Disclaimer:
Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)
"Kamu harus bunuh Mariam. Sekarang pasti dia di rumah sakit. Luka amputasi dan bedah perut belum sembuh sempurna. Kamu harus kesana W. Lenyapkan Mariam selamanya!" Abah berkata tajam dan seius.
"Baik Abah. Sepertinya kita memang harus menyelesaikan ini semua di kota ini." W. masih menatap tajam keluar jendela.
"Persiapkan dirimu nak!" (Bagian 11)
* * *
“Ada tugas khusus buat kalian. Tugas yang lumayan besar imbalannya. Kamu mau?” tanya Inspektur Jenar ke Irham.
“Tugas apa boss? Membungkam lagi? Siapa?” tanya Irham sambal menyeruput kopinya.
Pelayan yang berjalan menuju ke meja Inspektur Jenar dan Irham membuat mereka berdua terdiam. Siang ini begitu ramai kafe Honduras dengan orang yang makan siang. Inspektur Jenar dan Irham harus benar hati-hati merencanakan ini semua. Karena biasanya Inspektur Jenar akan bertemu Irham di malam hari. Namun karena masalah ini begitu darurat.
“Kamu bersama Danu, Rangga dan Husein, bias membungkam opsir W. alias Wardah?” Inspektur Jenar berkata sambal memastikan tidak ada orang yang mendekat.
“Polisi boss? Gila! Resiko tinggi.”
“Saya bayar dua kali lipat dari biasanya. Kalian cukup bungkam dia. Hilangkan jejak di dalam hutan. Sisanya biar saya yang atur.”
“Kalau pejabat atau sipil kami masih mau tanggung resiko boss. Tapi…” belum sempat Irham menjelaskan Inspektur Jenar menyela.
“Sudahlah Irham. Kalau kamu tidak mau bungkam W. kamu yang saya bungkam?!” Inspektur Jenar mulai bernada tinggi.
“Baiklah boss. Kapan?” Lama Irham menjawab karena harus berfikir keras. Namun akhirnya rela mengikuti kemauan Inspektur Jenar.
“Tiga hari lagi. Saya akan email kamu foto dan berkas W. Kalau sudah selesai SMS saya. Ingat tidak perlu telepon.”
“Baik boss.” Irham tanpa diminta beranjak pergi. Meninggalkan kopi yang setengah habis. Membiarkan Inspektur Jenar sendiri berfikir.
‘W. sudah saya duga kamu akan berbuat ini. Setidaknya saya tidak ingin juga kamu seret ke dalam kasus ini. Sial!’ Inspektur Jenar memaki dalam hati. Mengingat kedekatannya dengan Fahri, Hendra dan Mariam, ia tahu ia akan menjadi korban penculikan. Dan kini ia bias membaca kenapa mereka hilang dan tidak ditemukan.
‘Kamu tidak bias bersembunyi lagi W. Saya sudah tahu dimana kamu bersembunyi dan membunuh orang-orang yang kamu culik. Betapa bodohnya kamu bisa terpeleset.’ Inspektur Jenar segera beranjak dari bangkunya, kembali ke kantornya. Tersenyum sinis.
* * *
Tepat saat mentari baru terbit, W. segera beranjak dari penginapannya. Tujuannya tak lain adalah rumah sakit dimana Mariam berada. Ia tahu ia harus menyelesaikan semua. Di kantungnya ia sudah sebuah suntikan berisi racun. Cairan infus sudah ia campur dengan sianida. Ukurannya pun tidak ia takar. Yang penting Mariam harus segera mati. Karena karmanya sudah berlangsung cukup lama.
Sesampai di rumah sakit, beberapa polisi berjaga. Dan W. tahu cara masuk lewat pintu belakang rumah sakit dengan baik. Ia pun masuk ke dalam ruang ganti suster. Lalu ia mengambil baju suster guna menyamarkan diri. Karena mungkin di depan kamar atau sekitar kamar Mariam akan dijaga beberapa anggota polisi.
Lalu ia mengecek beberapa nama pasien di ruang jaga perawat yang kini ditinggalkan. Karena shift malam sudah berakhir, suster dan perawat jaga mungkin sedang pergi atau malah sudah pulang. Dan ia temukan nama Mariam disana.
‘Mariam Suryani’ W. membaca nama lengkap Mariam dan tercenung.
‘Kenapa nama belakang Mariam sama denganku?’ Mariam berfikir. Namun ia anggap itu hanya kebetulan belaka. Yang ia tahu kini ia harus segera menghabisi Mariam.
W. sengaja mondar-mandir di depan sekitar kamar Mariam sebelum masuk. Dan memang disana ada dua polisi. Namun tidak membawa senjata lengkap. Jadi W. beranikan diri masuk. Guna menyamarkan wajahnya, W. menggunakan masker.
“Selamat pagi pak polisi!” W, berusaha ramah kepada para polisi penjaga kamar Mariam. Dan memang seharusnya seorang suster ramah kepada siapapun. Walau itu bukan sifat W.
“Selamat pagi suster.” Kedua polisi bersama menjawab.
“Saya mau cek keadaan Nona Mariam sebentar.”
“Ya, silahkan suster.”
W. segera beranjak masuk dan menyaksikan Mariam tertidur. Namun mata Mariam bergerak kesana kemari saat terpejam. Ia sedang bermimpi sesuatu.
Tangan kanan yang diamputasi Abah sudah diperban sedemikian rupa. Masih ada darah merembes yang Nampak di perbannya. Mariam baru saja menjalani operasi lagi untuk memperbaiki jahitan di tangannya. Perutnya pun kini penuh dengan perban. Abah pun yang melakukan bedah mamah pada Mariam. Segala makanan yang Mariam makan sudah Abah keluarkan kembali dengan menyayat dan membedol ususnya.
‘Menyedihkan!’ fikir W. Ia pun mengeluarkan suntikan yang sudah ia campur dengan racun. Ia akan segera suntikkan ke dalam selang infus Mariam.
‘Persetan denganmu!’
“Indah Suryani…. Indah Suryani…!!” tiba-tiba Mariam mengingau. Mengagetkan W.
Bukan hanya kaget, namun W. heran. Kenapa ia tahu nama lengkap W?
‘Apa yang dia igaukan? Namaku? Kenapa ia tahu nama lengkapku?’ W. mundur menjauhi tempat Mariam berbaring sakit tak berdaya. Tanda-tanda vital di alat monitor jantung meninggi.
“Braakk!!” tiba-tiba pintu terbuka dan dua orang suster masuk dan mengecek.
“Maaf, ibu Mariam memang sering mengigau nama ini. Sudah 2 hari. Tolong bisa ambilkan saya penenang di farmasi suster.” Salah seorang suster meminta W. untuk mengambilkannya obat penenang. Namun W. terdiam dan terhenyak.
‘Siapa Mariam? Siapa dia?’ sambal menyaksikan Mariam yang masih mengigau namanya.
“Tolong suster!” suster yang meminta W. mengambilkan obat membangunkan W. dari lamunan.
“Baik..Baik.” W. segera berbalik dan keluar dari ruangan yang penuh kepanikan ini. Ia tahu dua orang suster tadi begitu panic sehingga tidak mengenali suster asing seperti dirinya.
Sambil berlalri W. bukan menuju ruang farmasi. Ia buang suntikan berisi sianida. Ia pilih melepas baju suster di ruang ganti dan pergi meninggalkan rumah sakit. Ada begitu banyak tanya dalam fikirannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan apa yang Mariam igaukan. Tidak mungkin dalam tidak sadarnya, Mariam bias tahu nama lengkap W.
‘Siapa Mariam? Kenapa ia tahu namaku? Ku tidak pernah bilang nama lengkapku kepadanya.’ W. berjalan lambat sambal fikirannya terus bertanya.
‘Apa yang sebenarnya terjadi. Abah mungkin tahu?’
* * *
Bersambung
Melbourne, 22 Oktober 2016
10:56 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H