Seorang pemimpin harus memiliki empati dan kesadaran diri. "Bisa rumangsa" berarti mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, sedangkan "ojo rumangsa bisa" mengajarkan untuk tidak merasa sombong atau berlebihan dalam menilai kemampuan diri. Dengan prinsip ini, pemimpin dapat menjaga kerendahan hati dan tidak menganggap dirinya selalu benar. Kemudian hal ini mampu mendorong pemimpin untuk mendengar dan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat, sehingga keputusan yang diambil lebih bijak dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Dalam konteks korupsi, prinsip ini sangat relevan. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk "bisa rumangsa" akan lebih peka terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi, seperti ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi. Mereka akan lebih memahami bahwa penyalahgunaan kekuasaan, seperti penggunaan anggaran negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, akan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Pemimpin dengan empati akan merasa tergerak untuk menjaga keadilan sosial dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan masyarakat, apalagi untuk keuntungan pribadi.
Sebaliknya, seorang pemimpin yang hanya merasa “bisa,” atau merasa superior dan lebih mampu daripada orang lain, berisiko mengembangkan pola pikir yang justru dapat mengarah pada korupsi. Dengan merasa lebih berkuasa atau lebih pintar, pemimpin tersebut mungkin berpikir bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakan kekuasaan atau sumber daya negara untuk kepentingan pribadi. Tindakan ini bisa saja berupa pengalihan anggaran, suap, atau penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi rakyat yang seharusnya dilayani.
- Angrasa Wani (Berani Merasa, Berani Berbuat, Berani Mencoba, Berani Inovasi, Tidak Takut Risiko)
Keberanian bukan hanya soal menghadapi situasi sulit, tetapi juga tentang berani membuat keputusan yang benar, meskipun keputusan tersebut bisa menimbulkan risiko atau tantangan besar. Pemimpin yang berani dan inovatif cenderung mengambil keputusan berdasarkan prinsip dan kebutuhan publik, bukannya melayani kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam banyak kasus korupsi, ketakutan terhadap risiko atau ancaman bisa memaksa pejabat untuk mengikuti jalur yang lebih mudah, namun tidak etis. Dalam konteks ini, keberanian dan inovasi juga mencakup keberanian untuk menentang tekanan negatif dan tetap teguh pada prinsip-prinsip moral, meskipun ada godaan untuk mengambil jalan pintas yang lebih menguntungkan tetapi merugikan banyak pihak.
- Angrasa Kleru (Ksatria Mengakui Kesalahan, Bodoh, dan Lain-lain)
Seorang pemimpin yang memiliki sifat ksatria, yang berasal dari nilai-nilai ksatria dalam tradisi Jawa, akan menunjukkan integritas dengan mengakui kesalahan, ketidaktahuan, atau kekurangan yang terjadi, tanpa takut kehilangan wibawa atau reputasi. Dengan begitu hal tersebut menjadi salah satu nilai etika yang sangat penting dalam mencegah dan mengatasi korupsi. Banyak kasus korupsi bermula dari ketidakmauan seorang pemimpin untuk mengakui kesalahan atau ketidaktahuan dalam pengelolaan sumber daya atau kebijakan publik. Ini merupakan bentuk dari ketidakmauan bertanggung jawab yang seringkali berujung pada praktik korupsi yang semakin merajalela.
Pemimpin yang ksatria mampu untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan nya, meskipun itu mungkin menimbulkan konsekuensi yang tidak menguntungkan. Mengakui kesalahan bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan batin dan kedewasaan sebagai pemimpin yang menunjukkan ematangan emosional dan komitmen terhadap akuntabilitas. Secara keseluruhan, Angrasa Kleru adalah prinsip yang menuntut pemimpin untuk selalu siap mengakui kesalahan dan belajar dari pengalaman tersebut, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan jauh dari potensi korupsi.
- Benertur Pener (Bedakan Benar dan Pener pada Realitas)
Benertur Pener atau prinsip "Membedakan Benar dan Pener pada Realitas" mengajarkan seorang pemimpin untuk memiliki kemampuan untuk membedakan antara nilai kebenaran dan apa yang sesuai dengan kenyataan atau kondisi nyata yang ada. Pemimpin yang menguasai prinsip ini akan mampu memahami dan menilai situasi dengan objektif, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi, tekanan eksternal, atau persepsi yang keliru.
Dalam konteks korupsi, prinsip ini sangat relevan. Banyak tindakan korupsi terjadi karena pemimpin gagal membedakan antara apa yang benar secara moral dan apa yang seharusnya diterima atau dilakukan dalam realitas kekuasaan dan politik. Seorang pemimpin yang tidak mampu membedakan kebenaran dari kenyataan praktis mungkin tergoda untuk mengambil jalan pintas dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi. Mereka bisa menganggap bahwa melakukan tindakan yang tidak etis, seperti menerima suap atau mengalihkan anggaran untuk kepentingan pribadi, adalah langkah yang "realistis" atau praktis dalam mencapai tujuan atau mempertahankan kekuasaan, meskipun itu jelas salah secara moral.
Secara keseluruhan, Benertur Pener adalah prinsip yang mendalam dalam menciptakan pemimpin yang tidak hanya bijaksana dalam mengambil keputusan, tetapi juga jujur dan konsisten dengan nilai moral yang benar. Prinsip ini dapat membantu mengurangi praktik korupsi dengan memastikan bahwa pemimpin selalu memilih jalan yang benar, meskipun itu lebih sulit atau penuh tantangan dalam konteks realitas sosial dan politik yang ada.
Dalam konteks pemberantasan korupsi dan transformasi diri seorang pemimpin, Serat Pramayoga karya Raden Ngabei Ranggawarsita menawarkan ajaran penting yang berlandaskan pada nilai-nilai etika dan spiritual. Serat ini menekankan bahwa kepemimpinan yang ideal harus didasari oleh keselarasan antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya mampu mengarahkan orang lain tetapi juga mampu memimpin dirinya sendiri melalui pengendalian nafsu, introspeksi, dan penguatan nilai-nilai moral. Serat tersebut berisikan :
- Hang-Uripi (Mewujudkan Kehidupan Baik)
Karakteristik seorang pemimpin harus mampu bertanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Yang tepat fokus pada kebijakan yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh. Dalam konteks korupsi, seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan berorientasi pada pembangunan yang adil, transparan, dan berkelanjutan, sehingga menghindari penggunaan sumber daya untuk kepentingan pribadi. Karena, kesejahteraan masyarakat hanya dapat tercapai jika seorang pemimpin dapat mengelola sumber daya secara efektif dan bertanggung jawab, dengan memastikan bahwa tidak ada peluang bagi praktik korupsi yang dapat merugikan berbagai pihak.
- Hang-Rungkepi (Berani Berkorban)