Tak terasa sudah 3 tahun lebih saya nangkring di Kompasiana. Dari mulai mondar-mandir jadi silent reader. Sampai ikutan teman jadi Kompasianer, sudah 600-an artikel saya buat. Dari verifikasi penulis hitam, hijau sampai biru sudah saya lalui. Dari syarat administrasi unggah KTP sampai bertemu wajah di kantor Kompasiana juga sudah pernah. Dari sekadar bersapa di kolom komentar, sampai ngobrol asyik di Nangkring juga sempat dilakukan. Betah juga saya di Kompasiana.
Lalu kenapa harus di Kompasiana? Saya pribadi punya blog sendiri.Â
Pertama, karena Kompasiana 'besar'. Maksudnya secara literal dan implisit. Karena Kompasianer sampai saat ini mencapai ratusan ribu, artikel kita bisa banyak dibaca. Beda dengan follower blogspot saya. Apalagi termaktub eksplisit brand 'Kompas' di Kompasiana. Memang dulu Kompasiana hanya digunakan jurnalis internal Kompas. Namun mengubahnya menjadi situs publik memang mendatangkan hasil. Semua berkat kerja keras bung Pepih tentunya.Â
Secara implisit pun Kompasiana besar gaungnya. Sudah banyak sumber berita portal berita mainstream memetik artikel di Kompasiana. Bertahan sampai tahun 2016 pun tentu menjadikan Kompasiana 'senior' di bidang citizen journalism. Sempat muncul artikel Kompasianer di Harian Kompas sebagai apresiasi admin dulu. Namun program ini hilang. Sempat pula ada KompasianaTV. Yang di mana saya pernah numpang eksis beberapa kali, pun hilang di awal tahun ini.Â
Sebenarnya 2 program apresiasi Kompasiana tadi menjadi sebuah timbal-balik. Namun entah kenapa dihilangkan? Namun apresiasi tinggi Kompasiana dalam bentuk Kompasianival pun sangat membanggakan. Bagi para calon penerima award Kompasianival tentu menyenangkan. Menjadi sebuah point penting dalam portofolio hidup. Pun bisa menjadi cerita membanggakan tersendiri jika bisa dianugrahi salah satu award-nya. Kebetulan saya belum? #BukanPromosi :-)
Kedua, karena Kompasiana adalah media belajar menulis yang berkesan. Baik menulis formal, non-formal dan informal semua bisa di sini. Tulisan serupa jurnal pun sering saya tulis. Apalagi untuk buat sebuah blog competition. Banyak referensi buku atau jurnal saya cantumkan. Tulisan non-formal seperti laporan Nangkring atau reportase suatu event atau tempat banyak pula dibuat. Atau sekadar curhat dengan bahasa sehari-hari juga ada.Â
Berwarna, itulah model tulisan di Kompasiana. Walau ada juga tulisan copas atau hoax, admin sudah berusaha memfilter hal ini. Dengan model prosa atau puisi, banyak juga penulis hebat menjadi referensi saya menulis disini. Ada pejabat, penulis novel, akademisi, praktisi, diaspora, dll adalah rupa-rupa Kompasianer. Dan mungkin juga ada orang-orang besar yang mungkin 'bersembunyi' di akun anonimus Kompasiana. Dulu pernah heboh akun Gayus beredar di Kompasiana. #SudahDiPetiEs?
Komentar pedas, manis, asem atau pahit pernah saya terima di artikel saya. Dengan cara inilah saya 'dilatih' menjadi penulis. Tulislah artikel politik dengan judul yang mengundang decak kagum. Jangan heran hater/lovers akan segera nimbrung di artikel semacam ini. Dan kadang malah saya yang membuat artikel terkekeh sendiri melihat gontok-gontokan di kolom komentar. Tapi itulah dinamika aspirasi pro-kontra satu isu.
Sudah sering kali saya pun ikutan blog competition. Sayang seribu sayang, tidak pernah menang. #CurCol. Hadiah yang benar-benar pernah saya terima dulu adalah sebuah printer plus scanner. Saya sangat bersyukur sekali menjajal dan mereviewnya. Printer gratis dan hanya 'dibayar' 2 tulisan membuat saya sendiri heran. Kata-kata yang saya buat mewujud dalam bentuk printer.Â
Keempat, karena Kompasiana dianggap referensi 'valid' karya ilmiah. Mungkin hal ini masih tentatif untuk parameter ilmiah. Namun artikel saya sendiri sudah hampir 4 kali dijadikan referensi karya ilmiah. Saya Google akun nama dan muncullah beberapa PDF anstrak dan konten lengkap karya ilmiah dari beberapa universitas di Indonesia yang mengutip artikel saya. Membanggakan tentunya.Â
Artikel yang kita buat dianggap memiliki indikator 'berisi'. Dan wajar jika mahasiswa atau peneliti mengutip artikel kita. Dan dalam hal ini tentu harus ada link di mana artikel kita ditaut. Sebuah konvensi yang sama-sama menguntungkan. Walau ada juga artikel ilmiah yang salah mengutip nama saya menjadi Lukmato. #NggaApa2
Kelima, karena Kompasiana adalah keluarga Indonesia. Ini yang saya rasakan saat jauh dari tanah air. Dengan Kompasiana, muncul rasa memiliki tanah air air yang lebih banyak. Banyak tulisan Kompasianer di luar negri yang inspiratif. Artikel mereka memberikan analogi, saran, kritik untuk negri sendiri. Dan semua untuk membangun negri sendiri tentunya.
Dan kolom Kompasiana pun menjadi ajang 'silaturahim' Kompasianer. Tidak perlu formal-formal sekali dalam berkomentar. Namun juga harus menjaga etika yang biasanya kita lakukan saat mengobrol saja. Ada pula komentar lucu dan sarkas. Tapi itulah dinamika 'keluarga' Indonesia di Kompasiana. Kompasiana adalah gambaran kecil Indonesia.
Pada akhirnya, sungguh ingin saya hadir Kompasianival sekali waktu. Mungkin banyak penasaran wajah saya seperti apa? Mungkinkah ganteng atau menawan? #Halah. Ingin merasakan bangganya menjadi orang Indonesia di Kompasianival. Berjumpa dan bertegur sapa dengan Kompasianer dari segaa penjuru Indonesia dan dunia, mungkin.Â
Dan tentunya ingin terus bersumbang tulisan untuk Indonesia. Walau sederhana atau malah berkesan sangat subjektif. Namun inilah perspektif saya sebagai anak bangsa untuk negerinya.Â
Salam,
Wollongong, 14 September 2016
1:53 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H