Saat keajaiban-Nya memberi kita selamat, kita pun berharap pada manusia. Terutama pada pihak berwajib seperti polisi, intelijen, dan pihak terkait. Mereka memiliki segalanya untuk menangkal dan memprediksi tindak terorisme. Mereka punya keahlian, teknologi, informasi, strategi, personil khusus, dana, dll. Kita tidak punya dan faham pada isu ini. Yang kita tahu kita sekarang menjadi bagian target aksi teror bom ini.
Layak kini kita menyangsikan para aparat. Bagaimana slogan mereka 'melindungi dan mengayomi' dibuktikan? Ditambah rencana memerangi teror pun sepertinya malah menjadi memerangi api dengan api. Sudah tidak ada lagi kata tapi atau alasan lain untuk rencana memerangi. Karena toh kita tidak ingin lagi menjadi 'korban' perang ini.Â
Jadi, apakah tagar #KamiTidakTakut sebuah paradoks dari #TapiKamiTakMauMati? Tagar pertama adalah pilihan keputusasaan kita. Atau tagar kedua hanya 'pacifier' (dot/empeng) yang diberikan orangtua kepada anaknya yang menangis?
Artikel ini secara halus memang menyampaikan ketakutan saya sebagai penulis pada isu ini. Namun secara eksplisit artikel ini juga ingin menohok para pemegang keputusan. Kritik pedas dan telak yang sebenarnya kita semua ingin sampaikan.Â
Referensi: antaranews.com | detik.com | media.iyaa.com | rappler.id
Salam,
Wollongong, 25 Mei 2017
04:07 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H