Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sudahkah Anda Mem-bully Jokowi Hari Ini?

7 April 2015   07:10 Diperbarui: 27 Mei 2019   15:16 1928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bully - Ilustrasi: downwithtyranny.blogspot.co.uk

Bullying, sebuah fenomena jamak yang bukan lagi rahasia untuk diumumkan. Apa sih bentuk bully? Hemat saya sendiri, bully bisa berupa ekspresi verbal/non-verbal/digital kekecewaan sampai pada utter mockery atau kata-kata kasar. 

Kekecewaan tentunya saat hati dirundung aura negatif pada seseorang. Aura ini begitu menyeruak saat melihat, mendengar, dan menyaksikan hal yang membuatnya begitu kecewa. Tanpa perlu mengeluarkan lisan, hati cukup menisbikan kehadiran objek. 

Bully pun mungkin bisa terjadi. Dan yang lebih straightforward, adalah caci-maki. Lisan mengumpat, hati mengendapkan benci, wajah menyiratkan aura negatif. 

Sejak belum jenak Pilpres digulirkan, Jokowi sudah diterpa beragam bully. Ditambah, sosmed yang digunakan kubu Jokowi dalam kampanye baik untuk DKI 1 maupun RI 1, merepresentasikan true nature atau hakikat dasar manusia, yaitu insatiability (ketidakpuasan). 

Apa pun yang tidak ideal dan rapuh dari Jokowi, sebisanya dikritisi dan di-bully. Dari mulai wajahnya yang ndeso, sampai kebijakannya yang kini hanya janji manis dikritisi atau di-bully. 

Saya mencoba memasukkan kritik sebagai bully dalam ranah ketidakpuasan. Bukan berarti kritik membangun adalah hal negatif. Namun karena sifat ketidakpuasan sendiri adalah dua sisi, baik menuju kebaikan dan keburukan. 

Jadi kritik adalah bully? Walau, ada kontradiksi hakikat kalau bully adalah 'negatif' namun dengan negasi ada sisi positif yang timbul. Saat kritik itu bukan lagi kritik, melainkan caci-maki ada keinginan baik pada subjek atau objek yang dicaci, untuk bisa diperbaiki. Dengan cara kasar sekalipun, bully berupa caci secara tidak sadar mengarah pada hal baik. 

Kita kembali pada Jokowi dan bully, maka ada beberapa tipe pem-bully. Dan yang sering saya tautkan, bully ini bisa terjadi harian atau sekadar insidental. Dengan sosmed, tentunya akan banyak sekali akun, Twitter, BBM, FB atau grup Whatsapp yang secara harian tidak lepas dari mem-bully Jokowi. 

Baik dilakukan secara individu ataupun kelompok. Sedang insedental, biasanya terjadi jika Jokowi dianggap blunder dalam satu kebijakan. Baik harian atau insidental, baik itu kritik atau caci-maki, ada tipe-tipenya. Berikut coba saya jabarkan: 

1. Utter Mockery 

Yang terjadi dari tipe bully atau pelaku bully serupa ini adalah hardliner pendukung kubu Capres atau Cawagub penantang Jokowi. Bahasa sosmed-nya, mereka yang belum bisa #moveon. Ada pula yang bilang mereka yang berada dalam barisan sakit hati. Entah meraka yang berasal dari elite politik negeri ini, sampai penjaja gorengan pinggir jalan, kalau sudah ngobrol menyoal Jokowi, sungune (tanduknya) muncul. 

Tidak ada yang baik dari Jokowi, bahkan saat ia menjadi Walkot Solo. Kata umpatan yang kadang mengernyitkan dahi bagi yang mendengarnya bisa muncul. Status mereka di sosmed pun tak lain menertawakan dan bersuka-ria di atas 'derita' Jokowi. 

Derita yang Jokowi harus tanggung karena ia bukanlah presiden yang sesuai untuk Indonesia. Bully mereka kadang bukan kritik, baik kasar maupun halus, namun lebih pada utter mockery (umpatan langsung). Yang terlihat mungkin cukup, umpatan halus seperti Presiden Jokowi bikin #gila atau mungkin umpatan personal saat ada rekan yang 'seirama' dengan mereka. 

2. Subtle Disappointment 

Sedang tipe berikutnya, mungkin lebih pada mau-tidak-mau untuk mem-bully. Selain ada kecewa karena ia memilih Jokowi, dan banyak berita negatif yang menyudutkannya, ia pilih diam. Kekecewaan ini bisa mengeras dan melunak. Dengan pemahaman, mengeras saat benar memang Jokowi salah langkah mengambil kebijakan yang memberatkan rakyat. Melunak saat ia menunggu ternyata kebijakan Jokowi penuh trik. 

Dengan kata lain, menunggu chain of events yang ada berakumulasi menjadi satu hasil yang baik. Status mereka di BBM atau FB biasa saja menyoal Jokowi. Kadang pun 'membela' Jokowi jika chain of events ini semua bermuara pada satu maslahat atau kebaikan. 

Tipe subtle memang agak 'samar' dikategorikan mem-bully. Namun rasa kecewa yang nyata jika satu kebijakan Jokowi memang salah, ada perasaan meradang. Ada kecewa yang turun-naik, benci di-PHP-in bahasa medsosnya. Namun sabar menunggu, walau hati kadang membenci Jokowi secara halus. 

3. Criticism Scrutinizing  

Tipe ketiga, mungkin lebih bisa dikatakan mereka yang menjadi pem-bully 'akademik'. Akademik karena mungkin datang dari akademisi, atau pemburu dan penggiat berita politik ter-update tentang Jokowi. Semua hal tentang Jokowi dan kebijakannya ia paham. 

Seolah, ia seorang detektif atau forensic auditor yang menganalisa semua kebijakan Jokowi buat. Kritik pedas maupun membangun pun tercipta. Dan semua didasarkan, kadang, fakta secara general maupun satu ranah disiplin ilmu. 

Semua bisa dikaitkan dengan baik. Mulai dari elite politik, pengamat, penulis, blogger, atau bidang lain yang berkesan semi-formal menjadi corong. Ada pula secara nyata, mainstream media yang seolah-olah mengkritik sedang media lain mendukung. 

Publik biasanya diomban-ambing deng dua media ini. Namun, untuk pengolah kritik media, sosmed dan opini publik adalah source atau sumber kritik mereka. Bisa terkesan bully, saat kritik terlalu berat pada kesan 'memojokkan' Jokowi. Bisa sangat konstruktif pula. 

Namun saat dua sisi ini bertemu di dunia media, kebenaran menjadi maya. Lalu bully pun halus tercipta. Mem-bully atau tidak mem-bully adalah pilihan. Saya pun tidak bisa diam melongo tanpa mencoba mengkritisi Jokowi atas kebijakannya yang dianggap salah. 

Selama bully dalam koridor mengkritisi itu wajar dilakukan. Bahkan, dengan mengumpat pun wajar dilakukan. Namun baiknya, yang terakhir cukup dilakukan di dalam hati saja.

“The world is a dangerous place to live; not because of the people who are evil. But because of the people who don’t do anything about it“ - Albert Einstein

Mungkin pula, artikel saya tahun lalu Saat Jokowi Presiden, Akan Tercipta Dua Versi Parlemen Jalanan mulai terlihat adanya. Entah benar atau tidak nantinya, lakukan bully dengan bijak. 

Salam,

Bandung, 07 April 2015

07: 11 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun