Belakangan kemarin, kita semua pengin jadi atlet setelah melihat hadiah yang diterima Greysia Polii/Apriyani Rahayu
Siapa coba yang tidak "kesemsem"Â lihat hadiah yang diperoleh mereka berdua setelah meraih medali emas di Olimpiade Tokyo 2020?Â
Hadiahnya lengkap, mulai dari tanah, rumah, uang tunai, tiket berpergian, berbagai macam voucher dan layanan seumur hidup, sampai lapak usaha pun berikan.
Semua terlihat indah dan kitapun menjadi membayangkan "Waaahh enak banget jadi atlet!"Â
Sepantasnya memang kita mengapresiasi atlet-atlet yang sudah berjuang hingga tetap menjadi atlet sampai saat ini apalagi mampu membanggakan nama negara.Â
Sebab jadi atlet tidaklah mudah dan murah.
Bisa dilihat dari kisah bagaimana perjuangan Kevin Cordon, pebulutangis asal Guatemala, untuk bermain di kompetisi bulutangkis dan olimpiade di tengah tidak adanya sponsor dan minim fasilitas.
Riley Day, sprinter asal Australia, yang harus bekerja penuh waktu di supermarket dan menyisihkan gajinya selama 3 tahun untuk membiayai kompetisi.
Masuk ke Indonesia, kita juga bisa tengok bagaimana pesepakbola yang nasibnya digantung oleh pihak federasi dan klubnya sendiri.Â
Bisa dilihat dari wawancara Marc Klok yang menceritakan alasan pindahnya ke Persib Bandung akibat klub lamanya mengingkari perjanjian kontrak.Â
Para pemain profesional juga mengikuti liga tarkam untuk sekedar mendapatkan penghasilan akibat liga diberhentikan selama pandemi
Menjadi atlet juga tidak ada jaminan masa pensiunnya akan sejahtera secara ekonomi, bisa lihat di sini (1)Â dan (2)
Oleh karena itu, di Indonesia kini ada kebijakan bahwa atlet akan diberikan jalur khusus jadi PNS, alasannya (mungkin) untuk menjamin masa pensiunnya nanti.
Sebelum memilih menjadi atlet penting untuk mengetahui dari mana "sumber penyambung hidupnya"
Atlet dituntut untuk menunjukkan performa terbaiknya di setiap pertandingan yang dijalani. Di balik performa terbaik, dibutuhkan fasilitas dan orang (baca: pelatih, agen, dan tenaga medis pribadi)Â yang mendukung kemampuan maupun kesehatan atlet.Â
Belum lagi kalau mengalami cedera, biaya fisioterapis atau rumah sakit tentunya makin menguras kantong.
Itu sama sekali tidak murah. Menjadi atlet butuh biaya yang tidak sedikit, setidaknya untuk mereka tetap jadi atlet dan ikut kompetisi nasional maupun dunia.
Jadi, menjadi atlet pun harus bisa punya biaya yang memadai untuk setidaknya bertahan menjadi atlet hingga bisa bertanding di kancah internasional.
Dilansir dari tulisan Insider baru-baru ini berjudul "Why Olympic Athletes are Broke?", dijelaskan bahwa setidaknya atlet mendapat biaya dari tiga sumber:
1. Gaji
Kalau bicara gaji, kita bicaranya adalah pendapatan yang diperoleh atlet secara berkala dari perusahaan, institusi atau lembaga tempat atlet bekerja sesuai dengan kontrak.
Dalam konteks atlet, gaji biasanya diberikan oleh klub, federasi cabang olahraga, atau perusahaan yang membantu pengembangan olahraga (contoh: Djarum) kepada atlet.
Akhir-akhir sedang ramai tentang PSG yang mendapatkan deretan pemain terbaik seperti Messi, Donnaruma, Ramos, dan Wijnaldum secara gratis.
Memang, langkah tersebut bisa dibilang hemat karena pihak klub tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli "nilai jual" sang pemain. Tapi perlu diingat juga bahwa "gratisnya mereka itu sama sekali tidak murah".
Betul, gaji keempat pemain tersebut sama sekali tidak murah. Kisarannya, PSG bisa mengeluarkan 90 juta euro/tahun untuk gaji mereka saja.Â
Maka dari itu, sama halnya seperti melamar pekerjaan, atlet juga perlu tahu kondisi keuangan tempat bekerjanya sebelum tanda tangan kontrak. Â
2. SponsorÂ
Sponsor menjadi sumber pendapatan yang menurut saya paling menjamin hingga pensiun tapi meraihnya tidak mudah.Â
Bicara mendapatkan sponsor bukan hanya tergantung pada performa atlet tapi juga popularitasnya yang bisa meningkatkan nilai jual si pemberi sponsor (baca: brand).
Popularitas ini bisa dibilang abu-abu dan sulit ditentukan, apakah berdasarkan followers di Instagram atau fisiknya atau sensasinya.
Selain itu, sponsor juga bisa menjadi "sensitif" bila si atlet membuat kegaduhan atau kesalahan yang membuat citra brand menurun di mata konsumen.
Tapi kalau si atlet bisa konsisten performa terbaiknya dan bisa menghasilkan nilai jual yang tinggi, tidak tanggung-tanggung brand akan memberikan kontrak seumur hidup dan nilai kontraknya tinggi.
Contohnya seperti yang dinikmati oleh Lionel Messi dan David Beckham yang dikontrak seumur hidup oleh Adidas dan Nike kepada LeBron James dan Cristiano Ronaldo.
3. Hadiah Kompetisi atau Tunjangan
Hadiah kompetisi merupakan pendapatan yang diperoleh atlet jika berhasil meraih sesuatu dalam sebuah kompetisi dan rentang waktu kompetisinya.
Jadi, bisa dikatakan hadiah ini berdasarkan performa atlet, misalnya di Olimpiade akan diberikan hadiah berupa uang tunai yang berbeda nilainya untuk peraih medali emas, perak, dan perunggu.
Melihat dari apa yang dialami Greysia/Apriyani, juga bisa disimpulkan bahwa hadiah tidak melulu berupa uang tunai.
Ada juga misalnya di sepak bola, klub akan memberikan tunjangan bila si atlet berhasil meraih 20 gol dalam semusim atau meraih pemain terbaik, dan sejenisnya.
Pendapatan yang diperoleh dari kompetisi pun juga tidak secara berkala seperti gaji atau sponsor karena masing-masing kompetisi punya rentang waktu berbeda.
Maka dari itu, di sini federasi atau manajer si atlet harus rajin mencari informasi kompetisi dan mendaftarkannya.
Intinya, atlet sama saja seperti bekerja pada umumnya. Tidak ada jaminan keuangannya tetap stabil apabila mereka tidak mempertahankan performa terbaiknya plus pandai mengelola keuangan.
Kalau kata LeBron James:
"Nothing is Given, Everything is Earned"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H