Umara  adalah pemimpin, utamanya dalam suatu pemerintahan. Proses bernegara perlu membentuk pemerintah. Semua sistem pemerintahan di dunia ada pemimpinnya, begitu pulalah adanya di negara kita. Bahkan segerombolan hewanpun ada pemimpinnya. Pemerintahan terus berjalan dan berlanjut, para pemimpin datang dan pergi silih berganti sesuai dengan kaidah bernegara.  Secara proporsional sesuai posisi  dan porsinya, tiap  diri adalah pemimpin. Masing-masing diri akan diminta tanggungjawab atas fungsi dan tugas kepemimpinannya. Baik ketika masih menjalani kehidupan di dunia, maupun setelah memasuki alam barzakh sampai di akhirat nanti.
Seorang pemimpin adalah orang kepercayaan bahkan tak jarang amat sangat dipercaya kemudian dikultuskan. Tapi sangat jarang terjadi kultus individu pemimpin murni berasal dari seluruh umat, kecuali sekitar lingkaran istananya. Pengultusan terjadi melalui proses yang sedikit banyak terkait dengan kepentingan diri dan kelompok yang mengultuskan. Bukan karena sungguh-sungguh dipercaya, dihormati  atau dicintai rakyat  yang dipimpin.
Tak semua bahkan kini jarang sekali pemimpin mendapat kepercayaan penuh dari umat yang dipimpinnya. Mungkin karena memang sang pemimpin dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya tidak lagi layak dipercaya disebabkan tak menyatunya niat, pikiran, perkataan dengan perbuatan yang kasat mata. Mungkin pula dalam proses memperoleh jabatan sebagai seorang pemimpin ada tindak perilaku lagak ragam intrik, kekuatan uang, dan rekayasa kekuasaan.
Menjadi seorang pemimpin tentu saja berbeda cukup jauh dengan sekedar menjadi seorang manajer. Seorang manajer lazimnya akan melakukan semua hal menggunakan cara-cara yang sesuai dengan prosedur, secara administratif  dan yuridis formal benar. Sayangnya benar secara prosedural, administratif dan yuridis formal belum mampu mengangkat kebenaran subtantif memperjuangkan optimalisasi kesejahteraan dan kebahagiaan orang-orang yang di-manaje.  Jadi seorang pemimpin harus berani melakukan semua hal-hal yang benar-benar-benar, terlepas dari prosedural dan hambatan administrasi. Kebenaran dan juga kejujuran tindakan seorang pemimpin akan menumbuhkan, meningkatkan dan memelihara kepercayaan rakyat yang dipimpinnya. Tanpa kepercayaan tentu saja jadi sangat-sangat sulit  menjalankan fungsi kepemimpinan yang mangkus dan sangkil.
Roma tidak dibangun dalam sehari, walau ketika terbakar atau dibakar dapat hancur lebur seketika. Begitulah jiwa kepemimpinan seorang pemimpin yang sadar diri karena melekat privilese dalam genggaman kekuasaannya. Membangun karakter dan nilai-nilai kebaikan serta kemuliaan dalam hubungan pemimpin dengan yang dipimpin tak bisa dalam sehari, setahun, atau beberapa periode jabatan. Tapi berlangsung seumur hidup, baik ketika sebelum, sedang ataupun setelah melepaskan jabatan kepemimpinan. Melalui tindakan perilaku sehari-hari pemimpin, penguatan kepercayaan rakyat yang dipimpin akan tetap terpelihara. Kepercayaan tumbuh dari hasil investasi jangka panjang pembentukan karakter, sadar diri, dan sistem nilai moral yang baik serta mulia melekat erat dalam diri sang pemimpin. Ketika kita percaya pada seorang pemimpin, kita yakin dia akan berbuat jujur berdasarkan kebenaran. Menjadi bisa dipercaya karena diduga tak bakal mau mengambil keuntungan pribadi atas kepercayaan kita. Â Tanpa memiliki kepercayaan dan karakter dengan sistem nilai yang kuat, tak ada kepemimpinan yang kuat, jujur, tegas dan mau bertindak atas dasar kebenaran ilahiah bagi umat.
Jangan bersedih sampai bertangis-tangisan oe..oe..oe, hanya karena tak ada kepemimpinan dalam diri pemimpin, karena kita semua adalah pemimpin diri kita, keluarga dan juga dalam komunitas lingkungan informal. Memang ada pemimpin formal, yang melekat pada atribut privilese jabatan dan kekuasaan. Tapi juga ada pemimpin informal yang ikhlas diakui karena nilai ilahiah dalam jiwa dengan perilaku kepemimpinan umat dalam dirinya.
Ulama suka disandingkan dengan kata alim. Orang yang ahli, pandai, berilmu tinggi dan memiliki pengetahuan luas utamanya tentang agama (Islam). Tentu saja tambah layak disebut alim ulama karena ketaatannya dalam menjalankan ibadah layaknya sebagai orang nan suci lagi beriman. Ibadah maksudnya tidak sebatas niat dan perkataan, tapi langsung dalam bentuk tindak perbuatan nyata berbakti kepada Allah menjalankan praktek amar ma'ruf, nahi munkar! Mungkin segolongan ulama telah menjalankan praktek mengamalkan perilaku berbuat baik, tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar dalam kehidupan sehari-hari. Apabila tidak menjalani perilaku saleh demikian, akan sulit diterima akal sehat disebabkan bermakna memungkiri keulamaan diri sebagai ulama.
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan mereka itulah orang-orang yang menang/beruntung". (Q.3:104)
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan kamu beriman kepada Allah...". (Q.3:110)
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi yang lain. Mereka menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah yang mungkar....". (Q.9:71)
"Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta ajaklah mereka bertukar pikiran dengan cara yang terbaik....". (Q.16:125).
Cukup kiranya mengulas ulama dengan kutipan empat  ayat di tiga surat dalam Al-Qur'an suci tersebut di atas, dengan harapan tentu saja perilaku saleh menjalankan amar ma'ruf nahi munkar bisa menular kepada umatnya. Kalau tak bisa menular kepada umat, karena persediaan berperilaku yang mau ditularkan tak cukup istiqomah, maka janganlah bersedih..oe..oe..oe, karena sesungguhnya tugas mencari ilmu menjadi kewajiban umat juga.
Umat manusia berarti sekalian makhluk bangsa manusia, bukan termasuk golongan malaikat konon lagi jin. Kebanyakan umat berada dalam kondisi menjalani kehidupan tak sebagaimana yang sebenarnya diharapkan. Semua makhluk hidup yang bernama manusia sangat berharap dapat menjalani hidup berkecukupan. Berharap setiap hari tersedia cukup pangan, punya sandang layak pakai, juga memiliki papan yang aman, nyaman untuk berteduh dan berkumpul serta berbagi suka-duka bersama keluarga.
Harapan yang sederhana sebenarnya, bila dibandingkan dengan tampilan sikap dan perilaku hidup mewah diri dan keluarga segelintir elite penguasa yang mengaku sebagai pemimpin bangsa. Padahal menjalani kehidupan sederhana selaras bersama alam semesta, membuat manusia lebih peka terhadap etika, seni dan keindahan hidup. Orang bijakpun senang bersikap dan berucap :Â Harmony, aesthetics and beauty are found in the simplest things.
Pernah suatu ketika selepas salat Jum'at saya bertanya kepada seorang khatib yang juga umara. Bagaimana sesungguhnya tanggungjawab ulama dan umara terhadap pembinaan serta pemulihan kesadaran moralitas umat? Tugas ulama adalah menyampaikan risalah Rasul dan Nabi saw, menghimbau agar umat selalu menjalankan ibadah, bertakwa kepada Allah swt dengan sebenar-benar takwa, melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Â Soal apakah umat bangkit kesadaran untuk benar-benar menjalani laku hidup amar ma'ruf nahi munkar, kembali terpulang balik kepada diri individu masing-masing. Menjadi fardu a'in, tanggungjawab tiap-tiap orang kepada penciptanya Allah swt. Sedangkan menguasai Al-Qur'an dengan tartil, perlahan hingga paham secara baik dan benar untuk disampaikan kepada umat dapat diwakilkan sebagai fardu kifayah. Dengan telah menyampaikan dan berbagi ilmu dan pengetahuan agama kepada umat, maka tanggungjawab ulama tak bisa dituntut lagi. Tidak mungkin rasanya mengubah perilaku umat agar bangkit kesadaran untuk berperilaku sebagai muslim sejati. Makanya berabad-abad setelah Nabi saw wafat, para ulama melanjutkan perjuangan memperbaiki kualitas, pemahaman dan kesadaran umat manusia, namun perilaku amar ma'ruf nahi munkar belum juga membumi.
Saya manggut-manggut sembari teringat ucapan seorang khatib ketika selesai menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab. Sayapun bertanya. Bahkan ketika Allah menciptakan manusia, malaikatpun bertanya!
Tanya : "Kenapa tidak menggunakan bahasa yang bisa dan mudah dimengerti para jama'ah Pak Ustadz"?
Jawab : "Khotbah Jum'at adalah pengganti dua rakaat salat zuhur. Salat  dilaksanakan dalam bahasa Arab, jadi khotbah juga seharusnya dalam bahasa Arab".
Tanya : "Tapi jamaah kan ndak mengerti isi khotbah P'ak Ustadz, bagaimana mereka bisa sadar mengikuti himbauan untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar?
Jawab : "Boro-boro jamaah Pak Hadji, banyak juga ustadz hanya membacakan saja khotbah bahasa Arab itu, tanpa paham artinya. Surat al- Fatihah yang diulang baca minimal 17 x sehari saja banyak yang tak paham artinya, apalagi isi khotbah yang cukup panjang. Makanya tugas ulama itu sesungguhnya amat berat tanggungjawab di dunia maupun di akhirat nanti".
Sayapun  makin termanggut-manggut, karena jadi tambah mumet kalau mikirkan nasib umat  kalau dihubungkan dengan perilaku segelintir umara-elite penguasa negeri dan oelama yang belum tercerahkan berdayakan umat.
Tapi jangan bersedih umat manusia dan bangsaku, karena sesungguhnya baik umara, ulama, maupun umat, walaupun berbeda nasib peruntungan, dulu-dulunya sama-sama dimulai dengan huruf oe..oe..oe. Percayalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H