres cepat sekali berubah.
Kinerja dasar bot di sosmed bisa disesuaikan dengan keinginan si pembuat. Seperti artikel di Medium yang menjabarkan cara membuat bot Twitter dengan media Python. Bot ini bisa mem-follow, me-RT, favorite, dan reply dengan pesan sederhana.
Dan bot yang ada pun bukan sekadar me-RT atau like posting. Bot dengan interaksi chat pun bisa kita buat sendiri. Pada artikel hackernoon.com ini, kita diajarkan cara membuat 'DIY' chatbot via PubNub untuk Twitter.
Tak ayal, bot pun menjadi komoditas ekonomis beberapa orang/kelompok. Karena tidak heran, untuk Twitter sendiri diperkirakan 15% dari total 300 juta users-nya adalah bot.Â
Untuk harga sekitar 250 USD (3,8 juta IDR), Tweet Attacks Pro menawarkan unlimited users. Beberapa penyedia proxy pun menawarkan 25,000-45,000 titik proxy untuk akun dengan membayar 100 USD (1,5 juta IDR) per minggu.Â
Dan hampir pada semua platform sosmed terkenal, bot bisa ditemukan.