Mohon tunggu...
Valentinus ReligioP
Valentinus ReligioP Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi menjadi Homo Homini Socius

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Siber, Investasi Keamanan Siber Masa Depan

10 September 2022   14:24 Diperbarui: 12 September 2022   20:00 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 31 Agustus 2022 lalu terjadi kasus kebocoran 1,3 miliar data pendaftar kartu SIM yang diklaim didapatkan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Data-data yang bocor tersebut dijual di situs Breached Forums. 

Sebanyak 2 juta di antaranya diberikan sebagai sampel gratis. Kasus ini tengah menjadi sorotan publik dan membuat masyarakat resah. 

ebocoran data ini dapat merugikan pihak korban, seperti penggunaan data korban untuk keperluan illegal dan pelbagai bentuk tindak kejahatan lainnya.

Kasus kebocoran 1,3 miliar data ini adalah kasus kebocoran data terbesar dalam sejarah siber Indonesia. Sebelumnya, terdapat pula kasus-kasus serupa seperti kebocoran 2,3 juta data DPT Pemilu KPU di tahun 2020.

Ada juga, kebocoran data pengguna Tokopedia, kebocoran 1,3 juta data pengguna aplikasi e-HAC, kebocoran 279 juta data pengguna BPJS pada tahun 2021, dan kebocoran 463.000 data nasabah BRI Life di tahun yang sama. 

Sehingga dari banyaknya kasus ini, muncullah pertanyaan yang sangat besar; Bagaimana mungkin data sebanyak itu dapat bocor dan dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab?

Sungguh sebuah ironi, bila kita mengetahui secara gamblang hal itu terjadi di negara kita, apalagi hampir semua data yang bocor dan dicuri malah dijual oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. 

Data-data masyarakat Indonesia yang sangat berharga malah dipermainkan oleh pihak peretas yang berani melakukan itu hanya karena keahliannya dalam bidang IT. Hal inilah yang harus disadari masyarakat Indonesia terlebih pemerintah khususnya KOMINFO.

Ternyata kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran untuk bangkit, melainkan kesadaran untuk menetap dengan mencari-cari siapa yang bertanggungjawab atas kasus ini. 

Sehingga kita mengetahui bahwa hampir semua lembaga merasa tidak bertanggungjawab atas kasus tersebut. Hal ini disampaikan pula oleh Ibnu Dwi Cahyo (peneliti communication and information system, communication reset) dalam wawancaranya di CNN, "Tidak ada yang merasa bertanggungjawab." 

Oleh karena itu, bila sudah berada di titik ini kita tidak perlu mencurahkan begitu banyak pikiran dan energi lagi untuk mencari siapa yang bertanggungjawab atau bahkan siapa yang bersalah atas kasus ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun