Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karya Karma Bagian 10

19 Oktober 2016   19:41 Diperbarui: 20 Oktober 2016   19:26 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Sial!' W. mengumpat dalam hati sambil mengambil nafas kelelahan. 

"Sudahlah nak, babi itu sudah cukup menderita." Abah tiba-tiba muncul di belakang W. 

Abah mendekati babi tanpa kepala yang tergantung. Mennyentuh luka sabetan parang W. Membuka luka sabetan di bada babi dengan penasaran. Abah memasukkan jari telunjuknya ke dalam luka tadi. Mengukur berapa dalam. Lalu mengeluarkan jari telunjuknya yang bernoda darah. Mencium darah babi di telunjuknya. Mengamati dengan seksama dan menatap W.

"Sudah semakin dalam kamu menyabetkan parangmu nak. Betapa dalam luka yang sudah kamu buat? Andai sabetan parangmu mengenai tubuh seorang manusia, ia akan sangat kesakitan. Sakitnya bukan main. Sampai otak mereka tidak bisa merasakan sakit di detik tubuh tersabet parang nak. Otak manusia tidak bisa mengirim sinyal yang begitu rumit ke dalam indera perasa. Kamu tahu kenapa?"

"Tidak tahu. Abah bisa jelaskan?" W. menaruh parang dan segera mendudukkan diri di rumput halaman balakang.

"Karena ada rasa takut yang begitu meneror mereka. Mata mereka melihat sabetan itu mengenai tubuh. Rasa takut mendorong adrenalin naik ke dalam otak. Ketakutan yang sangat membuyarkan rasa sakit yang dikirim ke otak. Teror yang begitu nyata mereka rasakan di detik-detik awal membunuh rasa sakit. Tubuh memiliki bius alami untuk rasa sakit. Rasa takut yang kian sangat adalah bius. Tubuh akan merasa sakit tepat saat orang tadi melihat lukanya. Melihat darah yang mengucur keluar. Sakit itu akan menjadi karena rasa takut atas teror sudah hilang. Otak akan berkata sakit tepat saat orang tadi lihat ke arah lukanya."

"Jadi teror membunuh rasa sakit? Begitukah Abah?"

"Benar. Dan itulah yang terjadi dengan fikiran seorang yang serakah seperti koruptor. Awalnya mereka takut tertangkap mencuri, mengurangi, menambah apa yang seharusnya bukan milik mereka. Pada awalnya ada rasa sakit di dalam nurani mereka. Namun karena teror akan kebutuhan yang kian banyak saat uang semakin berlimpah. Teror untuk terus merasa kekurangan. Teror karena tidak kebagian uang yang begitu melimpah, telah membunuh rasa sakit ke nurani mereka. Mereka sudah mati rasa merasakan sakitnya nurani berbuat busuk. mereka begitu takut jika keserakahan mereka tidak terpuaskan, mereka akan serba kekurangan. Akal dan tangan mereka yang busuk terus mencabik nurani mereka sendiri." Abah berhenti sesaat, menatap ke rumput halaman.

"Dan korbannya adalah orang-orang seperti kita. Ibumu dan calon kakakmu mati karena teror keserakahan orang-orang seperti Mariam, Fahri, Hendra dan Johan. Merekalah yang merenggut nyawa orang-orang tidak bersalah lain. Apa yang mereka ambil bukan hanya uang. Tapi nyawa. Bukan saja nyawa ibu dan kakakmu nak. Tapi banyak orang. Orang-orang busuk seperti merekalah yang harusnya mendapat karma atas teror yang mereka buat."

"Mereka memang pantas mendapatkan karma." W. tegas menjawab.

"Kita sadarkan mereka untuk melihat luka mereka sendiri pada nurani mereka. Biar mereka melihat, merasa dan menjadi sakit yang selama ini teror keserakahan tutupi. Abah tahu rasa sakit yang mereka rasa nanti hanya belaka. Rasa sakit yang telah mereka buat begitu banyak. Bahkan nyawa-nyawa orang tidak bersalah telah mereka cabut. Kita yang harus mengakhiri teror atas nurani mereka. Kita yang akan membuka rasa sakit itu nak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun