Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ketika Anak Magang Dieksploitasi dalam Dunia Kerja

9 November 2021   23:38 Diperbarui: 10 November 2021   02:51 1593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana tempat kerjamu memandang anak magang?

Bicara tentang anak magang, kemarin sedang ramai kasus anak magang terkena praktik "eksploitasi". Pertama adalah yang dilakukan oleh salah satu startup pendidikan di Indonesia. Diketahui, anak magang di perusahaan tersebut hanya digaji 100 ribu sebulan dan bahkan didenda 500 ribu bila resign atau mengundurkan diri. 

Kedua adalah dari program pemerintah sendiri yaitu Kampus Merdeka. Diketahui ribuan mahasiswa belum menerima uang saku sesuai yang dijanjikan selama dua bulan. 

Kondisi ini diperparah dengan adanya mahasiswa yang harus pergi ke luar kota untuk melaksanakan program ini. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan keterlambatan uang saku sehingga mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ketiga, baru-baru ini juga ada yang menyatakan dalam Q&A bahwa anak magang dibayar bukan dengan uang. Anak magang dibayar dengan kesehatan mental yang stabil karena bisa bermain bersama hewan. 

Sulit memang rasanya jadi anak magang. Mereka berada di posisi yang serba salah dalam dunia kerja

Padahal, anak magang merupakan subyek hukum dan diakui oleh negara, tertulis pada UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020. 

Namun, kembali lagi apa yang tertulis akan sia-sia tanpa pengawasan, tiga kasus di atas contohnya dari banyaknya bentuk ekspoitasi.

Bentuk eksploitasi terhadap anak magang tidak hanya berhubungan dengan paid atau unpaid internship, tetapi juga:

  1. Workload dan KPI atau beban dan capaian kerja yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan status ketenagakerjaan maupun kontrak.
  2. Toxic relationship dengan atasan atau pegawai, seperti perundungan, pelecehan, atau bentuk-bentuk tekanan yang menimbulkan ketidaknyamanan.
  3. Pemberlakuan peraturan dan norma yang menyimpang, seperti kasus biaya pinalti yang melebihi gajinya untuk anak magang.
  4. Tidak ada perlindungan bagi anak magang, seperti kontraknya tidak tertulis atau tidak jelas.

Demikian bentuk-bentuk eksploitasi yang sering dialami anak magang dan (mungkin) ada bentuk lainnya. 

Pertanyaannya, mengapa praktik ini terus-menerus ada dalam dunia kerja dan anehnya lagi kenapa tetap ada mahasiswa yang terjebak?

Bagi saya jawabannya adalah karena mahasiswa tidak punya pilihan, ada tiga alasannya:

  1. Magang sebagai syarat kelulusan
  2. Kebutuhan untuk dunia kerja
  3. Power relations

Untuk poin satu dan dua dapat membuat mahasiswa untuk mengurungkan niat menjadi "selektif" dalam memilih perusahaan.

Poin pertama kita tahu bahwa magang adalah salah satu persyaratan untuk kelulusan dengan bobot sekian SKS dan diambil saat semester-semester akhir. 

Mahasiswa juga bisa saja mengambil magang di semester awal, asalkan perusahaan membuka lowongannya dan meminta surat pernyataan magang. 

Namun, perusahaan yang paid biasanya lebih selektif atau bahkan memiliki persyaratan layaknya mencari pekerja purnawaktu. Kondisi ini membuat mahasiswa mengalami penolakan terus-menerus selagi mereka dikejar waktu untuk lulus.

Alhasil, mahasiswa menjadi cenderung tidak atau kurang selektif untuk memilih perusahaan apapun yang mau menerimanya, bahkan yang unpaid sekalipun dan terjebak dalam perusahaan yang eksploitatif.

Padahal tujuan mereka cuman satu, yaitu memenuhi bobot SKS supaya bisa mengambil skripsi dan kemudian lulus.

Sama halnya dengan poin kedua, saat kuliah mahasiswa dituntut untuk tidak hanya mengedepankan akademik tapi juga pengalaman kerja maupun organisasi.

Namun, setelah lulus tampaknya perusahaan lebih memilih kandidat yang punya pengalaman kerja dibanding organisasi. Jokes yang beredar benar adanya, ketika fresh graduate mengikuti wawancara kerja dan ditanya pengalaman kerja oleh HRD. Padahal, mereka baru saja lulus dan ingin mencari pengalaman kerja.

Kalau seperti itu, pengalaman kerja yang bisa ditempuh salah satunya adalah magang. Tapi apakah HRD atau user bertanya detail terkait pengalaman magang mahasiswa? 

Saya rasa mayoritas melakukan screening cepat dan bertanya tentang apa saja yang dikerjakan. Mereka tidak bertanya tentang apa yang dirasakan mahasiswa dalam pengalaman magang tersebut.

Alhasil, mahasiswa lagi-lagi bisa jadi tidak selektif demi sekadar mencari pengalaman kerja dan menuliskannya di dalam CV mereka. Padahal, di balik posisi dan deskripsi yang tertulis, bisa jadi ada eksploitasi. 

Poin ketiga adalah power relations. Saya yakin mahasiswa sebenarnya ingin sekali speak-up tentang eksploitasi yang dialami. Tapi mereka tidak punya "kekuatan" dengan status yang dimilikinya.

Ketika mereka speak-up, dikhawatirkan malah justru dilaporkan atas pencemaran nama baik perusahaan dan universitas sehingga mengancam masa depannya. 

Sebelumnya, hal yang terpenting adalah kepada siapa mahasiswa harus speak-up?

Untungnya saat ini kita masuk di era teknologi yang mampu mengurangi power relations tadi. Artinya, mahasiswa kini bisa punya kekuatan untuk speak-up menggunakan media sosial, meraih simpati dari netizen, dan kemudian menjadi viral. 

Setelah viral, baru ada tindakan maupun klarifikasi dari pihak perusahaan dan pemerintah. 

Terbantu juga saat ini muncul akun-akun yang membahas seluk-beluk dunia kerja dan peduli bila terjadi eksploitasi terhadap anak magang. Akun tersebut seperti di Twitter ada @hrdbacot dan di Instagram ada @ecommurz

Kedua akun ini berjasa dalam mengangkat ketiga kasus yang saya sampaikan di awal. 

Demonstrasi Unpaid Internship. Sumber: euractiv.com
Demonstrasi Unpaid Internship. Sumber: euractiv.com

Apakah eksploitasi anak magang bisa diakhiri?

Bisa, tapi ini harus melibatkan pihak mahasiswa, universitas, perusahaan, dan tentunya pemerintah. 

Untuk mahasiswa, ada tiga hal yang bisa kalian lakukan:

  • Tingkatkan kemampuan diri selama kuliah, bisa dengan mengikuti kegiatan kepanitiaan, organisasi, atau membuat portfolio diri kalian semenarik mungkin sehingga kalian tidak takut untuk menjadi selektif.
  • Kenali dan teliti perusahaan yang kalian jadikan tempat magang sebaik mungkin. Pastikan juga perusahaannya memberikan kontrak atau bentuk kejelasan lainnya terkait deskripsi kerja, jam kerja, capaian kerja, dan reward yang kalian terima.
  • Jangan takut, berani speak-up. Bila kalian takut dengan identitas kalian, lakukan secara anonim asalkan kalian punya bukti jelas dan siap menerima konsekuensi.

Untuk universitas dan pemerintah, punya tugas yang sama, yaitu ciptakan sistem whistleblower, lakukan pengawasan, dan berani melindungi. 

Saya yakin dengan sistem whistleblower, mahasiswa akan berani untuk menyampaikan apa yang dialaminya selama magang. 

Buat pengawasan, apakah mahasiswa magang diperlakukan dengan baik atau tidak oleh perusahaan. Universitas jangan hanya mengawasi absen kerjanya saja, tapi juga memastikan diperlakukan dengan baik mahasiswanya. 

Begitupun dengan pemerintah, terapkan pengawasan terhadap penerapan undang-undang yang sudah dibuat untuk anak magang. Bila berjalan dengan baik bisa dilanjutkan dan ada yang janggal, bisa segera revisi. Jangan lupa untuk segera tindak tegas bila ada perusahaan yang "bandel".

Untuk perusahaan, terapkan transparansi terhadap anak magang. Jangan bekerja dulu baru dijelaskan tentang hak dan kewajiban serta seluk-beluk pekerjaannya, melainkan dijelaskan dulu baru bertanya apakah anak magang bersedia atau tidak. 

Jangan anggap anak magang sebagai tenaga kerja murah melainkan tenaga kerja yang ingin belajar hal baru dan berkembang untuk meningkatkan kapasitas dirinya.

Sesuaikan kemampuan perusahaan dengan apa yang dilakukan oleh anak magang. Bila tidak mampu membayar, jangan terlalu memberikan tekanan. Sebab rasa lelah, lapar, dan haus akibat tekanan, tidak bisa dibayar oleh pengalaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun