W. segera membuka file-file rekam rekening Mariam dan perusahaannya. Ia teliti satu persatu sampai ia mencapai satu poin disitu.Â
"Ini pak, coba bapak lihat. Ada transaksi puluhan miliar untuk C.V Antar Nusa Indah Harmoni. Setelah saya cek apa dan dimana C.V itu, tidak ada kejelasan sama sekali pak. Hanya C.V fiktif akal-akalan perusahaan Mariam. Untuk menutupi fiktifnya, ada banyak oknum terlibat disana. Bapak masih ingat pejabat yang bernama Fahri? Namanya tercantum dalam akta C.V ini pak. Dan entah mengapa bisa BPK atau PPATK kebobolan dari proyek ini. Oya pak, proyeknya terkait rumah sakit pemerintah di kota ini. Sepertinya pengadaan alat-alat penyokong operasional rumah sakit. Dan ini sudah berlangsung tahunan pak." W. menjelaskan sambil menunjuk nilai uang yang digelontorkan dari pemerintah untuk proyek ini.
"Sebentar W. ini bukan tugasmu . Selidik soal uang dan korupsi sudah ada lembaganya. Kamu cukup laporkan saja kira-kira dugaanmu ini. Kita fokus cari pelaku penculik Mariam dan Johan, atau mungkin Fahri. Saya akan koordinasi dengan petinggi lembaga yang kamu sebut tadi." Inspektur Jenar segera meninggalkan W. sendiri di mejanya.
Kecewa pasti yang akan ia terima. W. tahu benar itu. Sistem ini begitu korup. Sampai rekan kerjanya saja dijejali mulutnya uang karya busuk para pencoleng ini.
"Halo? Nik, kamu bisa jemput pak H nanti malam jam 11. Saya pantau dari jauh." W. segera menelepon selepas Inspektur Jenar pergi.
"Baik, 86.." suara diujung telepon menjawab.
* * *
Bau anyir darah sudah tidak tercium di ruang Kesempurnaan. Mariam kini berhasil duduk. Walau perih dan sakit menyelimuti perutnya, namun ia bertahan. Luka amputasi tangannya sudah mengering. Namun ia bisa rasakan koreng. Dan tonjolan lembut kutil nanah muncul disekitaran koreng. Andai ia bisa melihat seberapa parah korengnya, mungkin akan sangat mengerikan. Perutnya pun juga begitu. Entah apa yang dilakuakan orang yang sering datang itu, perutnya sudah kebas. Kini panas tinggi Mariam rasakan. Keringat dingin membasahi pakaiannya yang sudah berbau aneh. Pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya serasa mau pecah.
Johan lebih banyak menggeram menahan sakit. Kadang ia teriak-teriak sendiri sambil mengumpat. RIntihan diiringi tangisnya begitu menyanyat bagi orang biasa yang mendengarnya. Beberapa bagian tubuh Johan juga telah sempal dagingnya. Luka yang besar kini dilmuri licinnya darah putih menutup luka. Darah pun sudah mengering. Namun ngilu dan sakitnya mata kail yang disangkutkan di bagian tubuh lain tiada terperi. Beberapa mata pancing pun sudah berkarat.
"Sraak.." tiba-tiba pintu terbuka. Cahay terang masuk namun Abah bediri menentangnya.
"Selamat siang Nona Mariam dan Tuan Johan. Sudah dua hari saya tinggalkan. Apa kalian rindu saya?" Abah berucap sambil berdiri di depan pintu. Membawa box besar.