Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aksi Polisi Lampung Memajang Begal Mati dan "War Pornography"

7 April 2017   19:36 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:32 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi beberapa orang, ada yang merasa terganggu dengan aksi polisi di Lampung. Mereka dengan sengaja mempertontonkan 5 begal yang tewas. Bak hasil 'buruan', kelima begal yang tewas difoto bersama beberapa anggota polisi yang merasa bangga. Bagi beberapa orang mungkin hal ini berarti baik. 

Karena Lampung yang terkenal dengan begalnya, kini benar-benar sedang 'bersih-bersih'. Pihak kepolisian sedang benar-benar membalik citra negatif ini. Di lain sisi, mungkin foto ini bisa menggetarkan jiwa para begal yang masih berkeliaran. Mungkin. (Berita selengkapnya disini)

Namun saya tidak coba mengupas sisi perikemanusiaan atau masalah hukum. Namun lebih kepada tanda-petanda dan efek yang hadir dari foto yang viral tersebar tersebut. Ada kemiripan insting kita sebagai manusia dari jaman kolonialisme dulu. Ada tinanda 'war pornography' yang ingin ditampilkan.

Frasa war pornography sendiri tidak sama sekali mengacu pada sesuatu yang binal atau mesum. Namun sebagai terma dari Baudrillard yang mengacu kepada realitas perang yang menjadi serupa reality show televisi. Yang terjadi serupa 'perang' sejatinya bukan perang. 

Namun sebuah realitas yang diuntai dari beragam realitas yang kita buat sendiri. Sehingga yang timbul bukanlah patriotisme atau keadilan. Namun, kegelisahan, parodi, atau bahkan 'show of force'. Dan tujuannya menjadi kian tidak menentu di kepala kita.

Foto begal tewas yang dipajang bak buruan tadi menyiratkan hal ini. Secara literal, terlihat aksi polisi yang memberantas begal. Namun yang terjadi di tiap-tiap kepala kita akan beragam,

Pertama, ada yang ragu jika hal ini sekadar pencitraan. Bagaimana aksi begal yang terus menghantui Lampung yang terus diperangi coba dihilangkan. Aksi dan foto dalam berita ini menjadi salah satu buktinya. 

Tetapi apakah benar mereka begal yang meresahkan? Jangan-jangan cuma kroco? Apakah prosedur menewaskan begal sesuai prosedur? Kenapa pertanyaan ini muncul. Karena citra kepolisian sendiri yang 'tidak murni' mengayomi dan melindungi. Dan yakinlah, citra ini ada di setiap kepala kita.

Kedua, tujuannya untuk menakut-nakuti siapa? Jika menengok aksi begal yang semakin nekat. Bukankah foto viral ini membakar keinginan balas dendam mereka? Tidakkah membahayakan orang sipil jika menemui begal yang dendam ini? Bagaimana jika benar-benar ada 'perang' begal versus polisi disana? Probabilitas inilah yang mungkin terjadi, karena isu ini faktual. Apalagi bagi warga Lampung yang benar-benar mengalaminya disana.

Ketiga, seolah ada rasa bangga yang terbersit dengan hasil 'buruan'. Bagi mereka dengan empati yang dalam, melihat para polisi memajang dengan tangan 'ber-oke' akan mengusik nurani. Bagaimanapun begal juga manusia? Lalu kenapa manusia membunuh manusia dan berbangga dengan hal ini? Tujuannya untuk apa? 

Walau hanya polisi yang patut ditakuti di negri ini karena boleh membawa senjata kemanapun. Namun apakah tujuan senjata itu untuk membunuh? Pertanyaan yang tentunya akan mengusik hati terdalam kita.

Sehingga, aksi mengurangi kejahatan begal akan benar secara moral, jika tanpa simulakrum (citra yang tumpang-tindih). Andai pihak kepolisian Lampung tidak perlu mengunggah foto ini dan hanya untuk kalangan pribadi. Mungkin kepala kita tidak akan penuh dengan simulakrum ini.

Yang terjadi di kepala kita adalah war porn. Kekerasan yang ada hanya sekadar show of force, atau vanity (kesia-siaan). Citra ini menjadi konsumsi bak reality show di televisi. Acara yang menggugah emosi, konflik batin dan kesia-siaan. 

Ada yang berkesumat saat menontonnya. Ada yang meneteskan airmat pula. Dan setelah menontonnya, kita tidak begitu faham value dan moral dari tontonan tadi. Karena realitas tadi diulang-ulang, dengan kita tak perlu repot menengok apa yang terjadi di dalam kepala kita.

Citra yang saling tumpang-tindih ini akhirnya membawa war pornography laiknya melihat iklan. Kita tahu iklan ada, namun mungkin kita tidak ingin membeli produknya. Kita tahu ada begal, namun tidak percaya aksi penumpasannya. Semua karena kelindan simalkrum yang ada dalam kepala kita. Andai kita mengerti.

Referensi: Baudrillard studies | Jane Baudrillard by Richard Lane, 2012  

Salam,

Wollongong, 07 Mei 2017

10:36 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun