Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bijak Saja Tidak Cukup Menyikapi Kelompok Saracen

29 Agustus 2017   08:03 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:03 2175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twitter Kelompok Sacaren - ilustrasi: bbc.com/indonesia

Karena bersikap bijak saja tidak cukup dalam isu Saracen, kelompok penebar kebencian. Karena bijak muncul saat seseorang sudah belajar tentang satu ilmu. Tanpa ilmu yang difahami, agak gamang kebijaksanaan yang muncul. Dalam laku Saracen yang meresahkan bangsa ini, kita butuh mengetahui ilmu tentang dunia digital. Literasi digital adalah jawaban dari pencegahan isu sosio-kultural di era ICT.

Teknologi bukan lagi sekadar instrumen. Ia adalah artefak peradaban manusia modern. Ia pun menjadi penanda inkuisitif manusia untuku berkarya. Literasi digital menjadi tulang punggung kita menyikapi teknologi yang sudah ada sejak ICT muncul. Internet dan komputer yang dibuat pada akhir abad 20, menjadi isu sentral manusia modern. Interkoneksi, keamanan, hardware/software sampai identitas menjadi isu yang bersilang dengan literasi yang sudah ada.

Kita lebih sering membaca apa yang ada di layar daripada di atas kertas. Kita pun lebih banyak mengetik dengan keyboard/QWERTY daripada dengan ballpoint. Fenomena sederhana ini pun merambah ke literasi lain. Kehidupan sosio-kultural saat ini mudah terpengaruh sosmed. Kadang apa yang ada di dunia maya tidak sesuai kenyataannya. Berita hoax dan ujaran kebencian begitu mudah tersebar dan disebar. Dan silahkan di-Google, di media di Indonesia sudah begitu sering hal ini terjadi.

Sayangnya pemerintah, akademisi, dan pihak terkait hanya melontarkan kata-kata bijaknya saja. Dengan banyak berpesan mereka meminta kita menjadi bijak. Namun bijak seperti apa yang mereka mau? Bijak menyikapi kenakalan remaja mungkin sudah banyak referensi dan penelitiannya di Indonesia. Namun bagaimana bijak menghadapi isu seperti Merchant of Hate, kelompok Saracen ini? Bersikap bijak seperti apa? Bahkan seorang akademisi saja bisa menebar berita hoax di grup WA. Ini pengalaman pribadi saya, dan mungkin terjadi di lingkungan digital Anda.

Hate Speech in Social Media - ilustrasi: prismproject.eu
Hate Speech in Social Media - ilustrasi: prismproject.eu
Saat wacana literasi digital memang belum menjadi perhatian banyak negara lain. Namun bahaya dan ancaman dunia digital di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Dengan user internet mencapai ratusan juta, Indonesia adalah pasar sekaligus scene penting dalam dunia digital. Twitter dan Facebook sudah diminta mendirikan kantornya di Indonesia. Google sudah pernah tersangkut kasus pajak. Telegram hampir saja di-blokir. Boss Alibaba, Jack Ma pun menjadi penasihat e-commerce pemerintah. Hal ini terjadi karena mereka tidak bisa mengingkari Indonesia sebagai bagian penting perusahaan mereka.

Besarnya arus informasi dengan media ICT memborbardir kehidupan kita. Dari mulai berita bermutu sampai penebar kebencian ada dalam genggaman kita. Namun, banyak yang belum melek dunia digital. Menganggap dunia digital adalah dunia nyata, adalah kesalahan. Namun, apa yang terjadi di dunia maya pun kadang mereflesikan dunia nyata. Dalam kerumitan memahaminya, banyak terjebak sensasi dan emosi dalam men-share apa yang ada di sosmed, misalnya. Dan kelompok Saracen mengekonomisasi kekeruhan yang terjadi.

Literasi digital adalah jawaban dari sikap bijak menyikapi kelompok online Saracen ini. Saya pun yakin, kelompok serupa pun masih ada dan akan muncul menjelang Pilkada dan Pilpres di masa datang. Isu-isu SARA, pornografi, human trafficking, dll hanya sebagian isu dalam literasi digital. Ada urgensi untuk segera urun rembug dan mengimplementasi literasi digital dalam pendidikan kita. Karena hanya dengan pendidikan tindakan kuratif dan preventif bisa dilakukan. 

Regulasi UU ITE dan mempidanakan adalah tindakan kuratif dan preventif secara administratif. Sedang mindset dan mentalitas hanya bisa diubah dan dijaga stabilitasnya dengan edukasi. Dan tindakan edukatif pun tidak sekadar hanya himbauan dalam bentuk seminar atau workshop. Tapi lebih holistik ke dalam kurikulum atau ranah sekolah. Hal ini yang belum terwacanakan, sepertinya.

Artikel soal literasi digital:

Salam,

Wollongong, 29 Agustus 2017

11:03 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun