"Kok dua belinya Abah? Kakak? Wardah tidak punya kakak...?" Wardah yang baru satu minggu tinggal di rumah si bapak bingung dibuatnya.
"Kamu punya kakak nak. Ia sudah tidak ada di rumah ini. Tapi kamu harus yakin kakakmu bersama kamu." si bapak menjelaskan.
"Memang pergi kemana kakakku itu Abah? Wardah tidak pernah tahu? Wardah juga tidak pernah lihat?"
"Perginya tidak jauh. Dekat sekali. Kakakmu sering lihat kamu kok. Wardah saja tidak tahu. Jadi, biar kakakmu senang belikan gulali arum manisnya dua ya?" pinta si bapak sambil menyerahkan uang 5 ribu.
"Mmm... baiklah kalau begitu. Nanti Abah ceritakan ya kemana kakak pergi?" Wardah menurut dan sigap berlari kembali ke tukang gulali arum manis diluar.
"Baiklah nak."
'Anakku yang satu ini memang cerdas. Kamulah kakakmu. Kamulah Wardah anakku. Kelak ia akan memberi karma atas apa yang orang-orang picik lakukan kepada ibumu. Kakakmu akan selalu berada dekatmu. Ia melindungimu. Ibumu pun juga begitu. Percayalah nak.' si bapak yang kini minta dipanggil Abah itu bergumam dalam hati. Memandangi penuh takjub Wardah anaknya.
* * *
Bersambung
Wollongong, 01 Oktober 2016
11:11 pm