What : Teori Psikoanalisis Sigmund Freud pada Hakikat dan Perkembangan Kepribadian Manusia
Sigmund Freud (1856–1939) adalah seorang ahli neurologi asal Austria dan pelopor psikoanalisis, sebuah pendekatan dalam psikologi yang menekankan peran alam bawah sadar dalam membentuk perilaku manusia. Psikoanalisis merupakan teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dalam menganalisis psikologis manusia. Psikoanalisis sering disebut juga sebagai "psikologi dalam" karena pendekatannya yang tidak hanya berpacu pada analisis kepribadian manusia dari aspek luar saja, melainkan mencakup pada dimensi yang tersembunyi di dalam diri setiap individu mengenai bagaimana hal tersebut memiliki pengaruh besar terhadap cara individu tersebut berinteraksi dengan dunia luar. Meskipun tersembunyi, elemen-elemen tersebut tetap aktif dan dapat memengaruhi perilaku serta pengambilan keputusan bagi individu secara signifikan.
Menurut Sigmund Freud, manusia adalah makhluk berenergi yang seluruh perilakunya dipengaruhi oleh dinamika energi psikis yang sebagian besar berada di luar kendali kesadaran. Freud meyakini bahwa zona ketidaksadaran, atau yang dikenal sebagai alam bawah sadar, adalah pusat utama yang menggerakkan perilaku manusia. Bagian ini mencakup hawa nafsu, insting dan segala sesuatu yang diterima pikiran, perasaan, bahkan konflik yang sering kali tidak disadari (Ahmad, 2011).
Sigmund Freud dalam teorinya menggunakan analogi gunung es untuk menggambarkan struktur kepribadian manusia yang terdiri dari tiga tingkat kesadaran, yaitu "sadar" (conscious) yang aktif saat seseorang terbangun, memungkinkan individu untuk memahami situasi di sekitarnya dan merespons dengan cepat berdasarkan pemikiran rasional. , "prasada" (preconscious) berisi informasi yang tidak selalu ada dalam pikiran aktif tetapi dapat dengan mudah diakses saat diperlukan, seperti ingatan atau pengalaman tertentu , dan "tak sadar" (unconscious) menyimpan lapisan terdalam dari pengalaman hidup, ingatan masa lalu, dan pola perilaku yang telah dipelajari, yang secara tidak sadar memengaruhi tindakan dan keputusan individu tanpa disadari (Dr. Susana Prapunoto, 2019).
Dalam analogi ini, permukaan gunung es yang terlihat di atas air menggambarkan alam sadar, sementara bagian gunung es yang tenggelam di bawah permukaan air mewakili alam tak sadar (atau alam bawah sadar). Yang kemudian di kembangkan menjadi tiga struktur utama yang membentuk kepribadian seseorang yaitu id, ego, dan superego (Syahrul Syawal).
- Id: Komponen biologis yang bersifat tidak sadar, dengan penuh dorongan instingtual seperti nafsu, agresi, dan kebutuhan dasar. Id beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), yaitu mencari kepuasan instan tanpa mempedulikan realitas.
- Ego: Komponen psikologis yang bersifat sadar dan berfungsi sebagai mediator antara id, superego, dan dunia nyata. Oleh karena itu, Ego dapat dikatakan beroperasi berdasarkan prinsip realitas (reality principle).
- Superego: Komponen dari kepribadian manusia yang berfungsi sebagai pengontrol moral dan etis, yang berkembang melalui internalisasi nilai-nilai dari keluarga, budaya, dan masyarakat. Superego mewakili idealisme individu dan berusaha untuk memastikan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil sesuai dengan norma sosial dan moral. Dengan begitu, Superego bekerja dengan cara menanamkan rasa bersalah atau malu untuk mencegah perilaku yang tidak sesuai dengan standar moral.
Tulisan ini menjadi sangat relevan dalam konteks krisis moral yang semakin nyata di tengah masyarakat, terutama dengan meningkatnya kasus korupsi yang merusak berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Korupsi, sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, sering kali dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, menunjukkan lemahnya fondasi moral dan integritas individu yang terlibat.
Lebih jauh lagi, tindakan korupsi menggambarkan krisis dalam nilai sosial, di mana norma-norma yang mengedepankan keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab semakin terabaikan. Sistem yang lemah, ketidaktegasan dalam penegakan hukum, dan budaya permisif sering kali memperkuat perilaku korup. Hal ini menciptakan lingkaran hitam yang sulit diputus, di mana individu merasa bahwa korupsi adalah bagian dari "normalitas" dalam mekanisme kekuasaan.
Why: Krisis Moral dan Korupsi Relevan dengan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Krisis moral yang terjadi akibat maraknya kasus korupsi, relevan untuk dianalisis melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud karena perilaku tidak etis yang mendasari korupsi mencerminkan dinamika kompleks antara id, ego, dan superego dalam kepribadian manusia. Kondisi ini mempengaruhi dominasi "superego" terhadap "id" di alam bawah sadar manusia seperti keserakahan dan keinginan yang bersifat konsumtif untuk memperkaya diri dengan memperoleh kenikmatan secara instan, yang mengesampingkan nilai moral dan etika. Dalam konteks psikoanalisis, lemahnya pengaruh superego juga muncul karena lingkungan yang permisif terhadap tindakan korupsi, seperti budaya nepotisme atau kurangnya penegakan hukum.
Dengan begitu, psikoanalisis memberikan kerangka untuk memahami bagaimana konflik antara alam bawah sadar (id) dan nilai-nilai moral (superego) yang berujung pada tindakan korupsi. Ego, yang berperan sebagai mediator, sering kali tertekan oleh pengaruh lingkungan sosial yang permisif, sehingga rasionalisasi tindakan korupsi menjadi pembenaran yang mudah diterima dan menjadi terealisasi secara tidak adil bagi orang banyak.
How: Teori Psikoanalisis Sigmund Freud dapat Dikaitkan dengan Kasus Korupsi di Indonesia
Dalam teori kepribadian psikoanalisis Freud, energi psikis yang mendorong perilaku manusia berasal dari "id", "ego", dan "superego". Id bertindak sebagai sumber energi primal yang mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan dasar dan bertahan hidup, dan hal ini sering kali dilakukan tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain atau norma sosial. Ego berfungsi untuk menyeimbangkan dorongan id dengan kenyataan dunia sekitar, mencari cara realistis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Superego, di sisi lain, berperan sebagai penjaga moralitas dan etika, yang memberikan batasan pada apa yang dianggap benar atau salah.
Menurut Freud dalam teori psikoanalisis nya, perkembangan masa kanak-kanak sangat penting penerapan edukasi nya karena menjadi penentu bahwa pengalaman dan interaksi awal dengan orang tua dan lingkungan sekitar yang akan membentuk struktur kepribadian individu di masa dewasa. Freud mengemukakan bahwa konflik-konflik yang belum terselesaikan selama masa kanak-kanak, terutama yang berkaitan dengan hubungan keluarga dan rasa aman, dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang saat dewasa. Misalnya, pengalaman traumatis atau pengabaian bisa mempengaruhi cara individu mengelola dorongan "id", "ego", dan "superego" mereka di kemudian hari. Sigmund Freud mampu menganalisis perkembangan kepribadian tersebut yang terbentuk dan dibangun melalui lima tahap psikoseksual, di mana setiap tahap berfokus pada zona erogen tertentu (Busthan, 2020) :
- Oral (0-1 tahun):
Kepuasan didapat melalui aktivitas oral, manusia dapat merasakan kenikmatan dengan menggunakan mulutnya seperti mengisap atau menggigit. Seorang bayi pada tahap ini, sering kali memasukkan benda yang dipegangnya kedalam mulut karena sifat penasaran akan kenikmatan rasa. Tahapan ini erat kaitannya membangun hubungan emosional pengasuh. Pola asuh yang konsisten dapat menumbuhkan rasa aman dan percaya diri, sedangkan pola asuh yang tidak stabil berisiko memicu rasa cemas atau ketergantungan berlebihan.
Jika tahap ini tidak terselesaikan baik, maka akan tercermin di masa dewasa sebagai sifat ketergantungan tinggi atau agresivitas, seperti mencari kepuasan instan atau perilaku manipulatif. Dalam konteks korupsi, ini terlihat pada praktik nepotisme, eksploitasi hubungan, atau taktik manipulasi untuk mencapai keuntungan pribadi. Pengalaman masa kecil yang kurang mendukung pembentukan moralitas dan rasa percaya diri bisa menjadi faktor penyebab perilaku tidak etis, seperti korupsi.
- Anal (1-3 tahun):
Pada tahap ini, anak memperoleh kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari anusnya dan menyukai tumpukan kotoran, sehingga senang berlama-lama ditoilet. Tahapan ini memerankan pentingnya posisi orang tua untuk memberikan edukasi tentang mengontrol buang air besar, yang berhubungan dengan pengendalian dan disiplin diri yang biasa disebut dengan “toilet training”. Dengan bimbingan yang tepat, anak dapat berkembang menjadi individu yang mandiri, disiplin, dan mampu mengendalikan dorongannya.
Namun, jika orang tua terlalu ketat atau terlalu permisif, anak dapat mengembangkan karakter yang perfeksionis (anal-retentive) atau kurang disiplin (anal-expulsive).
Pada tahap dewasa, pengalaman negatif ini dapat tercermin dalam perilaku impulsif, pelanggaran aturan, atau obsesif terhadap kontrol dan kekuasaan. Dalam konteks korupsi, lemahnya kontrol internal dapat mendorong seseorang mengejar keuntungan instan tanpa memikirkan moralitas, sedangkan sifat perfeksionis terdistorsi dapat melahirkan manipulasi untuk memenuhi ambisi pribadi.
- Phallic (3-6 tahun):
dalam teori psikoseksual Freud merupakan fase penting dalam perkembangan moral dan identitas diri. Pada tahap ini, anak mulai memahami perbedaan jenis kelamin dan mengembangkan keterikatan emosional dengan orang tua lawan jenis, yang dikenal sebagai Oedipus complex (pada anak laki-laki) atau Electra complex (pada anak perempuan). Anak laki-laki mungkin merasa cemburu atau bersaing dengan ayahnya, sementara anak perempuan mungkin mengalami konflik serupa dengan ibunya.
Konflik yang tidak terselesaikan pada tahap ini dapat memengaruhi pembentukan superego, yaitu komponen moral kepribadian yang membantu individu membedakan antara benar dan salah. Jika superego tidak berkembang dengan baik, individu dapat mengalami kesulitan dalam mengendalikan dorongan dan keinginan, yang berpotensi menyebabkan perilaku tidak etis di masa dewasa.
Tahap ini juga menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial, seperti rasa hormat terhadap aturan dan otoritas. Interaksi yang sehat dengan kedua orang tua memungkinkan anak menginternalisasi batasan moral, yang nantinya menjadi landasan perilaku bertanggung jawab. Namun, jika hubungan dengan orang tua tidak sehat, anak mungkin tumbuh dengan sikap permisif atau melawan norma sosial.
- Latensi (6-12 tahun):
Pada masa ini, interaksi dengan teman sebaya dan figur otoritas seperti guru berperan besar dalam membentuk identitas sosial dan norma etika. Lingkungan yang mendukung dapat membantu anak mengembangkan rasa tanggung jawab dan empati. Sebaliknya, lingkungan yang negatif atau tidak konsisten dalam menanamkan nilai-nilai moral dapat melemahkan pemahaman anak tentang integritas dan etika.
Jika tahap ini tidak berhasil mendukung pembentukan moralitas yang kuat, individu di masa dewasa bisa lebih rentan terhadap godaan seperti korupsi, karena dorongan impulsif tidak mendapat kontrol yang baik dari superego. Sebaliknya, pendidikan moral yang matang selama tahap latensi dapat menjadi tameng terhadap perilaku tidak etis, dengan memperkuat pengaruh superego dalam menjaga keseimbangan antara id dan ego.
- Genital (12 tahun ke atas):
menurut Freud fase ini menandai puncak perkembangan kepribadian, di mana individu mulai menunjukkan kematangan seksual, emosional, dan sosial. Fokus utama bergeser dari kepentingan pribadi ke hubungan interpersonal yang lebih kompleks, seperti menjalin hubungan romantis atau membangun kerja sama dalam lingkungan sosial.
Keberhasilan pada tahap ini membutuhkan penyelesaian konflik dari tahap sebelumnya. Individu yang berhasil akan menunjukkan tanggung jawab dalam mengelola dorongan emosional dan seksual, mengintegrasikan nilai etika dalam tindakan, serta menciptakan hubungan yang konstruktif. Namun, kegagalan dalam mengatasi konflik dapat menghasilkan perilaku egois, kurang empati, atau instabilitas emosional.
Dalam konteks korupsi, individu yang tidak mampu mengendalikan dorongan pada tahap genital cenderung mencari kepuasan material atau kekuasaan tanpa memedulikan dampak negatifnya terhadap orang lain atau masyarakat. Mereka mungkin memprioritaskan keuntungan pribadi atau kesenangan sesaat, mengabaikan nilai moral dan etika. Sebaliknya, individu yang memiliki perkembangan moral yang matang pada tahap ini cenderung bertindak dengan integritas dan menghargai kepentingan bersama. Pendidikan moral dan penguatan nilai etika di masa muda sangat penting untuk membentuk karakter yang bertanggung jawab, yang dapat menahan godaan perilaku tidak etis, termasuk korupsi.
Perkembangan kepribadian yang terganggu pada masa kanak-kanak dapat membawa dampak besar pada kepribadian seseorang saat dewasa. Ketika terjadi fiksasi pada tahap perkembangan tertentu, individu akan membawa sifat-sifat tersebut hingga dewasa. Misalnya, pada tahap anal, hambatan dalam mengendalikan dorongan untuk kepemilikan berlebihan bisa menyebabkan kecenderungan keserakahan dan obsesi terhadap kekayaan materi, yang sering kali tercermin dalam perilaku korupsi.
Begitu juga pada tahap phallic, kegagalan dalam perkembangan identitas dan pengendalian dorongan dapat memunculkan dorongan egois yang mendominasi, memperburuk perilaku kompetitif yang tidak sehat dan mementingkan diri sendiri. Dalam konteks korupsi, hal ini menunjukkan bagaimana pemikiran yang terhambat atau belum matang mengarah pada tindakan yang mengabaikan etika atau nilai-nilai moral, seperti keserakahan dalam meraih uang dan kekuasaan tanpa memperhatikan dampaknya pada orang lain.
Dengan demikian, individu yang mengalami hambatan pada tahapan perkembangan psikoseksual ini cenderung memiliki pola perilaku yang lebih impulsif dan kurang mempertimbangkan konsekuensi moral dari tindakan mereka. Dalam hal ini, seorang koruptor bisa dipandang sebagai individu dengan perkembangan moral yang terhambat, di mana hasrat untuk memperoleh keuntungan pribadi mendominasi, meskipun hal itu dilakukan dengan cara yang tidak etis.
Konflik antara "id" (dorongan bawah sadar) dan "superego" (nilai moral internal) sering kali menciptakan ketegangan dalam diri individu. "Id" berfokus pada kepuasan instan dan kebutuhan pribadi, seperti keserakahan atau nafsu untuk kekayaan, tanpa mempertimbangkan norma sosial atau moral. Superego, di sisi lain, menuntut perilaku yang sesuai dengan prinsip etis dan moral. Ketika ego, yang berfungsi sebagai mediator antara keduanya, gagal menyeimbangkan keduanya, individu cenderung melakukan rasionalisasi atau pembenaran terhadap perilaku menyimpang, seperti korupsi, untuk memenuhi keinginan id tanpa merasa bersalah.
Oleh karena itu, keseimbangan antara Id, Ego, dan Superego sangatlah penting dalam pembentukan kepribadian yang sehat. Ketidakseimbangan, seperti dominasi satu elemen atau kelemahan dalam elemen lainnya, dapat menyebabkan ketegangan internal yang mengarah pada perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Misalnya, ego yang lemah mungkin kesulitan untuk menahan dorongan dari "id" yang kuat atau menanggapi tuntutan moral dari "superego", yang akhirnya bisa memicu tindakan tidak etis atau penyimpangan perilaku. Keseimbangan ini membantu individu untuk bertindak dengan bijaksana, mempertimbangkan dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain.
Misalnya, seorang pejabat yang menyalahgunakan dana publik dapat membenarkan tindakannya dengan dalih kebutuhan organisasi atau tekanan eksternal. Ini menunjukkan bagaimana id mendominasi ketika superego lemah atau ketika ego mengabaikan kontrol moral. Dalam konteks korupsi di Indonesia, budaya permisif dan lemahnya sistem hukum sering kali memperkuat ketidakseimbangan ini, memungkinkan perilaku menyimpang menjadi lebih umum.
Korupsi di Indonesia dapat dipahami melalui lensa psikoanalisis Freud sebagai konflik antara hasrat pribadi dan norma sosial yang gagal diatasi. Hal ini terlihat dalam berbagai kasus korupsi yang sering melibatkan individu dengan kekuasaan tinggi namun kurang memiliki kontrol moral. Dengan memahami akar psikologis dari korupsi, Indonesia dapat mengambil langkah lebih efektif dalam memberantas perilaku ini di masa depan.
Pencegahan korupsi berdasarkan psikoanalisis dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang berfokus pada keseimbangan antara id, ego, dan superego:
- Penguatan Superego: Memperkuat pengaruh superego melalui pendidikan moral, kebijakan hukum yang lebih ketat, dan penegakan norma sosial dapat mengatasi kecenderungan untuk melakukan korupsi. Peningkatan kesadaran diri tentang pengaruh alam bawah sadar dapat membantu individu untuk mengontrol dorongan negatif yang mendorong tindakan amoral. Masyarakat yang menghargai integritas dan etika sosial dapat mengurangi perilaku koruptif.
- Pengendalian Id: Mengurangi godaan eksternal yang bisa mendorong perilaku tindakan korupi, seperti dengan menciptakan sistem yang transparan, akuntabel, dan mengawasi peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan. Penerapan kebijakan yang mencegah peluang penyalahgunaan ini dapat membangun sistem yang adil.
- Ego yang Positif: Mengarahkan ego untuk mencari solusi yang etis, melalui pemecahan masalah yang memadukan kebutuhan pribadi dengan kepentingan moral dan sosial, serta mendukung pembuatan keputusan yang lebih bijaksana dalam menghadapi godaan untuk meraih keuntungan pribadi. Dengan demikian, peningkatan ego yang positif akan membantu individu menilai situasi secara lebih objektif dan bertindak sesuai dengan nilai moral yang berlaku.
Kesimpulan
Korupsi di Indonesia merupakan cerminan dari krisis moral yang merusak tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi, korupsi terjadi secara sistematis dan melibatkan banyak pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan lemahnya penegakan hukum tetapi juga degradasi nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa.
Kesimpulan penerapan teori Sigmund Freud terhadap kasus korupsi di Indonesia mengungkapkan bahwa ketidakseimbangan dalam perkembangan kepribadian seseorang khususnya dalam pengelolaan id, ego, dan superego, dapat memfasilitasi perilaku koruptif. Ketika dorongan pribadi lebih dominan daripada norma moral yang kuat, ditambah dengan lingkungan sosial yang permisif, individu cenderung terjerumus dalam tindakan yang tidak etis. Fenomena korupsi di Indonesia tidak lepas dari faktor lingkungan yang permisif. Lingkungan sosial dan budaya yang cenderung menyepelekan atau bahkan mendukung perilaku koruptif melemahkan peran superego dalam membimbing individu. Selain itu, sistem hukum yang tidak konsisten serta lemahnya akuntabilitas memperbesar peluang bagi individu untuk memenuhi dorongan id tanpa rasa takut terhadap konsekuensi.
Akibatnya, tindakan korupsi sering kali dianggap sebagai hal yang biasa atau bahkan sebagai cara yang "wajar" untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kelompok. Kasus tersebut menunjukkan akan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Oleh karena itu, pencegahan harus mencakup pendekatan yang holistik, baik melalui reformasi sistemik maupun intervensi pendidikan dan penguatan nilai moral. Dengan mengatasi akar psikologis dari perilaku koruptif, masyarakat Indonesia dapat menciptakan generasi yang lebih berintegritas dan berkomitmen terhadap nilai-nilai kejujuran serta tanggung jawab sosial.
Daftar Pustaka
Ahmad, M. (2011). Agama Dan Psikoanalisa Sigmund Freud. Religia, Vol. 14 No. 2, Oktober., 283.
Busthan, A. (2020, November 14). Korupsi Dalam Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud . Retrieved from Nabire.Net: https://www.nabire.net/korupsi-dalam-kajian-psikoanalisis-sigmud-freud/
Dr. Susana Prapunoto, M.-P. (2019). “MERAJUT KERAGAMAN UNTUK MENCAPAI KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DALAM KONTEKS MASYARAKAT 5.0”. Seminar Nasional 2019, 22.
Syahrul Syawal, H. (n.d.). Psikoanalisis Sigmund Freud dan Implikasinya dalam Pendidikan. Retrieved from OSF: https://osf.io/582tk/download
Wikipedia. (2023, Agustus 28). Sigmund Freud. Retrieved from Wikipedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Sigmund_Freud
Thabroni, G. (2022, Juni 21). Psikoanalisis: Penjelasan Id, Superego, dan Ego (Teori & Aplikasi). Retrieved from serupa.id: https://serupa.id/psikoanalisis-penjelasan-id-superego-dan-ego-teori-aplikasi/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI