Riuh rendah pemilihan pemimpin di negri ini selalu membekas luka di hati di akun pemilik sosial media. Masih jelas teringat Pilpres 2014 lalu bagaimana akun buzzer mendongkrak isu politis menjadi trending topic.Â
Ada pula tweet/chat/share di Twitter, WhatsApp, dan Facebook yang berisi hoaks, menyudutkan satu pihak, atau sekadar provokasi. Tak ayal, banyak pro-kontra yang menyulut emosi bahkan memutus persahabatan.Â
Akun Facebook yang dulu banyak meng-accept friend request. Kini malah banyak meng-unfriend teman yang tidak 'sepaham'.Â
Fakta nyata pun terjadi saat Buni Yani yang mengupload video potongan Ahok di kepulauan Seribu. Muncul sentimen umat agama mayoritas yang spontan saat itu.Â
Buni Yani disangka menambah kata-kata provokatif ini pun masih harus berhadapan dengan kelompok yang tidak setuju dengan 'perspektifnya'. Kini Buni Yani sudah dijadikan tersangka. Begitupun dengan Ahok yang disangkakan menistakan agama mayoritas.Â
Namun belum sampai disitu. Saat dua tokoh penyumbang pro-kontra ini sudah berurusan dengan hukum. Ada saja oknum yang mencoba terus menyulut api perpecahan di sosmed. Bahkan ada oknum yang mengompori agar Ahok segera dipenjara.Â
Walau hukum negri ini sedang dilakukan. Sampai bahkan ada yang meminta Presiden kita dilengserkan. Karena Presiden dianggap melindungi Ahok.Â
Beberapa gelombang unjuk rasa diadakan. Dengan dana yang tidak sedikit, unjuk rasa ini menghabiskan energi kita sebagai bangsa. Lalu dilanjutkan dengan unjuk rasa berikutnya. Walau pada unjak rasa yang lain relatif aman, banyak pihak yang merasa ada yang menunggani dengan kepentingan politik.
Terbukti juga, beberapa tokoh pun dicokok polisi karena diduga hendak makar. Tokoh-tokoh yang sebenarnya tidak asing karena selalu berdiri nyinyir dan non-konstruktif untuk pemerintahan. Ada yang menganggap hal ini sebagai bukti ada yang hendak memecah bangsa ini. Namun tak banyak pula yang mencap penangkapan ini sebagai pengalihan isu, dan mengada-adanya pemerintah.
Apa yang terjadi di kita sebagai warga negara biasa? Ya tentunya praktik divide et impera ala era sosial media. Jika zaman kolonial Belanda dulu ada penyusup, mata-mata ke dalam kelompok, golongan atau organisasi. Kini praktik pecah belah ini lebih personal, efektif, dan real-time. Dengan sosmed, semua orang bisa menjadi target, bahkan agen penyebar praktik ini.
Contoh saja berita baru-baru ini soal Parade Kebhinekaan. Beredar surat himbauan palsu dari Kemensos di sosmed. Lalu ada leaflet yang menyertakan tagar berbau Pilkada. Ditambah nama-nama perusahaan besar pro-reklamasi. Yang tentunya tujuannya jelas, yaitu memprovokasi user untuk percaya. Namun semua berita ini adalah hoaks.Â
Lalu muncul screenshot berita bahwa Parade Kebhinekaan kemarin dihadiri 100 juta orang. Otomatis, mereka yang merasa unjuk rasanya lebih masif bertanya kebenarannya. Ada yang langsung nyinyir atau merendahkan dengan komentar deregatoris. Namun terbukti berita ini adalah editan oknum iseng dengan tujuan yang begitu jahat.
Karena kevalidan berita bohong ini sulit dilacak saat sudah ribuan kali di-share. Akun yang pertama kali menyebarkan pun bisa palsu. IP address-pun bisa direkayasa dengan beragam metode. Semua demi menyembunyikan oknum penyulut divide et impera ini.Â
Namun politik pecah belah ini ampuh juga. Secara real-time, efektif dan personal dapat menyulut perdebatan, cemoohan, bahkan sinisme. Walau konfirmasi berita hoaks muncul pula beberapa waktu kemudian. Dan sepertinya sejak sosmed sudah menjadi 'teman akrab' kita semua, praktek divide et impera ini akan terus berlanjut ke depan.
Polisi dengan unit cyber-crime saya yakin mampu melacaknya. Namun saat menyangkut berita hoax yang berbau SARA, emosi dan otokrasi, isu yang beredar bisa viral. Viral disini berarti cepat diakses, real-time, dan mudah di-share. Sedang unit cyber-crime perlu beberapa waktu untuk benar-benar bisa melacak dan membedah isu yang beredar ini.
Ada baiknya kitalah yang menjadi kritis, bijak dan faham literasi digital. Mungkin kita sudah begitu jenuh dan padat dengan informasi dari dunia maya dan sosmed. Sehingga sulit memahami sudut berbeda dari satu isu. Baca artikel saya menyoal hal ini Hati-Hati dengan Information Obesity.
Dan mari kita posisikan perspektif kita menyoal identitas kita di sosmed. Kita harus faham apa dan bagaimana identitas user sosmed itu sebenarnya. Tidak semua tweet, post, share, re-blog atau re-gram dari satu tokoh mencerminkan pribadi dari akun itu. Ada back-stage identity yang mungkin coba dimunculkan. Baca artikel saya Memahami Identitas Diri di Sosmed.
Baca juga:
- Sosial Mediamu Bukan Kalkulator Kawan!
- Memosisikan Literasi Digital dalam Isu Ahok
- Literasi Digital yang Sebaiknya Kita Fahami
Salam,
Wollongong, 05 Desember 2016
10:21 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H