Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebelum Minta Speak-Up Pelecehan, Pikirkan Ancaman terhadap Korban

17 Juni 2021   14:55 Diperbarui: 18 Juni 2021   13:27 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa dia baru speak-up sekarang? Kenapa pas kejadian diam saja? Kenapa ngga ngomong dari dulu?

Tiga ucapan di atas sering kita lihat atau dengar diucapkan kepada para korban pelecehan seksual. Mirisnya, diucapkan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mengetahui sama sekali apa yang dirasakan oleh korban. 

Sadar atau tidak, ucapan mereka bukan menenangkan melainkan menjadi sumber tekanan tambahan untuk korban.

Speak-Up memiliki arti sebagai upaya mengekspresikan apa yang dialaminya, baik dari mulut ke mulut maupun melalui media. Dalam konteks pelecehan, korban biasanya diminta speak-up tentang tindakan pelecehan secara 5W + 1H.

  • Apa yang dialami korban?
  • Siapa pelaku pelecehan?
  • Kapan kejadian pelecehan?
  • Di mana kejadian pelecehan?
  • Kenapa bisa terjadi pelecehan?
  • Bagaimana korban dilecehkan atau bagaimana kejadian pelecehannya?

Tujuan dari speak-up korban seharusnya adalah supaya bisa menjerat atau mengadili pelaku pelecehan. Namun, sayangnya kita tidak bisa mengontrol niat dan pikiran manusia. 

Setelah korban speak-up, justru ada yang menyalahkan korban atau menjadikan cerita korban sebagai bahan konten atau tidak diproses oleh pihak berwajib.

Padahal untuk speak-up, korban bisa dibilang berani keluar dari ancaman.

Ilustrasi Speak-Up Pelecehan Seksual - Sumber: Stephanie F. Scholz via New Yorker
Ilustrasi Speak-Up Pelecehan Seksual - Sumber: Stephanie F. Scholz via New Yorker
Banyak ancaman yang datang ketika korban speak-up, antara lain:

1. Ancaman Jabatan dan Ekonomi

Ini sering kita temukan dalam konteks pelecehan yang dialami oleh TKI dan karyawan/karyawati di tempat kerja. Korban yang mempunyai posisi jabatan lebih rendah dibanding si pelaku memang ada kecenderungan untuk lebih bungkam.  

Sebab ada rasa takut akan kehilangan pekerjaan dan korban akan dinilai merusak nama baik tempat dirinya bekerja. Apalagi pekerjaan tersebut merupakan sumber pendapatan utama untuk keberlangsungan hidup keluarganya.

Ancaman di sini intinya korban takut akan kehilangan pekerjaan yang membuatnya kehilangan pendapatan sehingga tidak dapat menghidupi keluarga dan orangtuanya.

Ini sama halnya juga ketika kita tahu lingkungan kerja kita toxic atau tidak enak, tapi memilih bertahan karena kita ada tanggungan dan akan repot pastinya untuk mencari pekerjaan lagi.

2. Ancaman Nilai

Ancaman ini dialami oleh murid, siswa/i, dan mahasiswa/i, di mana korban pelecehan tidak speak-up karena takut tidak diluluskan atau diberi nilai jelek. 

Ancaman ini tidak boleh dianggap remeh dan jangan disepelekan hanya karena dengan alasan takut tidak lulus. Kasus ini beberapa kali terjadi di Indonesia. Ini beritanya (1) (2) (3)

Berdasarkan pengetahuan saya dan mendengar cerita dari teman-teman perempuan, ini biasanya tanda-tanda pelecehan yang dilakukan oleh tenaga pendidik:

a. Ditatap terus-menerus saat kelas berlangsung

b. Menyentuh bagian badan tanpa ada maksud dan tujuan serta consent

c. Dihubungi terus menerus via WA dan via telpon, bahkan saat nomornya diblokir menghubunginya lewat nomor lain

d. Meminta foto terus-menerus secara paksa tanpa ada tujuan akademis

e. Mengajak ketemuan dengan konteks "bimbingan" namun tempatnya di rumah pelaku dan tidak boleh mengajak orang lain 

Dalam kondisi ini korban akan merasa sangat tertekan karena di satu sisi dirinya pengin pendidikannya berjalan dengan lancar tapi ada rasa sakit yang membekas secara fisik maupun mental.

Selain karena nilai dan tidak diluluskan, korban juga takut jika kasus yang dialaminya viral, akan merusak citra sekolah/universitas dan berujung pada tindakan "speak-up"nya yang disalahkan.

Ingat kasus Agni?

3. Ancaman Viral

Viral memiliki arti yaitu menyebar luas dengan cepat bagaikan virus. Mem-viral-kan kasus pelecehan seksual, baik lewat media maupun mulut-ke-mulut, sebenarnya adalah ibarat dua mata pisau. 

Satu sisi ada bagusnya (mungkin) karena identitas dan muka pelaku jadi dikenal banyak masyarakat, tapi satu sisi juga ini jadi tekanan bagi korban. 

Tekanan apa? Kan jadi bagus banyak yang menghujat (kalau kata netizen menghujat = sanksi sosial) pelaku

Betul, memang jadi banyak yang menghujat pelaku tapi apakah tidak menutup kemungkinan ada yang menghujat korban juga?

Saat sebuah kasus pelecehan viral, semua akan meminta validasi dari si korban, baik dari pihak berwajib, netizen dari media sosial, wartawan dari media cetak atau online, hingga tetangga dan sanak saudara korban pasti ikut-ikutan.

Banyaknya pertanyaan akan menimbulkan tekanan kepada korban ditambah outputnya juga belum pasti sama dan sesuai dengan kepentingan korban. 

  • Korban bilangnya X, tapi outputnya Y demi "ketahanan konten"
  • Korban bilangnya X, tapi outputnya XYZ alias ke mana-mana dan fokus kasus pelecehannya hilang
  • Korban bilangnya X, tapi outputnya -X alias dihujat
  • Korban bilangnya X, tapi outputnya ....... alias proses pengadilannya lama dan ujung-ujungnya tidak memberatkan pelaku

Kembali lagi ke kalimat pembuka, "sayangnya kita tidak bisa mengontrol niat dan pikiran manusia"

4. Ancaman Pembunuhan

Ancaman terakhir yang saya jelaskan adalah pembunuhan. Ancaman ini menjadi yang paling efektif digunakan oleh pelaku karena kita semua tidak ingin mati karena dibunuh, bukan?

Ancaman pembunuhan biasanya ditujukan ke dua subyek yaitu korban dan orang yang disayangi atau dekat dengan korban. Ancaman pembunuhan ini bisa dilakukan secara:

  • Verbal (kata-kata mengancam)
  • Tindakan langsung (menodongkan senjata tajam)
  • Verbal + Tindakan langsung (kata-kata mengancam dan menodongkan senjata tajam)

Kasus-kasus ini banyak terjadi di Indonesia, bisa kalian lihat beritanya di sini (1), (2), (3)

Relasi Kuasa adalah sesuatu yang selalu dimanfaatkan oleh pelaku pelecehan seksual

Dari semua ancaman ini, simpulnya atau kunci pelaku pelecehan seksual yaitu relasi kuasa. 

Relasi kuasa bisa dibagi menjadi dua unsur penting, hierarkis dan ketergantungan

  • Hierarkis berarti sifatnya struktural dan melibatkan posisi dalam suatu kelompok, seperti Majikan-Pembantu, Direktur-Karyawan, Tenaga Pendidik-Siswa
  • Ketergantungan berarti seseorang yang sangat bergantung pada orang lain karena status ekonomi, sosial, pengetahuan/pendidikan

Relasi kuasa inilah yang dimanfaatkan untuk menekan dan memaksa untuk menuruti kemauan pelaku. Sebab jika tidak mengikuti kemauan, pelaku sebagai yang punya kuasa akan memberikan sanksi/ancaman kepada korban.

Ingat relasi kuasa jadi ingat kata-kata dari Abraham Lincoln:

"If you want to test a man's character, give him power"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun