Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kami Tidak Takut, tapi Kami Tak Mau Mati!

25 Mei 2017   13:07 Diperbarui: 25 Mei 2017   13:21 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fear by John Saddington - ilustrasi: john.do/fear/

Pertama kali, tulus saya sampaikan bela sungkawa bagi para korban bom Kampung Melayu. Semoga keluarga yang ditinggalkan dapat tabah dan kuat. Dan tentunya untuk pembaca dan kita agar selalu selamat dan dijauhkan dari bahaya ledakan bom seperti ini.

Sejak banyak kejadian ledakan bom, medsos dipenuhi tagar #KamiTidakTakut. Sebuah ungkapan perlawanan sekaligus penguat sosial. Kita, kami, Anda dan saya mencoba melawan secara bersama tindakan teror seperti ini. Ini adalah cara kita agar para peneror tidak bangga akan tindakannya. Kami tidak kalah dengan tindakan nista ini. Kita bertahan dengan cara kita #KamiTidakTakut.

Namun, di hati kecil kita juga terkesiap. Sebuah tagar yang begitu samar. Tagar yang kita buat dengan alam bawah sadar. Tagar berupa #TapiKamiTakMauMati!

Tagar kedua beresonansi lemah dalam hati kita. Karena faktanya, ledakan bom para peneror tak juga surut. Nyatanya malah semakin liar, banyak, beragam bahkan mematikan. 

Masih jelas di kepala kita ledakan bom tahun 2016 seperti; poslantas jalan Thamrin (14 Januari), bom motor Mapolresta Solo (5 Juli), gereja Medan (28 Agustus), dan gereja Samarinda (13 November). Lalu di tahun 2017 seperti; Cicendo, Bandung (27 Februari), dan terbaru di Kampung Melayu (24 Mei). Belum lagi beberapa rencana peledakan di tahun 2016 seperti Surabaya (8 Juni), Batam (5 Agustus), objek vital pemarintah (23 November), bom Istana (10 Desember), dan Bali (18 Desember). Ditambah penangkapan tersangka dan pengantin bom yang kian epidemis.

Atau jauh ke tahun 2002 saat bom Bali 1 (12 Oktober). Lalu tahun 2003 di JW Marriot Jakarta (5 Agustus), kembali tahun 2005 bom Bali 2 (1 Oktober), tahun 2009 di JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta (17 Juli). Ada pula di tahun 2015 di Tanah Abang (April), lalu Mall Taman Sutera (Juli dan Oktober) dan di Duren Sawit (November).

Ratusan orang tidak berdosa, seperti kita, meninggal karena teror bom ini? Betapa mereka tidak menduga hal ini mengakhiri hidup mereka. Belasungkawa dan empati tentu tercurah kepada mereka. Namun kita pun berfikir, lagi dan lagi setelah aksi teror ledakan ini. 

Akankah kita menjadi korban berikutnya? Kita tidak pernah tahu orang yang membawa tas yang berpapasan tadi membawa bom. Mobil yang melaju ke halte bis kita ternyata berisi bom. Perempuan yang membawa tas jinjing ternyata membawa bom paku. Dalam bus atau kereta yang kita naiki ternyata ada orang yang hendak bunuh diri dengan bom.

Kita tidak pernah tahu.

Wajarkah jika kita mulai bilang #TapiKamiTakMauMati? Apalagi terkena ledakan bom atau aksi teror lain? Sudah sangat wajar!

Karena banyak sekali alasan kita takut mati akibat ledakan bom. Apa kita pernah bersalah kepada para teroris? Apa dosa kita sampai mereka melukai bahkan membunuh kita? Apa pernah kita melukai mereka atau keluarga mereka? Apa kita merugikan atau mencederai hidup mereka? Dan beribu pertanyaan logis dan sederhana lain dalam kepala kita.

Dan pada akhirnya, kita hanya bisa berpasrah. Pada doa dan harapan kita setiap hari. Kepada Sang Pencipta kita memohon keselamatan menjalani hari. Pasrah dan percaya pada-Nya bahwa kita bisa selamat dan kembali pulang di akhir hari, setiap hari. 

Saat keajaiban-Nya memberi kita selamat, kita pun berharap pada manusia. Terutama pada pihak berwajib seperti polisi, intelijen, dan pihak terkait. Mereka memiliki segalanya untuk menangkal dan memprediksi tindak terorisme. Mereka punya keahlian, teknologi, informasi, strategi, personil khusus, dana, dll. Kita tidak punya dan faham pada isu ini. Yang kita tahu kita sekarang menjadi bagian target aksi teror bom ini.

Layak kini kita menyangsikan para aparat. Bagaimana slogan mereka 'melindungi dan mengayomi' dibuktikan? Ditambah rencana memerangi teror pun sepertinya malah menjadi memerangi api dengan api. Sudah tidak ada lagi kata tapi atau alasan lain untuk rencana memerangi. Karena toh kita tidak ingin lagi menjadi 'korban' perang ini. 

Jadi, apakah tagar #KamiTidakTakut sebuah paradoks dari #TapiKamiTakMauMati? Tagar pertama adalah pilihan keputusasaan kita. Atau tagar kedua hanya 'pacifier' (dot/empeng) yang diberikan orangtua kepada anaknya yang menangis?

Artikel ini secara halus memang menyampaikan ketakutan saya sebagai penulis pada isu ini. Namun secara eksplisit artikel ini juga ingin menohok para pemegang keputusan. Kritik pedas dan telak yang sebenarnya kita semua ingin sampaikan. 

Referensi: antaranews.com | detik.com | media.iyaa.com | rappler.id

Salam,

Wollongong, 25 Mei 2017

04:07 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun