Tagar (#) atau hashtag saat ini menjadi sebuah ikon kultur pop sosial media. Dengan tagar tatanan sosial bisa bersatu tetapi juga terbelah. Kadang menjadi bahan tertawaan dan rasa bangga. Namun juga lebih sering menjadi pola marketing viral sosial media.
Adalah Chris Messina yang pertama kali menggunakan tagar di tahun 2007. Via akun Twitter miliknya, ia menyematkan #sxsw. Sehingga dengan algoritma Twitter yang masih sederhana waktu itu tercipta ikatan sosial. Tagar dapat menyatukan banyak suara (tweet) sehingga terbentuk sebuah komunitas.
Twitter sempat ingin membuat fitur group discussion waktu dulu. Namun dengan disematkan tagar dalam tiap tweet dari banyak akun. Tercipta dinamika percakapan, interaksi, dan ikatan antar pengguna. Group discussion akhirnya tidak jadi dijadikan fitur pada Twitter.
Brian Solis, seorang digital analysit melihat tagar sebagai memicu A.R.T dalam sosial media. A.R.T atau Action, Reaction, Transaction menjadi kunci dinamika pengguna sosial media dengan media tagar.
Beberapa akun yang menggunakan tagar spesifik melakukan action. Untuk kemudian menciptakan reaction dari pengguna lain dengan tagar spesifik serupa. Sehingga, terjadi transaction dalam bentuk diskusi, problem-solving, agitasi sampai dengan demonstrasi.
Bagai sebuah fenomena bola salju yang meluncur. Tagar yang dipost akan menjadi besar dan jenuh. Dan kadang, muncul sebuah tindakan dunia nyata.
Masih fresh diingatan kita dengan saat sosmed penuh tagar #PrayForLombok. Tagar yang menjadi trending di Indonesia ini menggugah empati dan simpati kita pada korban bencana. Dengan tagar ini pun terbentuk komunitas yang peduli dengan menjadi relawan, memberi bantuan dana, atau melangitkan doa.
Namun di sisi lain, reaksi dan transaksi yang ada menciptkan sebuah gerakan masif dan terjaga momentumnya. Tagar #2019GantiPresiden kita ambil sebagai contoh. Sejak 2016 lalu, tagar ini seolah tiada surut dan kini menjadi aksi yang dianggap meresahkan bagi beberapa pihak.
Kedua tagar tentu memiliki perbedaan. Saat tagar #PrayForLombok bersifat sukarela, didasari rasa kemanusiaan, dan kepedulian. Tagar ini pun bersifat sementara saat tindakan nyata dilakukan baik oleh komunitas/pemerintah terkait. Â
Sedang tagar #2019GantiPresiden berisi muatan politis, direfabrikasi sedemikian rupa, dan terus dijaga momentumnya. Tagar ini akan terus menjadi item yang di search baik pihak pro maupun kontra pada pemerintahan saat ini.
Tagar pun menjadi media komunikasi spesifik pada satu waktu dan tempat tertentu. Misalkan ketika ada workshop tentang vlogging. Peserta diminta mengunggah karya vlog mereka via sosmed. Guna memudahkan melacak vlog peserta dalam sosmed, maka digunakan tagar tertentu.
Tagar pun digunakan untuk memprotes isu rasialisme di US (#BlackLivesMatter atau #WhiteWashedOut) sampai saat ini. Tagar juga menggerakkan revolusi di Mesir (#Jan25 #Egypt #Tahrir) tahun 2011. Atau tagar global #MeToo guna menyuarakan isu kekerasan seksual.
Secara personal, hashtag pun kadang menjadi sebuah pesan mencari kemiripan emosional. Kita beri tagar #Bersedih sehingga kita bisa menyampaikan perasaan kita ke dunia, sosmed. Bisa jadi tagar tadi 'disambar' akun dengan perasaan serupa atau bahkan followers baru.
Sehingga fungsi tagar sebagai sebuah ikon pop culture era sosmed kian rumit difahami. Tagar bisa menjadi medium komunikasi secara masif dan personal. Tagar bersifat material dan subliminal. Kita gunakan tagar untuk turut bandwagon tagar yang trending. Kitapun gunakan tagar yang tidak trending hanya karena kita pernah lihat suatu tagar dahulu.
Tagar bisa menjadi senjata namun juga penolong jiwa. Tagar adalah the new propaganda bahkan provokasi ala sosial media. Di sisi berbeda, tagar adalah penyelamat nyawa dan pemberi harapan untuk sesama.
Jadi baik-baiklah memberi tagar, mendukung tagar, dan membagikan tagar di dunia maya.
Salam,
Solo, 11 September 2018
09:46 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H