Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Full Day School, Memberi Rasa Aman atau Khawatir buat Orangtua?

14 Juni 2017   10:32 Diperbarui: 15 Juni 2017   09:43 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Cerita Pelosok Indonesia | Wordpress

Agustus tahun lalu, gebrakan Muhadjir Effendi sudah didengungkan. Sebagai Kemendikbud pengganti Anies Baswedan, publik langsung ngeh akan kehadiran beliau. Kebijakan Full Day School (FDS) menimbulkan percikan kontroversi. Dan Juli nanti, di tahun ajaran baru FDS akan diterapkan. Walau pro-kontra terus ada baik untuk pihak sekolah, orangtua dan siswa, kebijakan ini jalan terus. Sebagian menganggap FDS sebagai 'rasa aman'. Sedang sebagian menganggapnya sebagai 'rasa takut'.

Saya sendiri sudah membahas FDS dari perspectif helicopter view. Di artikel pada bulan Agustus tahun lalu ini, pihak-pihak terkai sudah saya berikan jabaran. FDS sebagai sebuah sistem yang memang tidak baru menjadi masalah bagi sekolah yang belum terbiasa. Ada 5 pihak 4 pihak yang harus bersinergi dalam kebijakan FDS nantinya. Baik secara psikologis dan pedagogis FDS ini saya tulis. Selengkapnya bisa dilihat disini.

Kontroversi FDS tentu lebih diamplifikasi dalam fikiran orangtua. Baik pro maupun kontra pada FDS akan lebih nyata pada pihak orangtua. Pihak sekolah sebagai 'kaki tangan' Kemendikbud mau-mau-mau bukan mau-tidak-mau harus menjalankan kebijakan ini. Serupa kebijakan dualisme kurikulum saat ini yang ternyata kian pelik bagi sebagian guru. Atau gamangnya definisi karakter pada pendidikan saat ini. 

Kekhawatiran orangtua pada anak yang terlalu di sekolah kiranya wajar. Namun juga banyak orangtua yang merasa aman jika anaknya di sekolah. Baik rasa aman atau rasa takut ini tentu membuat gundah publik akan kebijakan FDS. Jika memang belum benar-benar matang, kenapa dipaksa untuk diterapkan? Jika belum ada hasil riset holistik dampak FDS, kenapa kebijakan ini dipukul rata? Dan kenapa-kenapa lain.

Mungkin kekhwatiran nyata terlihat dari statement Wapres Jusuf Kalla. Belia menilai FDS ini mungkin siap untuk diterapkan di kota besar. Bagaimana di sekolah-sekolah di desa? Secara fasilitas dan kesiapan, sekolah di daerah akan cenderung 'kaget'. Beliau pun menyiratkan jika program ini berdampak negatif pada 50 juta siswa di Indonesia. Kabarnya program FDS ini akan dievaluasi. Sedang penerapannya sudah bulan depan? Berita selangkapnya disini.

Siswa tentunya akan menjadi lebih akrab dengan teman dan sekolah. Sesuai tujuannya, yaitu penguatan pendidikan karakter, FDS ini menjadi salah satu realiasasi Kur13 (Kurikulum 2013). Muhajir Effendi menyatakan 5 hari FDS memungkinkan anak memiliki hari libur lebih banyak di rumah. Anak akan dapat berinteraksi lebih banyak di hari Sabtu dan Minggu. Karena pendidikan juga dimulai dari rumah.

Tentunya rasa takut dan rasa aman dari FDS memiliki loophole (celah) tersendiri. Terutama concern yang timbul dalam fikiran orangtua. Berikut saya coba telaah.

Disadvantages - ilustrasi: blogs.deustos.es
Disadvantages - ilustrasi: blogs.deustos.es
Pertama, rasa aman yang bagaimana? Jika anak di sekolah selama 8 jam sehari benarkah aman. Bagaimana dengan isu bullying? Bukankah semakin lama anak di sekolah, peer bullying akan lebih intens. Atau bagaimana dengan pola makan dan makanan anak yang di sekolah? Bukan sekali isu tidak higienisnya jajanan sekolah. Jika anak tidak diberikan bekal dari rumah, apa sekolah menyediakan makan? Jika disediakan, tentu akan menambah beban bulanan.

Banyak berita yang memang menyorot sekolah menjadi kian tidak aman. Pernah ada berita kasus pemukulan oleh guru. Juga tak lupa kita ingat beberapa kasus pencabulan baik oleh pihak sekolah maupun teman di sekolah. Belum juga lekang sekolah yang tiba-tiba rubuh. Atau berita distopis lain yang memang menjadi bad news is good news bagi media.

Tentu banyak problematika diatas tidak boleh dipukul rata terjadi di seluruh sekolah di Indonesia. Namun kini kita patur pertanyakan pula apakah isu-isu diatas tidak akan terjadi di sekolah anak kita? Semoga saja probablitasnya nol alias nihil. 

Kedua, wajarkah rasa takut atau khawatir pada FDS? Kekhawatiran seperti kebosanan, tidak teratur pola makan, atau loophole rasa aman diatas bisa muncul. Namun ada rasa takut lain yang mungkin muncul. Yang pertama adalah adakah beban biaya untuk sekolah untuk FDS ini? Bukan rahasia jika sekolah akan memunculkan biaya 'tidak terduga'. Walau kadang ada rapat membahas, misalnya, membuat makan siang untuk siswa tidak semua orangtua akan setuju.

Yang kedua adalah efektifkah jam kegiatan yang dilakukan sekolah di FDS? Jika siswa sudah cukup bosan untuk pulang pukul 12 siang. Apalagi jika diminta pulang pukul 3 sore. Program ekstrakurikuler bisa saja menarik, untuk sekolah yang memang unggulan. Bagaimana dengan sekolah pada umumnya di daerah. Pihak sekolah tentu harus memutar otak untuk mengisi ekstra waktu siswa. Mungkin pada program awal FDS bisa berjalan, tapi apakah konsisten? Karena program yang dijalankan membutuhkan SDM. Jika SDM kurang atau mendapat 'uang lelah' sedikit, apa efektif FDS?

Sekitar 10,000 sekolah akan menjadi pilot untuk FDS tahun ini. Sekolah pilot project FDS ini akan diberikan dana hibah murni. Walau besarannya belum didetailan Kemendikbud. Seperti program-program yang telah ada sebelumnya. Karena kajian FDS yang belum juga firm atau baik. Ditambah, ada kesan terburu-buru menerapkan FDS ini. Tahun kemarin diusualkan, tahun ini diterapkan. ada keraguan yang muncul. Karena pada tahun 2019, semua sekolah di Indonesia akan menerapkan FDS.

Jangan sampai FDS hanya membawa sensasi temporal semata. Saat ada Kemendikbud baru, maka ada program/sistem baru. Setelah itu akan diganti lagi. Sekolah, guru, sekolah dan orangtua jangan menjadi eksperimen pedagogis belaka. Pendidikan memang ever-changing atau terus berkembang. Namun jangan sampai perubahan mengikis fundamental bangsa yang terdidik. Jika mau diterka, sebenarnya apa landasan pendidikan kita? Jika landasan sederhana misalnya meng-Indonesia-nakan orang Indonesia, sudahkah demikian?

Rasa khawatir orangtua pada FDS adalah wajar. Namun jika rasa aman malah berubah jadi rasa takut, apakah wajar? Saya pun yakin pihak sekolah sudah menggodok semua kegiatan dan indikator pencapaiannya. SDM dan program pun sudah dimatangkan. Guru dan komite sekolah pun sudah urun rembug agar semua berjalan sesuai rencana. Namun, apakah konsisten nantinya?

Referensi: antaranews.com |  detik.com | kompas.com

Salam,

Wollongong, 14 Juni 2017

01:32 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun