Di dalam perusahaan yang sehat, ada pekerja yang
(overwork)sehat
Tentu masih hangat isunya kemarin saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan sidak ke beberapa perusahaan di masa PPKM Darurat. Aturan sudah tertulis dengan jelas, perusahaan mana yang boleh tetap WFO, WFO sebagian, dan tidak boleh WFO. Tapi masih saja ada yang mem-bandel.
Perusahaan di masa pandemi ini memang lagi terpukul. Menteri Ketenagakerjaan menyatakan berdasarkan survei Kemnaker pada 2020, terdapat 88 persen perusahaan mengalami kerugian operasional.
Keadaan ini membuat kebijakan perusahaan terkesan immoral kepada pekerjanya, seperti:
- Pemutusan hubungan kerja (PHK)
- Merumahkan
- Mencari tenaga kerja murah dengan workload berlebihan
- Overwork atau jam kerja yang berlebih
- Melanggar aturan WFO atau PPKM
- Tidak memperhatikan kesehatan pekerjanya
- dan lain-lain (bisa kalian isi sesuai pengalaman)
Dalam situasi pandemi seperti ini memang yang dibutuhkan bukan hanya bos yang baik tapi bos peduli Covid-19. Mengapa kita membutuhkan bos tipe ini? Alasannya cuman satu, kesehatan.
Kalau kata orang-orang
"Kalau kamu mati, perusahaan bisa cepat cari penggantinya tapi kalau buat keluarga dan dirimu sendiri, kamu tidak tergantikan."
Ada satu tweet pertanyaan yang menarik perhatian dari @ezash seorang HR Content Creator. Bagi yang belum tahu, akun Eza Hazami menjadi tempat curhatnya para pekerja, berbagi lowongan, sekaligus berbagi ilmu tentang dunia kerja.
Pertanyaan yang disampaikan simpel tapi bisa menjadi refleksi untuk para bos saat ini. Berikut pertanyaannya:
"Kebaikan apa yang kamu terima dari kantor kamu sekarang di masa pandemi seperti ini?"
Jawabannya ternyata dapat ditarik kesimpulan, bahwa tidak semua bos punya rasa peduli Covid-19.
Ada pekerja yang diberikan vitamin/makanan, insentif atau reimburse untuk internet selama WFH, biaya gratis antigen/PCR, dan bantuan vaksinasi.
Tapi ada juga yang cuman bisa menjawab:
- "kok enak banget tempat kerjanya",Â
- "tempat kerjaku ngantor terus ngga ada insentif atau bantuan apa-apa",Â
bahkan ada yang menjawabÂ
- "WFO diem-diem, tunggu sampai ketahuan"
- "Di sini tunggu sakit bener-bener baru diizinin, positif tetep kerja"
Sekilas info saja, perihal perusahaan yang memaksa pekerjanya untuk WFO atau pelanggar PPKM, sebenarnya untuk DKI Jakarta sendiri sudah menyediakan platform pelaporannya yaitu lewat aplikasi JAKI.
Tapi lagi-lagi, alasan tidak berani speak-up adalah karena adanya ancaman.
- "Kalau saya ngelaporin, nanti yang ada saya dipecat"
- "Kalau saya ngelaporin, nanti yang ada saya dipotong gaji"
- "Pemerintah mau nanggung konsekuensinya terhadap pekerja ngga"
Baca juga: Sebelum Minta Speak-Up Pelecehan, Pikirkan Ancaman terhadap Korban
Bagaimana dengan tempat kerja kalian selama pandemi ini? Lebih peduli Covid atau Profit?
Kembali lagi, pilihan tersebut jatuh kepada bos tempat kita bekerja sebab merekalah yang mempunyai kuasa untuk mengatur kebijakan dalam perusahaan.
Lalu, seperti apa sih kriteria Bos peduli Covid-19?
1. Mengubah Hierarki Kerja dari "Command-and-Control Hierarchy" menjadi "a Network of Teams"
Pandemi ini diidentifikasikan sebagai sebuah krisis yang dialami oleh perusahaan. Dalam situasi krisis, tentu pengambilan keputusan harus efisien dan tidak bertele-tele tanpa mengurangi keefektifan.Â
Salah satu caranya adalah mengubah hierarki yang sebelumnya kaku "Command and Control" menjadi fleksibel "Network of Teams".
Artinya Bos harus mulai berbaur dengan pekerjanya, tidak hanya sekadar menyuruh dan mengontrol. Berbaur ini memang akan membuat bos mengeluarkan "effort" lebih banyak tapi hasilnya akan kelihatan lebih efisien tanpa mengurangi kualitasnya.
Dengan "Network of Teams", pemecahan masalah akan lebih cepat, bos lebih cepat menerima informasi dari pekerjanya, dan tentunya akan memberikan dukungan psikologis kepada para pekerjanya sehingga kenyamanan bekerja pun meningkat.
2. Ciptakan lingkungan transparan bukan ketakutan
Bos harus bisa membuat para pekerjanya transparan terhadap apa yang mereka alami. Sakit ya sakit, Covid ya Covid, intinya jujur saja ke Bos jangan sampai berpura-pura sehat walaupun sebenarnya sakit hanya karena takut dengan si Bos.
Transparan bisa dilakukan dengan metode "jemput bola" atau misalnya membuat sejenis sistem pelaporan supaya para pekerjanya bisa dengan mudah menjelaskan kondisi kesehatan sehingga nantinya bisa ditindak cepat oleh perusahaan.
3. Atur apapun sesuai kondisi Covid-19
Seringkali bos suka lupa atau abai kalau sekarang itu kondisinya berbeda dan dianggap kondisinya normal-normal saja. Covid-19 adalah sebuah krisis, saya harap semua sepakat akan hal tersebut.
Menyikapi sebuah kondisi krisis tentu harus ada penyesuaian baru. Apa saja yang harus disesuaikan?
- Target
Sebagai bos peduli Covid-19, target harus disesuaikan dengan kondisi saat ini. Menyesuaikan permintaan pasar boleh tapi jangan lalai dengan kondisi kesehatan pekerjanya.Â
Bagi saya sih, perusahaan untuk bisa survive dengan kondisi seperti ini saja sudah termasuk luar biasa ya, cuman memang ada bos yang masih berpegang teguh kepada prinsip Be number #1 dan Win or Nothing. Pekerjanya hanya bisa berdoa diberikan kesehatan
- Peraturan
Peraturan sederhana seperti Covid atau isoman dihitung sebagai sakit atau cuti/dipotong gaji, ternyata menjadi concern para pekerja loh. Bos peduli Covid-19 tentunya tidak akan memilih opsi dipotong gaji.
Termasuk peraturan jam kerja nih, banyak yang mengatakan semenjak pandemi jam kerja menjadi berantakan dan tidak tahu aturan. Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani pun pernah mengatakan demikian.
Bos peduli Covid-19 tentu sebaiknya menentukan jam kerja yang tetap memikirkan bahwa pekerja juga butuh waktu "me/family time" atau sekadar istirahat.
Kalau untuk para pekerja esensial, bisa diatur terkait penerapan protokol kesehatannya. Sebisa mungkin jangan sampai terjadi penumpukkan di satu tempat dan penyediaan hand sanitizer atau se-simpel menjaga kebersihan kantor.
- Bantuan
Saya sih lebih memilih bahasanya "bantuan" ya bukan "insentif", soalnya kalau insentif terkesannya adalah reward yang dihasilkan setelah mencapai target.Â
Padahal ini tuh sifatnya urgent dan tidak boleh dibedakan antar pekerja karena berkaitan dengan kesehatan di masa pandemi ini.Â
Bantuannya bisa banyak pilihan seperti yang saya katakan sebelumnya, seperti vitamin/makanan, insentif atau reimburse untuk internet selama WFH, biaya gratis antigen/PCR, dan bantuan vaksinasi.
Balik lagi ke kemampuan tiap perusahaan, terpenting adalah bantuan ini wajib diberikan di masa pandemi supaya bisa menciptakan kepuasan dan kenyamanan bekerja.Â
Kembali lagi untuk mengingat bahwa pandemi Covid-19 adalah sebuah krisis.
Kalau kata website Mckinsey & Company, di masa pandemi jangan sampai sesama pekerja itu saling bertanya seperti ini:
"Apakah saya akan sakit atau terluka? Bagaimana keluarga saya? Apa yang terjadi kemudian kepada saya? Siapa yang akan merawat kita?"
Sebab kalau sampai ada yang bertanya seperti itu, berarti ada yang salah dengan kepemimpinan bos di masa krisis seperti ini.Â
Maka dari itu, penting bagi para bos untuk menunjukkan empati dan membuka diri terhadap empati dari pekerjanya serta tetap memperhatikan kesejahteraan mereka.Â
Bos harus menyadari bahwa selama krisis, stres, kelelahan, dan ketidakpastian akan menumpuk sehingga kemampuan mereka mungkin akan sedikit mengalami penurunan.
Jaga profit jangan sampai koit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H