Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Hidup Ini Memang Keras, Iringi dengan Musik Cadas

9 Maret 2017   19:36 Diperbarui: 9 Maret 2017   20:26 1501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup ini memang keras bung!

Bagi kita orang dewasa, banalitas kehidupan menjadi 'santapan' di pagi hari. Bangun pagi lalu bersiap bekerja. Di tempat kerja mulai menggarap kerjaan yang itu-itu saja. Ada yang senang dengan pekerjaannya. Namun mungkin satu saat akan juga menemui titik jenuh. 

Lalu pulang ke rumah masing-masing. Di perjalanan, dalam angkutan umum, kereta, mobil/motor rasa lelah sudah menggelayut. Sesampainya di rumah inginnya langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Namun tugas tempat kerja masih perlu diselesaikan. Apalagi anak/sanak keluarga pun membutuhkan kehadiran kita di antara mereka. Rasa lelah itu mungkin hilang sesaat.

Lalu mulai tertidur pun tidak langsung mata terpejam. Masih banyak pikiran meremang dalam pikiran. Dalam kesunyian kamar tidur, ada keriuhan pikiran kita sendiri. Sampai kita pun lelah karena over-thinking. Untuk di pagi hari kita kembali ke rutinitas memeras tulang membanting keringat. 

Coba warnai hidupmu dengan musik cadas bung!

Stigma sosial yang melabeli musik cadas itu bringas, tabu, penuh kejahatan atau bahkan 'sadis' umum kita temui. Namun apakah demikian?

Bukankah kita sebagai manusia punya sifat keras dan latensi berbuat jahat? Lihat banyak negara besar negara berdiri diatas peperangan dan genosida satu suku bangsa. Bagaimana perang dari jaman Romawi kuno sampai saat ini pun menjadi fakta. Atau yang lebih personal, bukankah Kabil dan Habil menjadi contoh hikayat kekerasan dalam diri manusia.

Perlu adanya 'katarsis' latensi ini dalam kehidupan. Sebuah medium yang aman dan mungkin juga lebih personal. Musik cadas mungkin menjadi jawabannya.

Saya sendiri penikmat musik cadas. Ada sebuah feeling tersendiri saat riff gitar itu melengking dan meraumkan tiap notasi. Ada hentakan adrenalin saat drum dan bass mengiringi ritme naik turun pada chorus dan bridge. Dan yang paling thrilling, ada chemistry tersendiri saat sang vokalis meng-growl, scream, atau apapun namanya lirik lagu.

Lirik lagu metal pun serupa musik pop pada umumnya. Ada yang picisan. Ada pula yang memiliki makna dalam. Silahkan kita mau menikmati apa. Seperti tulisan saya Lari, Berlarilah!

Ada 'keterwakilan' saat kerasnya amplifier dan teriakan pendendang lagu cadas saya dengarkan. Kita sudah bosan dengan kerasnya hidup. Sya sudah muak dengan pandangan orang merendahkan diri. Atau pusing dengan pemenuhan kebutuhan yang kian hari makin pontang-panting.

Penikmat musik cadas (metal head) menjadi tribalisme tersendiri. Tidak semua yang kita lihat keras, gelap, atau menyeramkan di panggung metal adalah kehidupan metal head. Ini adalah sekadar kosmetik panggung. Juga menjadi cara kita 'respect' terhadap kultur tribalisme ala musik metal. Baca artikel saya Kenapa Anak Metal Bajunya Selalu Hitam dan 10 Tahun Rock in Solo, Bancakan Metal Head yang Membumi.

Walau realitas ini menjadi pelupuk mata. Musik cadas mampu memejamkan mata saya ke dalam kebisingan yang berirama. Bisingnya menyerupai bisingnya hidup. Namun dalam hidup kita tidak mungkin berteriak seenaknya. Dalam musik cadas itu kita mampu melepas jumudnya isi kepala. Lihat tulisan saya It's Like An Avalanche.

Dan setelah itu, saya kembali kepada diri saya. Seseorang yang sederhana dan bukan seperti stigma musik cadas yang saya dengarkan. Karena media hanya mencari headline untuk membenarkan pseudo-stigma ini. Atau fakta kasuistik yang tidak mereprensentasi mayoritas metal head.

Jika pun ditelaah lebih dalam, ternyata ada saja musik yang lebih 'ganas' dari musik cadas. Mungkin kita saja belum sadar. Lihat artikel saya Saat Musik Dangdut Lebih Cadas dari Musik Metal dan Stop Berjoget Waktu Magrib.

Dan semua kembali ke selera musik individu. Silahkan mencari realm hidup kita bisa membungkam realitas hidup yang begitu pelik. Bisa pula dengan hal selain musik, seperti menulis, jalan-jalan, berorganisasi, dll. Selama prinsip altruisme kita pegang, setiap pencari 'hideway' akan hidup bisa hidup damai bersama.

Salam,

Wollongong, 09 Maret 2017

11:36 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun