"At first [Man] is nothing. Only afterward will he be something, and he himself will have made what he will be." Sartre
Sebuah deviasi dari paham eksistensialisme terjadi pada kasus plagiarisme Afi. Saat kepercayaan hilang akan orisinalitas tulisan Afi, muncul mauvaise foi atau bad faith. Dan yang tetap dan akan terus terjadi pada fenomena ini adalah kisah Sisyphus karya Albert Camus.
Mari kita jelaskan apa hubungan ketiga wacana di atas.Â
Saat eksistensi mendahului esensi, itulah sejatinya manusia. Ia ada untuk ditelaah, ditelisik, dan dicari esensinya. Mengapa manusia hidup di dunia ini? Untuk tujuan apa? Pertanyaan besar namun sering kita tak acuhkan dalam realitas kehidupan. Walau mudahnya, agama, norma, dan aturan sosial memberi kita pijakan untuk pertanyaan di atas. Semuanya menjawab manusia ada untuk bermanfaat, menjadi pemimpin, dan menebar kasih di dunia. Tidak ada yang salah bukan? Bagi sebagian banyak orang mungkin.
Maka di sini, muncullah wacana 'Afi ada karena tulisannya'. Ia menjadi populer karena tulisannnya ada dan sengaja di-highlight di media. Eksisentensi Afi dalam kepala saya (orang yang tidak pernah mengenalnya), muncul setelah tulisannya booming. Sehingga terjadilah deviasi dari eksistensi Afi untuk saya pribadi. Afi saya tahu (sebagian kecilnya) dari karyanya. Pertama melihat karyanya, Afi bersifat autentik. Kini telah menjadi bad faith.
Saat Afi terus diterpa isu plagiarisme yang ternyata memang benar secara tentatif, pikiran kita begitu terguncang. Yang ada dalam kepala kita adalah penyangkalan moralitas. Afi yang dipuja ternyata karyanya tidak asli. Ditambah klarifikasi Afi yang cenderung absolute raison de'etre. Klarifikasinya menghakimi dengan memukul rata bahwa kita semua pernah memplagiat. Karena mau tak mau kata 'plagiat' begitu negatif dalam pikiran kita. Konteksnya pun lebih akademis dan teknis. Bukan sekadar mencontek waktu di ujian dulu.
Bad faith ini kemudian menyerang Afi dengan beragam asumsi. Ada yang menyangka ini adalah pelemahan bagi kaum pluralis dan liberalis agama. Karyanya yang berisi selentingan pandang agama sebagai 'kasih' dan bukan dogma membuat kaum puris dan fundamentalis bergolak. Ditambah konteks Pilkada SARA dan kesempatan cari muka beberapa politisi di momentum re-branding Pancasila. Tak ayal lantunan kata 'kriminalisasi' dan 'konspirasi' beredar di socmed dan berita.
Dalam mitos Sisyphus, dewa-dewa Yunani kuno menghukum Sisyphus yang tak mau kembali lagi ke underworld. Sisyphus dihukum dengan hukuman yang benar-benar aneh. Ia harus mendorong sebuah batu bundar ke atas bukit. Sebuah hal yang tidak mungkin. Karena kita, batu tadi mencapai atau sedang di atas bukit. Batu itu akan terus menggelinding turun. Lalu apa analoginya dengan kasus Afi dan bad faith?
Kita terus-menerus menggemakan bad faith. Dari waktu ke waktu, justifikasi, stigma, kebencian dan perpecahan kita putar. Bagai upaya sia-sia Sisyphus, banyak yang mencoba mengubah apa yang terjadi. Namun realitas mengembalikan kita ke titik nol. Saat kita mencari esensi dari persatuan, keadilan, dan bahkan Pancasila kita menemui absurditas. Terlalu banyak teorema yang muncul. Sepertinya sebagian dari kita senang dengan hukuman Sisyphus. Kita terus mendorong batu ke atas bukit.
Mauvaise foi memang menjadi sangat nyata di dunia maya. Setiap orang bisa menjadi, mencari, mengambil, dan mencatut semaunya. Jejak digital hanya menjadi justifikasi sebagian orang-orang melek teknologi. Lagi-lagi realitas penyangkalan (denial) kita temui di dunia nyata. Mungkinkah generasi milenial tidak kenal lagi batas dunia maya dan dunia nyata? Tidak seperti digital immigrant yang lebih mengapresiasi realitas hidup?
Batas-batas absurditas nyata dan maya seolah terhapus. Saat banyak pemikir kita memberi tuntunan menghindari absurditas hidup, sepertinya ada gejala yang memang sudah diramalkan. Eksistensi kita sudah digariskan secara atheistik (berpusat pada Tuhan), theistik (mengarah pada Tuhan/ke-tuhanan). Ada pula yang Nietzsche ramalkan sebagai axioma 'God is dead'. Apakah dua dunia yang berbenturan ini bersifat agnostik?
Lagi-lagi bad faith dan kisah Sisyphus terjadi antara dua dunia ini, maya dan nyata. Realisme yang berkelindan dalam semiotika yang sulit terurai dan dipahami. Karena banyak yang melihat permukaannya saja. Banyak yang mau tahu Sisyphus, tapi tidak memaknainya. Mendorong batu itu sendiri bukan lagi kesia-siaan. Tapi eksistensi dirinya yang terus ada karena melakukan yang ia lakukan.
Salam,
Wollongong, 06 Juni 2017
02:07 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H