Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Waste to Energy: Daripada Sampah Menumpuk, Alangkah Baiknya Menjadi Listrik

6 September 2021   11:14 Diperbarui: 14 April 2022   13:22 2174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tumpukkan sampah. Sumber: Tom Fisk dari Pexels

Berapa banyak sampah yang kalian buang hari ini?

Di mana ada manusia, disitu ada sampah. Semakin banyak populasinya, semakin tinggi pula tumpukkan sampahnya dan akan semakin berbahaya jika kita tidak tepat dalam mengelolanya.

Pengelolaan sampah sebenarnya bisa dilakukan dengan banyak cara. Hal yang paling umum kita lakukan saat ini adalah daur ulang atau mencegah penambahan sampah itu sendiri dengan mengurangi penggunaan hal-hal yang "sekali pakai".

Itu bagus dan sudah menunjukkan kalau kalian peduli dengan keberlangsungan bumi ini.

Namun, ada cara pengelolaan sampah lainnya yang (mungkin) bisa digarap secara masif oleh pemerintah. Cara itu adalah mengolah sampah menjadi listrik atau Waste to Energy (WtE).

Waste to Energy (WtE) adalah pembangkit untuk pengolahan limbah padat yang mampu meminimalkan permasalahan lingkungan yang ditimbulkan dari penimbunan sampah dan juga mampu meningkatkan pangsa energi terbarukan.

Dalam klasifikasi energi terbarukan, WtE termasuk ke dalam bioenergi, yaitu energi yang dihasilkan dari konversi produk padat, cair, dan gas yang berasal dari biomassa. 

Termasuk bahan baku yang berasal dari hewan atau tanaman, seperti kayu dan tanaman pertanian, dan limbah organik dari sumber kota dan industri.

Waste to Energy mempunyai kemampuan untuk mengolah sampah berasal dari tiga sumber utama, yaitu pertanian, kota dan fasilitas industri yang ketiganya dibagi menjadi lima jenis, antara lain: 

  • organic waste (terdiri dari sampah-sampah tanaman perkebunan atau taman, hewan, dan makanan)
  • recyclable waste (terdiri dari sampah kertas, plastik, logam, dan kaca)
  • dry recoverable waste (terdiri dari sampah-sampah kering)
  • inert waste (terdiri dari puing-puing konstruksi dan abu)
  • hazardous waste (terdiri dari wadah pestisida, limbah medis, dan bahan-bahan radioaktif)

Hirarki Pengelolaan Sampah (European Commision, 2019)
Hirarki Pengelolaan Sampah (European Commision, 2019)

Dalam hirarki pengelolaan sampah, WtE termasuk recovery dan menjadi solusi pengelolaan sampah yang lebih baik dibandingkan disposal atau penimbunan di tempat pembuangan akhir.

Penimbunan menjadi opsi terakhir dalam pengelolaan sampah karena memiliki dampak negatif, khususnya terhadap kesehatan. 

Kita tentu merasakan sendiri misalkan di rumah ada sampah menumpuk di rumah, bau tidak sedap akan datang dan berujung membawa penyakit.

Namun, di kawasan Asia (termasuk Indonesia), disposal ini justru menjadi pengelolaan sampah yang favorit.

Proporsi Pengelolaan Sampah di Dunia Tahun 2000-2016 (UN Environment, 2019:20)
Proporsi Pengelolaan Sampah di Dunia Tahun 2000-2016 (UN Environment, 2019:20)

Data tersebut menunjukkan bahwa kawasan Asia (West Asia dan Asia Pacific) masih 50 persen pengelolaan sampahnya dilakukan dengan cara disposal atau penimbunan. Ini berbanding terbalik dengan, proporsi WtE (incineration with energy recovery) yang masih sangat minim.

Sama halnya di Indonesia, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2017, pengelolaan sampah Indonesia sebesar 69% sampah dikirim ke tempat pembuangan/pemrosesan akhir atau TPA.

Inilah yang membuat salah satu TPA untuk kota metropolitan, Bantar Gebang, digadang-gadang akan mengalami overload karena menjadi satu-satunya tempat pembuangan akhir dan adanya peningkatan jumlah sampah di provinsi DKI Jakarta.

Proyeksi Jumlah Sampah Provinsi DKI Jakarta 2017-2022 (Unit Pengelola Sampah Terpadu, 2017:51)
Proyeksi Jumlah Sampah Provinsi DKI Jakarta 2017-2022 (Unit Pengelola Sampah Terpadu, 2017:51)

Terlihat dari data di atas, tampak bahwa sampah DKI dari tiap wilayah, baik Jakarta Utara hingga Pusat akan mengalami kenaikan volume sampah setiap tahunnya. 

Apabila terus-menerus volume ini ditampung di Bantar Gebang, semakin dekat masa purnanya sebagai tempat pembuangan akhir. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang mampu mengurangi beban TPA, salah satunya dengan WtE ini.

Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang punya potensi untuk mengembangkannya. Terlihat dari data di bawah ini:

Potensi Sampah dan Potensi WtE/PLTSa di Indonesia (BPSDM PU, 2019:38)
Potensi Sampah dan Potensi WtE/PLTSa di Indonesia (BPSDM PU, 2019:38)

Potensi WtE di Indonesia mencapai 1.879,50 MW dengan potensi terbesar berada di provinsi Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dengan 712 MW serta pulau Jawa menjadi potensi terbesar dibandingkan pulau-pulau lainnya. 

Ukuran potensi WtE dapat dilihat dari potensi volume sampah yang dihasilkan dalam provinsi. Alhasil, data tersebut menunjukkan juga bahwa Indonesia mempunyai potensi untuk pengembangan WtE di banyak provinsi dan pulau yang berbeda.

Namun, realisasi dari proyek WtE sampai pada Desember 2013, menunjukkan bahwa pengembangan WtE masih jauh dari kata maksimal apabila dilihat dari potensi yang ada. 

Berdasarkan data dari The Institute for Essential Services Reform (IESR) dan The Carbon Trust, WtE yang sudah beroperasi sampai pada akhir tahun 2013 baru menghasilkan 93,5 MW. 

Angka ini tentu menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan potensi WtE melalui inisiatif pembangunan-pembangunan WTE di setiap provinsi.

Oleh karena itu, untuk mendukung percepatan pembangunan WtE ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan perpres Nomor 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Isi dari perpres tersebut antara lain:

  • Menekankan kepada menjadikan sampah sebagai sumber daya untuk mendapatkan nilai tambah sampah menjadi energi listrik
  • Memberikan mandat kepada 12 (dua belas) pemerintah daerah untuk membangun PLTSa, antara lain provinsi DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Manado, dan Palembang.

Percepatan pembangunan WtE di ibu kota sendiri juga sudah dimasukkan ke dalam Masterplan Pengelolaan Sampah Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2032. 

Dalam masterplan tersebut dijelaskan bahwa WtE akan dibangun di 4 (empat) lokasi berbeda di DKI Jakarta, antara lain di Sunter, Marunda, Cakung, dan Duri Kosambi.

Prospek Waste to Energy

WtE memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan, hal ini bisa dilihat dari data estimasi investasi global terhadap pembangkit WtE.

Menurut World Energy Council, pasar WtE global bernilai 9,1 miliar USD pada tahun 2016, dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 25 miliar USD pada tahun 2025.

WTE juga diakui secara internasional sebagai pembangkit yang efektif untuk mencegah pembentukan emisi gas rumah kaca dan untuk mitigasi terjadinya perubahan iklim. 

World Economic Forum, dalam laporannya tahun 2009, Green Investing: Towards a Clean Energy Infrastructure, mengidentifikasi WtE sebagai salah satu teknologi yang mampu memberikan kontribusi bagi sistem pembangkit energi rendah karbon di masa depan.

Dalam buku Waste-to-Energy Technologies and Global Aplications dijelaskan beberapa negara sudah menerima langsung manfaat dari WtE, antara lain:

  • TERSA WtE di Barcelona yang sudah beroperasi sejak tahun 1974 dan mampu mengolah 21 persen total limbah padat di kota Barcelona serta setiap tahunnya menghasilkan listrik sebesar 150 GWh.
  • Negara Italia yang mempunyai 50 fasilitas WtE mampu mengelola 17 persen sampah nasional dan menciptakan lapangan kerja sebanyak 2500-2700 pekerjaan.
  • China tidak ketinggalan mempunyai 210 WtE yang beroperasi dan mampu berkontribusi terhadap pengelolaan sampah nasional sebesar 20%.
  • Negara tetangga, Thailand, pembangkit WtEnya berada di ibukota, yaitu Bangkok, mampu memenuhi sebesar 2,5 persen dari total konsumsi listrik

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan WtE

WtE memang terlihat sebagai proyek pengelolaan sampah yang menjanjikan. Namun, tanpa persiapan yang matang, proyek ini akan justru berbalik membawa kerugian.

Menurut UN Environment, instalasi WtE memerlukan investasi besar dan biaya operasi yang rata-rata jauh lebih tinggi daripada metode pengolahan limbah lainnya.

Sumber pendanaan yang sifatnya jangka panjang harus dipersiapkan dengan baik untuk operasi berkelanjutan dan pemeliharaan instalasi WtE, bisa dari investasi swasta, biaya dari negara langsung, atau dengan sistem public private partnerships.

Selain pendanaan, pembangunan WtE juga harus memperhatikan aspek hukum dan lingkungan, seperti undang-undang yang mendukung pembangunan proyek WtE ini.

Selain itu, adapun undang-undang standar emisi yang berkaitan dengan gas buang pabrik WtE dan pembuangan limbah residu harus ditegakkan dan harus memenuhi standar internasional, seperti European Union’s Industrial Emissions Directive. 

Pengembangan WtE harus mematuhi batas emisi yang diakui secara internasional untuk menghindari dampak buruk terhadap kesehatan lingkungan dan publik.

Selanjutnya adalah pengembangan WtE harus memperhatikan aspek sosial. Persetujuan publik atau "lisensi sosial", harus diperoleh untuk membangun pembangkit WtE. 

Hal-hal yang sering mengalami penolakan dari publik, salah satunya adalah permasalahan site allocation. Penempatan pembangkit WtE harus dilakukan dengan tepat karena berkaitan terhadap dampak lingkungan dan kesehatan. 

Maka dari itu, terdapat ketentuan-ketentuan penempatan pembangunan pembangkit WtE, antara lain:

  • Jaraknya berdekatan dengan tempat pengumpulan sampah, berdekatan jaringan distribusi listrik atau energi. 
  • Berada di wilayah yang tidak menganggu aktivitas dan lalu lintas masyarakat serta tidak berdampak pada kesehatannya
  • Berada di zona untuk lahan penggunaan industri sedang atau berat. 
  • Berada di wilayah yang mempunyai waktu singkat dari tempat penghasil sampah atau pengumpulan sampah ke pembangkit WtE.

Terakhir, sama seperti proyek pada umumnya, studi kelayakan berbasis fakta dan data, cost benefit analysis, dan penilaian dampak lingkungan dan kesehatan harus juga dilakukan dan disampaikan kepada masyarakat.

Permasalahan sampah tidak berhenti pada "Jangan membuang sampah sembarangan", sebab saat ini dibuang ke tempat sampah lalu berakhir di TPA pun ternyata membawa masalah. 

Sampah ini inevitable product manusia, bila kita tidak dikelola dengan tepat, maka bersiaplah akan hidup berdampingan.

Referensi:

  • BPSDM PU. (2019). Modul Kebijakan dan Strategi Pengembangan Waste to Energy (WtE). Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum.
  • IESR. (2018). Igniting a Rapid Deployment of Renewable Energy in Indonesia. Jakarta: Institute for Essential Services Reform.
  • Kalogriou, N. (2018). Waste-to-Energy Technologies and Global Aplications. United States: Taylor & Francis Grouhlm.
  • UN Environment. (2019). Waste-to-Energy: Consideration for Informed Decision-Making. New York: United Nations Environment Programme.
  • European Comission. (2019). Directive 2008/98/EC on waste (Waste Framework Directive). European Union.
  • Unit Pengelola Sampah Terpadu. (2017). Rencana Induk Pengelolaan TPST Bantargebang. Jakarta: Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun