Hangatnya matahari
Membakar tapak kaki
Siang itu di sebuah terminal yang rapi
Wajah pejalan kaki
Kusut mengutuk matahari
Jari-jari kekar kondektur genit
Kau dadahiDari sebuah warung wc umum
Irama melayu terdengar akrab mengalunDiiringi deru mesin-mesin
Diiringi tangis yang kemarin
(Terminal - Iwan Fals & Franky Sahilatua)
Sebuah penggambaran jumudnya terminal di kota besar. Saat semua orang menderu diiringin mesin-mesin. Setiap orang dengan keluh dan upayanya untuk terus hidup berkumpul di terminal. Semua orang mengikuti arus jaman demi dapur ngebul.Â
Sebuah deskripsi dalam lirik lagu Terminal Iwan Fals yang coba menggambarkan era industrialisasi. Lagu yang muncul di medio 80-90-an pas sekali menggambarkan nuansa kota besar. Kota yang jantungnya bergerak di pasar, terminal dan pabrik-pabrik.Â
Generasi industri ini pun tak luput dari tangis kemarin. Tangis generasi agraria. Generasi ayah-ibu, kakek-nenek dan moyang yang agraris hanya bisa rela melepas generasi baru berpacu di dunia industrialis.Â
Sawah warisan ayah pun dijual agar sang anak bisa merantau ke kota besar. Sawah warisan yang nantinya juga akan berganti dengan beton perumahan. Tangis yang tidak bisa dibendung. Bukan keinginan generasi dulu. Namun jaman memang sudah berubah.
Manusia dengan pemenuhan ekonominya akan berevolusi seiring jamannya. Setiap era memberikan manusia cara kreatif dan sporadis guna memenuhi kebutuhannya. Era industrialisasi masih ada. Namun seperti sebuah perjalanan, era ini memasuki senjakala.Â
Era industri berganti menjadi era teknologi informasi (era 4.0). Manusia pun bergerak spontan dan serentak menyambutnya. Teknologi dan informasi merangkak masuk diam-diam ke segitiga Maslow paling bawah. Membeli gadget atau gawai menjadi kebutuhan primer. Tanpa gadget, jangan heran ada stigma manusia kuno.
Sharing Economy, Wartel dan Warnet
Kasus GoJek, Uber dan Grab Taxi saya anggap akan tetap mengundang tangis kemarin. Tangis pelaku ekonomi transportasi konvensional yang akan tetap ada. Mau tidak mau. Ikhlas tidak ikhlas. Sharing economy serupa aplikasi transportasi online bukan lagi kenisbian.Â
Manusia dan pemenuhan ekonominya bergerak sejajar dengan pergeseran era. Sulit menghindar dari perubahan. Menghindari kemajuan adalah bunuh diri. Dan tangis era agraris akan terganti dengan tangis era industrialisasi.
Sharing economy yang diterapkan Uber, AirBnB, Coursera dll menjadi tren global. Setiap orang ingin berbagi apa yang bisa mereka jual. Dari mulai kamar apartemen sampai kendaraan coba dikomersialisasi. Penyedia jasa serupa GoJek atau Uber melihat hal ini. Developer seperti mereka punya teknologi. Orang-orang seperti kita punya capital (modal/akomodasi/jasa). Kenapa tidak dipadukan demi mencapai nilai materi. Di atas S&K tertulis, pembagian uang jelas tertera. Semua pihak senang. Apalagi konsumen.
Namun semua tergerus saat handphone hadir. Teknologi nirkabel ini menggerus Wartel secara brutal. Pengusaha Wartel bangkrut. Konsumen mana perduli. Karena ada medium baru yang lebih efisien, efektif dan pada saatnya nanti murah.Â
Handphone di awal tahun 2000-an tumbuh pesat. Setiap orang mengganti mulai dari pager sampai Walkman dengan handphone. Tangis kemarin pemilik Wartel masih terngiang waktu itu. Namun tidak saat ini.
Hal yang hampir mirip terjadi dengan Warnet saat modem menjamur. Setiap orang lupa kalau tahun 2003-2004 sering browsing di Warnet. Mereka lupa saat pertama kali membuat akun Facebook tahun 2008 di Warnet. Atau asik chatting dengan Yahoo Messenger di Warnet sampai tengah malam dengan paket hemat. Atau saat mereka sibuk mengisi pernak-pernik Friendster, sampai lupa tagihan Warnet sudah menyentuh digit puluhan ribu. Karena kini dengan smartphone ditangan, semua dilakukan. Warnet tergerus. Ada tangis pengusaha Warnet.
Adakah yang Akan Menggerus GoJek/Uber/Lyft?
Dari ojek, angkutan umum dan taxi konvensional kini berteriak. Mereka akan segera mengucurkan tangis. Karena tanah mereka menggarap ekonomi mereka segera direbut. Transportasi berbasis aplikasi menjadi pilihan konsumen. Konsumen makin cerdas dan canggih.Â
Namun pengusaha transportasi konvensional tetap di comfort zone-nya. GoJek yang sudah hadir dari tahun 2010 tidak diwaspadai gojek konvensional. Saat mereka besar ditambah developer asing ikut rembug ke pasar domestik, baru mereka berteriak. Melarang industri berbasis era informasi teknologi seperti ini menjadi mustahil. Tangis mulai terdengar.
Konsumen malah semakin risih pengusaha transportasi bergerak tidak simpatik. Mogok atau berbuat anarki pada usaha rival mereka menjadi cara kotor bersaing. Sebaliknya konsumen semakin simpatik pada moda transportasi berbasis teknologi.Â
Accesability (aksesabilitas) menjadi kunci utama konsumen. Dimanapun dan kapan pun mereka bisa memesan taxi/ojek. Juga certainty (kepastian) baik nominal ongkos dan sampai tujuan menjadi nilai lebih bagi konsumen. Beda dengan sebagian taxi/ojek di kota besar yang argonya bisa diakali. Juga beberapa tindak kriminal dari beberapa oknum taxi/ojek yang menjadi momok.
Driverless car Google, taxi Lyft tanpa pengemudi, drone yang bisa mengangkut manusia atau Project Hyperloop Elon Musk bisa saja menjadi penggerus developer serupa GoJek. Lama memang untuk hilangnya transportasi berbasis aplikasi.Â
Karena toh aplikasi akan tetap menjadi platform yang menjembatani konsumen dan vendor/developer teknologi. Walau secara aplikatif, medium yang menjadi moda transportasi tidak sesederhana saat ini. Namun tangis Uber taxi atau Gab Bike akan mulai terdengar ketika masa itu tiba.
Regulasi Tidak Akan Merubah Banyak
Menhub Jonan pun turun rembug menyoal senjakala moda transportasi masal ini. Ia menegaskan tidak ada aturan hukum untuk moda transportasi berbasis aplikasi ini. Dephub meminta Kemenkominfo memblokir aplikasi moda transportasi online.Â
Namun di satu sisi, Rudiantara sebagai Menkominfo mendukung model transportasi serupa GoJek atau Uber. Namun demi memfasilitasi 'dapurnya' banyak orang. Akan ada aturan yang mungkin mengatur jumlah mobil/motor berbasis sharing economy ini. Karena toh konsumen yang menggerakkan roda ekonomi.
Kasus serupa Uber taxi sudah menjadi fenomena di banyak negara. Banyak pengemudi taxi konvensional yang menolak. Pemerintah lokal pun menengahi. Pemerintah kota Calgary dan Vancouver melarang Uber beroperasi. Supir taxi konvensional di kota Toronto, Montreal dan Ottawa pun berdemonstrasi menolak Uber taxi beroperasi.Â
Begitupun di kota Austin Texas, dimana Lyft juga akhirnya dilarang dengan alasan tidak masuk akal. Namun fakta berkata lain. Taxi Uber lebih dipilih konsumen disana karena 36% lebih murah dari taxi konvensional. Di akhir tahun 2015 lalu, London pun telah melegalkan Uber untuk beroperasi. Walau konflik Uber vs taxi konvensional tetap terjadi.
Konsumen menuntut moda trasnportasi aman, nyaman, dapat diandalkan dan murah. Roda ekonomi akan terus berputar. Namun roda ekonomi akan melambat bagi perusahaan transportasi yang minim inovasi. Merongrong pemerintah bukan menjadi alternatif kuratif kondisi yang ada. Sebaliknya, membuat konsumen semakin meragu.
Tangis dari tiap jaman akan terus terjadi. Karena manusia berinovasi. Era akan berubah. Dan manusia dan segala yang turut menyerrtainya akan berubah. Namun keinginan moda transportasi aman, nyaman, murah dan dapat diandalkan tetap sama.Â
Mulai dari jaman lokomotif uap, kereta listrik sampai kereta super cepat adalah contoh manusia yang bergerak ekonomi dan teknologinya. Dunia akan semakin sempit dengan transportasi yang kian cepat.
Diiringi deru mesin-mesin (yang kian senyap)
Diiringi tangis yang kemarin
Salam
Solo, 17 Maret 2016
01:50 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H