Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membenarkan Perilaku Pengendara Moge

22 Agustus 2015   13:10 Diperbarui: 22 Agustus 2015   13:10 2903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya Permisif dan Trending Semata

Sampai kapan ulah arogan di jalan berlangsung? Baik pengendara moge atau pengendara lain di jalan, seolah mengidap 'penyakit' sok jadi raja jalanan. Banyak pengendara motor yang lebih bisa ngebut dari Valentino Rossy kalau di jalan. Toh yang ikut MotoGP tidak pernah masuk sepuluh besar. Banyak juga yang berani mati soal melanggar lalin di jalan raya. Toh tidak ada yang menjadi bisa juara dunia X-Games. Kita hanya bisa menjadi penonton. Lebih lagi, kita hanya konsumen semata. Kita hendak meniru mereka para juara, namun di tempat dan waktu yang salah, di jalan raya.

Budaya permisif atau pembiaran dari pihak aparat pun terjadi. Karena aparat melihat saking banyaknya pelanggar, mungkin mereka menyerah. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Atau akhirnya malah memanfaatkan. Melanggar lalin adalah setoran buat beberapa oknum aparat. Hukum dibeli asal sesuai dengan uang tancap gas yang diberi. Konvoi pun dikawal dengan mengabaikan keselamatan pengendara lain. Asal ada koneksi atasan dan imbalan yang mungkin sepadan, oknum aparat tinggal laksanakan perintah atasan.

Mirisnya, berita Elanto akan menjadi tajuk trending semata di lain hari. Tanpa ada kepastian perubahan di kemudian hari. Sudah banyak kasus konvoi moge yang membahayakan bahkan memakan korban jiwa. Tapi toh semua hanya menjadi tajuk berita right here right now. Semuanya nanti akan lupa atau dilupakan seiring jenuhnya masalah hidup masing-masing kita. Hukum di jalan raya adalah seliar hukum rimba. Siapa yang kuat ia yang menang. Siapa yang dulu ngotot, ngeyel, dan menggertak, maka ia yang menang. Atau siapa yang punya aksesoris tempel atas nama institusi aparat, ormas, atau organisasi tertentu maka ia yang menang.

Selama masih ada arogansi banyak pengguna jalan, maka agak aneh menyoroti satu kelompok pengendara saja. Saat setiap hari fenomena urakan dan koboi masih ada di jalan. Agak naif jika kita dan berita mencerca mereka yang memiliki motor lebih besar dan bagus. Semoga menjadi koreksi.

Artikel saya terkait:

Salam,

Solo, 22 Agustus 2015

01:10 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun