Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karya Karma Bagian 9

13 Oktober 2016   19:12 Diperbarui: 13 Oktober 2016   19:25 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soldier - foto: Maciej Goraczko

Disclaimer:

Gore-horror theme. Karya fiksi ini berisi kekerasan, darah, dan kata-kata kasar. Bagi yang tidak berkenan, cukup membaca sampai disini. Salam :-)

Badan babi yang masih tergolek lemah tak bernyawa di taman belakang rumah menjadi saksi karya dan dendam Abah. Sudah kali ke tiga dalam dua bulan ini Abah berlatih menyembelih, menyayat, memotong, menggorok, memutilasi dan mengamputasi. Saat ini hal-hal ini menjadi karya seni buat Abah. Bagaimana sebuah karya bisa diciptakan dari bagian-bagian tubuh. Bahkan dari babi. Bagaimana dengan manusia?

Sebuah karya hal yang coba ia lakukan nanti. Suatu saat dimana dendamnya adalah pelengkap karma orang-orang busuk yang mencabut nyawa istri dan anaknya dulu. (Bagian 8)

* * *

Mobil W. melaju di jalan berkelok. Namun melambat ketika hampir tiba di jalan menuju ke atas bukit. Ada yang aneh W. tangkap di jalan ini. 

'Kenapa ada banyak daun kering bertebaran di jalan ini?' W. bertanya dalam hati

Dengan sigap W. langsung memutar arah mobil. Ia tahu ada mobil yang sudah melewati jalan ini sebelumnya. Mustahil 1 mobil bisa menebarkan banyak daun dari pinggir jalan. Pasti lebih dari 1 mobil. Dan ia bisa tahu segera, bahwa ada polisi yang sudah mencapai gubug di atas bukit. Dan mungkin juga ini kenapa Abah mengikutnya dan menyelamatkannya tadi.

'Sial! Aku harus segera ke luar kota. Tidak mungkin pula kembali ke rumah.' W. menatap Abah yang masih belum siuman. Mobil W. segera dilajukan menyusuri jalan di samping bukit kota. Namun W. tahu ia harus segera mencari rumah sakit untuk abah. Jika ia siuman nanti, semoga tidak ada yang buruk terjadi dengannya.

Suara sirene sepertinya mendekati mobil W. yang melaju. Segera W. tahu ia sedang diikuti. Dan mungkin sebentar lagi helikopter polisi akan melacaknya dari atas.

'Bangsat! Sepertinya aku harus segera berjalan kaki. Tidak mungkin menggunakan mobil!' W. segera mencari minimarket untuk segera berhenti. Setidaknya disana ia bisa membeli bekal untuk bisa kabur ke dalam hutan. Karena sepanjang jalan ke luar kota ini, hutan pinus ada di kanan-kiri. 

Mobil W. segera berbelok di minimarket yang ditemukan. Abah masih belum siuman. Ia terpaksa berlari mencari segala yang bisa ia jadikan bekal ke dalam hutan. Setidaknya untuk makan dan minum. 

Selesai membeli segala sesuatu, W. segera memasukkanny ke dalam tas jinjing dari dalam bagasi mobilnya. W. berkendara menjauh dari minimarket dan segera membelokkan mobil ke dalam hutan. Mobil W. segera ia beri tumpukan daun kering dan ranting. Ia tahu helikopter polisi akan mudah mengetahui mobilnya. Karena pantulan atap mobilnya terlihat saat disorot lampur dari helikopter polisi.

Keluar dari mobil W. segera memapah Abah sambil membawa tas jinjingnya. Secepatnya W. melangkah masuk ke dalam hutan. Mencari tempat yang cukup aman. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan. Di kejauhan raungan sirene polisi semakin jelas terdengar. Tidak beberapa lama lagi, helikopter polisi sepertinya akan menyusur hutan.

W. segera mematahkan beberapa ranting besar pohon. W. membuat tenda teepee di dekat sebuah pohon besar. Cabang-cabang daunnya ia gunakan sebagai atap. Setidaknya ini bisa membuat W. dan Abah tersamar dari lampu sorot helikopter polisi dari atas. Dan di pagi nanti ia tahu ia harus segera kembali ke mobilnya. Semoga ia bisa kembali ke kota dan mencari jalan ke kota lain. Bukan kota yang akan ia tuju sekarang. Karena ia tahu polisi sudah akan berjaga disana. Mungkin juga bisa tinggal beberapa hari di dalam kota. Di rumah Niko.

Selesai membangun teepee, Abah yang dari tadi disandarkan di pohon besar segera ia sandarkan di dalam teepee. Ia suapi Abah dengan air yang sudah ia beli tadi. Berharap Abah bisa siuman.

"Abah... Abah?" W. mencoba membuat Abah sadar.

"Ya nak... dimana ini nak?" Abah membuka matanya. Ia memegang kedua kepalanya yang masih peniing. Pandangannya masih kosong. Mencoba menatap W. dalam remang cahaya bulan dalam hutan.

"Ini di dalam hutan Abah. Polisi sudah melacak kita. Mereka mungkin sedang melacak kita saat ini. Setidaknya kita sementara aman di dalam sini Abah"

"Ahh.. kita bakal aman di dalam sini nak. Orang-orang yang kita beri karma tadi setidaknya sudah membusuk semua. Abah sudah senang. Kalaupun polisi menangkap kita. Abah sudah puas. Kamu nak, sudah menjadi anak yang benar-benar berbakti" Abah tersenyum dalam sakit yang ia rasa di kepalanya.

"Tapi Abah, polisi sudah berada di gubug kita. Mungkin juga sudah tahu ruang Kesempurnaan. Bagaimana jika Mariam belum mati?"

Abah memicingkan matanya. Lalu menatap ke atap tenda teepee daun ciptaan W. ini.

* * *

"Hei... sedang apa kau!!" ucap seorang tinggi besar ke arah W.

'Sial! Ada yang melihat.' W. mengumpat dalam hati.

Si pria besar segera berlari ke arah W. Dan W. segera tahu ia harus segera melumpuhkannya. Karena percuma lari dengan si Fahri yang terlanjur ia belum sempat masukkan ke dalam bagasi mobilnya. W. mengambil suntikan dari dalam sakunya.

"Sedang apa kau!!?" Tanya pria besar tadi saat sudah dekat.

"Sedang..." W. segera berkelit lincah menusuk leher bagian kanan pria besar tadi. 

"Ahhhgg!!" si pria besar tadi berteriak hebat. Untungnya di parkiran lantai bawah ini sudah tidak ada siapapun.

Tak lama si pria besar segera jatuh berlutut. Tak lama badannya segera berdebum keras menghajar aspal tempat parkir ini.

'Ah, nambah beban saja kau ini!' W. segera memasukkan si pria besar tadi ke tempat duduk penumpang di mobilnya. Fahri yang belum siuman pun segera ia masukkan ke dalam bagasi.

W. segera mengarahkan mbilnya jauh ke atas bukit di luar kota ini. Disana Abah sudah menunggu Fahri, si pejabat busuk. Pejabat yang sejak 3 bulan lalu sudah W. pelajari gerak-gerik dan kebiasannya. Dan malam ini W. berhasil melumpuhkannya. Sayangnya ada, si pria besar ini yang mengetahui aksinya. W. tidak tahu harus berbuat apa dengannnya. Dibunuh saja? Padahal ia tidak bersalah. 

Sesampainya di gubug, W. segera menurunkan si pria besar. 

"Siapa itu W.?" Abah segera bertanya saat W. membawa si pria besar ke dalam gubug.

"Entah Abah siapa dia? Dia melihat saya memasukkan Fahri ke dalam bagasi. Terpaksa W. lumpuhkan. Entah Abah akan lakukan apa dengannya?"

"Begitukah?" Abah menyeringai menatap si pria besar.

* * * 

"Sringg...sriingg..!" suara Abah menggerinda pisaunya membangunkan si pria besar. Ia kini diikat kuat di sebuah bangku kayu besar.

"Ahhh... dimana ini?? Siapa kau orangtua??" si pria besar bertanya.

Di hadapan si pria besar sudah teronggok Fahri. Ususnya terburai dari perutnya yang sudah bedah. Antara sadar dan tidak sadar, Fahri melenguh kesakitan. Darah dari organ dalam perut yang di keluarkan membasahi meja tempat Fahri dibaringkan. Ada beberapa pisau kecil dan besar berserakan di meja itu. Semua bersimbah darah. Ada kengerian dari sebuah operasi yang ada di sebuah kamar bedah. Bedanya, disini semua serba mentah. Tidak ada alat bantu pernafasan. Tidak ada mja steril alat-alat bedah diletakkan. Hanya ada Abah dan karyanya.

"Halo tuan muda. Sudah siuman rupanya? Di depan tuan muda, ada tuan Fahri. Si pejabat busuk yang perutnya pun busuk bukan main." Dengan santai Abah mengulur usus yang ia ambil dari sebuah baskom dekat gerinda.

"Lihat ini tuan muda. Uluran usus kecil ini sudah berapa kali dilalui makanan busuk hasil korupsi tuan Fahri? Coba tuan muda bayangkan? Buat apa lagi usus kecil ini bukan? Karena tubuh tuan Fahri sudah busuk. Lihat ini tuan muda..." Abah mendekatkan usus yang terjuntai berbau anyir dan sepah tadi ke hadapan si pria besar. Juntaian usus tadi berlumur darah dan getah perut. Begitu licin dengan lendir. Berbau sengak saat juntaian usus mendekat hidung si pria besar. 

"Sial kau! Lepaskan aku. Aku tidak ingin disini. Biarkan aku keluar. Dan ku bersumpah tidak akan berkata apapun. Ku bersumpah. Lepaskan aku!" si pria besar tadi mulai panik. Perutnya pun semakin mual dengan bau ruangan ini.

"Tuan muda tahu siapa tuan Fahri bukan? Jangan berbohong kalau tuan muda tidak tahu? Bukan begitu tuan Niko?" Abah menyebut namanya. Karena W. segera mencari identitasnya di dompetnya. Dan W. baru tahu juga kalau ia adalah anggota kepolisian.

Abah melihat jauh ke dalam mata Niko. Abah tahu ia tahu semua tentang Fahri. Di tatapan Niko yang takut dan jijik, ada sesuatu yang membuat Niko kembali menatap Abah. Abah tersenyum menatap Niko.

* * * 

Bersambung

Wollongong, 13 Oktober 2016

11: 12 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun