Penikmat musik cadas (metal head) menjadi tribalisme tersendiri. Tidak semua yang kita lihat keras, gelap, atau menyeramkan di panggung metal adalah kehidupan metal head. Ini adalah sekadar kosmetik panggung. Juga menjadi cara kita 'respect' terhadap kultur tribalisme ala musik metal. Baca artikel saya Kenapa Anak Metal Bajunya Selalu Hitam dan 10 Tahun Rock in Solo, Bancakan Metal Head yang Membumi.
Walau realitas ini menjadi pelupuk mata. Musik cadas mampu memejamkan mata saya ke dalam kebisingan yang berirama. Bisingnya menyerupai bisingnya hidup. Namun dalam hidup kita tidak mungkin berteriak seenaknya. Dalam musik cadas itu kita mampu melepas jumudnya isi kepala. Lihat tulisan saya It's Like An Avalanche.
Dan setelah itu, saya kembali kepada diri saya. Seseorang yang sederhana dan bukan seperti stigma musik cadas yang saya dengarkan. Karena media hanya mencari headline untuk membenarkan pseudo-stigma ini. Atau fakta kasuistik yang tidak mereprensentasi mayoritas metal head.
Jika pun ditelaah lebih dalam, ternyata ada saja musik yang lebih 'ganas' dari musik cadas. Mungkin kita saja belum sadar. Lihat artikel saya Saat Musik Dangdut Lebih Cadas dari Musik Metal dan Stop Berjoget Waktu Magrib.
Dan semua kembali ke selera musik individu. Silahkan mencari realm hidup kita bisa membungkam realitas hidup yang begitu pelik. Bisa pula dengan hal selain musik, seperti menulis, jalan-jalan, berorganisasi, dll. Selama prinsip altruisme kita pegang, setiap pencari 'hideway' akan hidup bisa hidup damai bersama.
Salam,
Wollongong, 09 Maret 2017
11:36 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H