Karena bersikap bijak saja tidak cukup dalam isu Saracen, kelompok penebar kebencian. Karena bijak muncul saat seseorang sudah belajar tentang satu ilmu. Tanpa ilmu yang difahami, agak gamang kebijaksanaan yang muncul. Dalam laku Saracen yang meresahkan bangsa ini, kita butuh mengetahui ilmu tentang dunia digital. Literasi digital adalah jawaban dari pencegahan isu sosio-kultural di era ICT.
Teknologi bukan lagi sekadar instrumen. Ia adalah artefak peradaban manusia modern. Ia pun menjadi penanda inkuisitif manusia untuku berkarya. Literasi digital menjadi tulang punggung kita menyikapi teknologi yang sudah ada sejak ICT muncul. Internet dan komputer yang dibuat pada akhir abad 20, menjadi isu sentral manusia modern. Interkoneksi, keamanan, hardware/software sampai identitas menjadi isu yang bersilang dengan literasi yang sudah ada.
Kita lebih sering membaca apa yang ada di layar daripada di atas kertas. Kita pun lebih banyak mengetik dengan keyboard/QWERTY daripada dengan ballpoint. Fenomena sederhana ini pun merambah ke literasi lain. Kehidupan sosio-kultural saat ini mudah terpengaruh sosmed. Kadang apa yang ada di dunia maya tidak sesuai kenyataannya. Berita hoax dan ujaran kebencian begitu mudah tersebar dan disebar. Dan silahkan di-Google, di media di Indonesia sudah begitu sering hal ini terjadi.
Sayangnya pemerintah, akademisi, dan pihak terkait hanya melontarkan kata-kata bijaknya saja. Dengan banyak berpesan mereka meminta kita menjadi bijak. Namun bijak seperti apa yang mereka mau? Bijak menyikapi kenakalan remaja mungkin sudah banyak referensi dan penelitiannya di Indonesia. Namun bagaimana bijak menghadapi isu seperti Merchant of Hate, kelompok Saracen ini? Bersikap bijak seperti apa? Bahkan seorang akademisi saja bisa menebar berita hoax di grup WA. Ini pengalaman pribadi saya, dan mungkin terjadi di lingkungan digital Anda.
Besarnya arus informasi dengan media ICT memborbardir kehidupan kita. Dari mulai berita bermutu sampai penebar kebencian ada dalam genggaman kita. Namun, banyak yang belum melek dunia digital. Menganggap dunia digital adalah dunia nyata, adalah kesalahan. Namun, apa yang terjadi di dunia maya pun kadang mereflesikan dunia nyata. Dalam kerumitan memahaminya, banyak terjebak sensasi dan emosi dalam men-share apa yang ada di sosmed, misalnya. Dan kelompok Saracen mengekonomisasi kekeruhan yang terjadi.
Literasi digital adalah jawaban dari sikap bijak menyikapi kelompok online Saracen ini. Saya pun yakin, kelompok serupa pun masih ada dan akan muncul menjelang Pilkada dan Pilpres di masa datang. Isu-isu SARA, pornografi, human trafficking, dll hanya sebagian isu dalam literasi digital. Ada urgensi untuk segera urun rembug dan mengimplementasi literasi digital dalam pendidikan kita. Karena hanya dengan pendidikan tindakan kuratif dan preventif bisa dilakukan.Â
Regulasi UU ITE dan mempidanakan adalah tindakan kuratif dan preventif secara administratif. Sedang mindset dan mentalitas hanya bisa diubah dan dijaga stabilitasnya dengan edukasi. Dan tindakan edukatif pun tidak sekadar hanya himbauan dalam bentuk seminar atau workshop. Tapi lebih holistik ke dalam kurikulum atau ranah sekolah. Hal ini yang belum terwacanakan, sepertinya.
Artikel soal literasi digital:
- Apa Itu Literasi Digital?
- Memosisikan Literasi Digital dalam Isu Ahok
- Divide et Impera ala Sosmed
- Telisik Berita Hoax dengan Digital Dieting
Salam,
Wollongong, 29 Agustus 2017
11:03 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H