Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Kudu Berpolitik

8 Maret 2021   17:47 Diperbarui: 8 Maret 2021   18:20 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Kenapa saya laki-laki, tapi kok nulis tentang gender dan perempuan terus?

Saya tidak melabeli diri sebagai seorang feminis, tapi cuman risih kalau ada diskriminasi dalam bentuk apapun.

Di hari spesial perempuan ini, saya kembali menyerukan supaya perempuan perlu bersuara lewat jalur politik dan menjelaskan alasannya.

Political empowerment atau pemberdayaan politik adalah sebuah langkah penting untuk menuju jalan keluar atas diskriminasi terhadap kaum perempuan. Meskipun secara diksi pemberdayaan politik mengacu pada politik secara umum, political empowerment atau pemberdayaan politik mengacu pada gender tertentu, yaitu perempuan. Menurut Bank Dunia, pemberdayaan perempuan merupakan sebuah konsep yang punya tiga dimensi utama yang diperjuangkan, yaitu "hak, sumber daya, dan suara". 

Pada langkah pemberdayaan politik ini, perempuan didorong untuk memiliki partisipasi penuh di seluruh tahap pembuatan kebijakan, implementasi dan evaluasi, dan semua tahap pada pengambilan kebijakan publik dan pribadi dengan menggunakan hak, suara, dan sumber daya (kemampuannya).

Terutama dalam layanan publik yang esensial seperti kesehatan dan pendidikan agar menguntungkan semua pihak, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. 

Partisipasi perempuan juga diperlukan untuk meningkatkan sistem peradilan untuk menjamin perlindungan hukum yang sama dan setara baik bagi perempuan maupun laki-laki serta membantu menekan perilaku kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak yang merupakan kelompok rentan. 

Terdapat tiga alasan utama mengapa perempuan perlu berpartisipasi dan memimpin dalam pengambilan keputusan kebijakan di negara atau masyarakat:

1.  Kehadiran perempuan di ruang publik dan pengambilan keputusan politik diharapkan dapat menjadi langkah lebih jauh untuk mempromosikan akses yang sama ke struktur kekuasaan politik dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memiliki karier politik di semua tingkat institusi. Maka dari itu, perlu bagi perempuan terlibat di semua cabang pemerintahan, partai politik dan organisasi sosial. 

2.  Kehadiran dan partisipasi perempuan akan memberi ruang untuk isu-isu yang biasanya terabaikan untuk naik ke tingkat kebijakan publik seperti pengasuhan orang tua, undang-undang menentang kekerasan gender, kesehatan seksual dan reproduksi, dan pemberdayaan ekonomi perempuan. 

3. Kehadiran perempuan untuk menduduki jabatan tinggi dalam politik akan berdampak pada peningkatan pemberdayaan perempuan di semua dimensi kehidupan. Dengan banyaknya perempuan yang aktif di ruang publik dan politik, seperti di parlemen, kementerian dan pemerintahan, akan terbangun tempat kerja yang lebih sensitif akan isu gender. 

Namun Sayangnya...

Perempuan mengalami hambatan dalam perjuangannya yang dapat dijelaskan ke dalam tiga model di bawah ini:

1. Model meritocracy atau model perspektif individu. Dalam model ini, ada anggapan bias gender yang menyatakan bahwa perempuan tidak cukup tegas dalam memimpin, tidak menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri,  tidak mau berjuang untuk meraih posisi, tidak mau bermain dalam sistem, dan tidak menginginkan jabatan. 

2. Model diskriminasi sistem yang menjelaskan  bagaimana struktur dan praktik-praktik organisasi secara sistemik/turun-temurun telah mendiskriminasikan perempuan, dimana laki-laki dapat meraih posisi/jabatan yang tinggi sedangkan perempuan  tidak  bisa meraihnya meski sudah berjuang sekalipun.

3. Model  ketiga berkaitan dengan kedudukan sosial perempuan atau model perspektif sosial, seperti norma-norma sosial, budaya, kebiasaan, keyakinan, dan adat-istiadat  masyarakat yang  menggiring  perempuan dan  laki-laki  ke  dalam  status  yang  berbeda, sebagai contoh masyarakat memotivasi laki-laki untuk menempuh karir setinggi mungkin, sebaliknya memotivasi  perempuan cukup  menjadi 'pembantu' suami saja atau persepsi men as proctetors dan women as protected.

Untuk perempuan, ayo bersuara dan raih kursi dimanapun kalian berada supaya tidak ada lagi keluhan konyol selanjutnya yang mengatakan RUU PKS Pembahasannya Sulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun