Disclaimer:
Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)
"Ya ya pak Jenar. Selamat bertugas. Staf saya nanti hubungi soal transfer. Dan mungkin lain waktu kita bisa keluar dan have fun. Boleh pak Jenar?" sambil menjabat tangan inspektur Jenar. Tawa ringan Fahri mengukuhkan keculasan keduanya.
"Baiklah pak Fahri." ia pun segera beranjak dari kantor. Bak angin yang datang dan pegi tanpa kesan. Hanya rasa yang inspektur Jenar. Rasa picik kongkalikongnya dengan Fahri tercium membaui ruangan Fahri yang begitu mewah. (Bagian 14)
* * *
Mariam masih tidur saat Inspektur Jenar masuk. Ia sempatkan membuka jendela kamar. Sudah terasa pengap dan bau antiseptik menyengat di kamar Mariam. Rumah sakit selalu saja pucat. Terasa sendu dengan kematian dan rasa ditinggalkan.
Inspektur Jenar diam menatap Mariam di samping tempat tidur. Menatapi nasibnya yang malang. Diamputasi tangan kanannya. Dibedah tidak keruan perutnya. Betapa malang nasib Mariam.
'Apakah ini karmanya? Memang dia licik dan licin. Untung saja nyawanya belum hilang. Aku pun takut jika W. dan ayahnya melakukan hal ini kepadaku. Sial!' lirih berkata dalam hati Inspektur Jenar bertanya-tanya.Â
Cukup lama ia menatap Mariam. Sehingga Mariam pun terbangun dari istirahatnya.
"Inspektur Jenar? Pagi sekali sudah berada disini? Tidak berkantor Inspektur?" Mariam memulai bertanya. Karena Mariam memang sudah lama kenal dengan Inspektur Jenar.
"Nanti siang baru ke markas bu Mariam. Sudah merasa baikan?"