"Eh, elu siapa berani ngomong gitu? Emang data-data lho valid...?"
"Yaelah, liat dulu diri lho. Belagak benerin. Hidup lho aja belum bener!"
Mungkin sudah sering kita hadapi orang yang bebal dengan keyakinannya pada kabar hoaks. Kadang diskusi yang dewasa dibenturkan dengan argumen ad hominem. Menyudutkan pribadi lawan bicara menjadi last resort mengakhiri debat. Jadilah hambar fakta yang disampaikan.
Media mainstream pun kadang tidak menjadi solusi fakta. Karena kadang orang yang percaya hoaks terkurung pada echo chamber. Perspektif mereka cenderung homogen. Baik pengaruh lingkungan sosial dan sosial media, gelembung bias ini kadang diyakini. Ditampiklah fakta dari media mainstream atau bahkan dari situs fact-checking.
Secara historis, memberangus berita bohong urung efektif. Cerita bohong dalam The Life and Miracle of St. William of Norwich di tahun 1150 dianggap menggagas genosida kaum Yahudi di Eropa.
Otto von Bismarck pun diduga mengubah isi telegram sang Raja Prussia. Dampaknya, terjadi perang dengan Perancis yang dipimpin Napoleon III dengan Prussia (kini Jerman) di tahun 1870-1871. Atau di tahun 2011, sesaat setelah tsunami dan ledakan PLTN Fukushima di Jepang, tersebar peta daerah terdampak radioaktif. Evakuasi besar terjadi, walau faktanya peta tersebut tidak valid informasinya.
Di Indonesia sendiri, hoaks berisi isu SARA atau partisan banyak beredar. Pribadi yang kadang ingin menyodorkan fakta kerepotan pada model argumen ad hominem. Ada beberapa faktor yang menggarisi pola berargumen seperti ini.Â
Pertama, pendidikan kita yang minim sisi berfikir kritis. Sistem pendidikan kita masih bersifat transfer ilmu atau linear. Dari yang tahu (guru), kepada yang tidak tahu (siswa).
Guru kadang menjadi kebenaran absolut. Siswa boleh bertanya tapi tidak mengkritik ilmu yang disampaikan. Pola berfikir ini kadang dianut sampai perguruan tinggi. Siswa menjadi objek dan bukan pelaku penuntut ilmu. Siswa berfikir kritis pun kadang menjadi korban argumen ad hominem guru.
Kedua, 'kasta' sosial-ekonomi yang dijadikan dasar argumen. Orang tidak mampu secara ekonomi kadang dianggap remeh bagi orang berharta.
Pribadi dengan jabatan/pendidikan tersier pun kadang dinafikan mereka yang berjabatan primer. Walau tidak semua orang berduit dan berjabatan mengacuhkan orang di level bawah mereka. Pola argumen ad hominem di sosmed bisa memandang kedua hal ini. Ditambah, model verifikasi dan jumlah followers yang kadang menciutkan para pembawa fakta.
Ketiga, kurangnya sifat apresiatif. Tidak menghargai pendapat, komentar, atau argumen orang lain menjadi rahasia umum. Bisa dilihat jika komentar nyinyir pada satu outfit selebritis sering terjadi di Instagram. Netizen pun sering pedas berkomentar pada tweet judul artikel portal berita. Mendeskreditkan oknum/golongan yang menjadi subjek berita bohong pun sering dilihat di FB.
Secara kumulatif, ketiga faktor diatas bisa dianut siapa saja. Saat berdiskusi fakta atas satu berita bohong, ketiga faktor diatas menjadi dasar ad hominem dilontarkan. Ditambah bias perspektif dan naive realism bentukan sosmed, semakin terpojoklah pembawa fakta. Memang, kadang sulit membenarkan berita bohong. Namun lebih tidak bertanggung jawab membiarkannya terus menyebar.
Menyadarkan individu dari pengaruh berita bohong bukan suatu yang mudah. Namun bukan berarti usaha dan upaya terus berhenti. Jika kita pribadi tidak mampu memberikan fakta. Ada baiknya bergabung dengan komunitas yang perduli tentang hal ini. Memahami dan menyebarkan literasi digital sebagai panduan para milenials juga patut dilakukan.
Dan mungkin, bisa jadi orang yang sadar akan hoaks bukan yang kita ajak berdebat. Bisa jadi kawan atau sahabatnya. Karena algoritma sosmed memberi influence bahkan orang yang tidak kita kenal.
Salam,
Solo, 26 Mei 2017
12:29 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H