Kebudayaan Jawa sangat erat dengan ilmu kebatinan yang seringkali dianggap sebagai inti pati Javanisme; gaya hidup orang Jawa ialah gaya hidup manusia yang memupuk "batinnya". Koentjaraningrat dalam Buku Kebudayaan Jawa menyebut kebatinan sebagai sistem keyakinan yang bertujuan mencapai keselarasan antara manusia dan kekuatan gaib di alam semesta. Menurutnya, kebatinan adalah upaya manusia untuk memahami tujuan hidupnya melalui penghayatan spiritual, dengan menghindari konflik antara kepentingan duniawi dan spiritual.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV, yang memiliki nama lahir Raden Mas Sudira, beliau merupakan Adipati keempat Mangkunegaran yang memerintah dari tahun 1853 sampai 1881. Mangkunegara IV dikenal sebagai pemimpin yang berkepribadian kuat, berjiwa pemimpin dan memiliki jiwa seni yang tinggi. Mangkunegaran IV dikenal sebagai pemimpin Jawa yang menerapkan kebatinan yang dipercayai tidak hanya untuk memperkuat spiritualitas individu tetapi juga sebagai landasan etika dalam pemerintahan. Selama masa pemerintahannya yang berlangsung selama 28 tahun, ia berhasil memajukan berbagai aspek di wilayah kekuasaannya, mencakup sektor pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Disamping hal tersebut, pada abad ke-19 beliau mulai mengamati adanya tanda-tanda penurunan moral di kalangan pemuda, terutama terkait sikap yang mencerminkan tata krama, sopan santun, serta kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Keadaan krisis semacam ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan memperburuk situasi dan kondisi kerajaan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Dari kondisi sosial keagamaan dan kondisi sosial ekonomi pada masa tersebut, timbullah dorongan Mangkunegara IV untuk menulis sebuah serat yang berisi lima tembang yang menjelaskan mengenai sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Ide dan gagasan KGPAA Mangkunegara IV dalam menulis karya sastra yang disebut Serat Wedhatama.
Serat Wedhatama ini bertujuan memberikan tuntunan moral dan spiritual bagi masyarakat Jawa, mencerminkan nilai-nilai luhur yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia Istilah Wedhatama berasal dari kata, kata "wedha" memiliki makna ilmu atau pengetahuan. Sementara itu, "tama" berasal dari kata "utama", yang merujuk pada sesuatu yang unggul atau bernilai tinggi, baik dalam sikap, perilaku, maupun budi pekerti. Dengan demikian, Wedhatama dapat diartikan sebagai "pengetahuan yang utama" atau "ilmu yang unggul," mencakup ajaran-ajaran yang bertujuan untuk memperbaiki akhlak dan memberikan tuntunan hidup yang baik bagi masyarakat Jawa. Karya ini mencerminkan keinginan untuk mengajarkan nilai-nilai etika dan moral yang tinggi kepada generasi muda dan selanjutnya, untuk menjadi panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan budi pekerti yang luhur.
Serat Wedhatama mengandung lima tembang macapat (puisi tradisional Jawa) dengan total 100 bait. Ajaran yang terkandung dalam Serat Wedhatama dapat dibagi menjadi dua kelompok utama: ajaran untuk generasi muda dan generasi tua. Untuk panduan bagi anak muda Mangkunegara IV menitikkan ajaran untuk bersikap rendah hati, memilih pembimbing atau mentor yang bijaksana, dan tidak terjerat oleh godaan kesenangan duniawi. Dengan begitu, generasi muda diajarkan pentingnya pengendalian diri, berserah diri kepada Tuhan, mensyukuri segala nikmat yang diberikan-Nya, dan mulai memahami hakikat kehidupan melalui introspeksi dan pencarian spiritual.
Untuk generasi tua, ajaran dalam Serat Wedhatama berfokus pada pengembangan kesabaran, cinta kasih, dan penghormatan terhadap berbagai aspek kehidupan. KGPAA Mangkunegara IV menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan. Dengan keseimbangan ini, seseorang dapat mencapai harmonisasi yang mendalam dalam kehidupan, baik secara spiritual maupun sosial. Selain itu, pendekatan ini bertujuan membantu individu menghadapi tantangan usia tua dengan kebijaksanaan dan kedamaian, sekaligus menjaga hubungan baik dengan diri sendiri dan lingkungan.
Berikut lima jenis tembang macapat yang didalamnya terdapat aturan dan karakteristik tersendiri. Tembang-tembang ini tidak hanya berfungsi sebagai media estetika dalam sastra Jawa, tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan moral dan filosofis yang khas.
Pangkur : memiliki arti "berbalik arah" atau "menghindar dari perilaku buruk" dalam bahasa Jawa. Pangkur menekankan aspek spiritualitas dan introspeksi diri, terutama dalam mengendalikan hawa nafsu dan emosi.
Sinom : Tembang Sinom dalam sastra Jawa sering dikaitkan dengan masa muda atau permulaan hidup yang penuh harapan dan potensi. Dalam makna untuk menggambarkan fase kehidupan yang penuh semangat dan kebebasan, di mana seseorang sedang menjalani awal perjalanan hidup yang penuh dengan cita-cita dan impian.
Pucung : Dalam hal ini tembang "Pucung" berperan sebagai pengingat akan keterbatasan hidup manusia di dunia. Tembang ini menekankan bahwa hidup di dunia hanya bersifat sementara dan sangat singkat. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan dan kesadaran yang lebih mendalam tentang tujuan akhir yang lebih tinggi, yaitu kehidupan setelah kematian.
Gambuh : salah satu tembang yang sarat dengan nilai-nilai spiritual yang tinggi, Mangkunegara IV memberikan ajaran dalam tembang yang menggambarkan perjalanan hidup yang bijaksana dan penuh refleksi spiritual harus saling beriringan. Gambuh memberikan ajaran tentang keteguhan hati, kedewasaan, dan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dalam mencapai tujuan yang lebih abadi. Dalam pupuh Gambuh ini juga di ajarkan tentang catur sembah, yaitu empat cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan:
- Sembah Raga merujuk pada ibadah salat lima waktu yang dimulai dengan bersuci menggunakan air. Salat suatu kewajiban bagi seorang muslim yang menjadi dasar tiang agama. Selain wajib untuk dilakukan, sholat juga memberikan manfaat bagi tubuh, menenangkan hati, dan meredakan pikiran yang gelisah.
- Sembah Cipta adalah bentuk ibadah yang dilakukan melalui tirakat atau latihan spiritual untuk membersihkan hati dengan cara mengendalikan nafsu. Ibadah ini memerlukan ketekunan, konsistensi, kehati-hatian, dan kesabaran dalam pelaksanaannya.
- Sembah Jiwa berfokus pada jiwa atau sukma dan berhubungan erat dengan aspek batin. Ibadah ini dilakukan setelah seseorang menjalankan sembah cipta dan hanya bisa dilakukan dengan hati yang murni dan suci. adalah bentuk pemahaman diri yang mendalam melalui rasa yang sejati. Seseeorang yang mencapai pemahaman rasa sejati telah berhasil menyatukan dirinya dengan Allah, yagn mampu mencapai kondisi manunggaling kawula gusti. Dalam ajaran tasawuf Jawa, orang ini telah melewati tahap mahu, sakar, dan suhu.
Kinanthi : Pupuh ini memperjelas maksud dari serat sebelumnya. Yang didalamnya, Mangkunegara IV menekankan bahwa ketenangan dalam batin menjadi dasar yang kuat untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan dan pengertian hidup yang lebih mendalam. Tembang ini menggambarkan pentingnya menjalani hidup dengan penuh ketenangan, menghadapi dunia dengan penuh kesabaran, dan mencari kedamaian dalam diri untuk mencapai kesempurnaan hidup yang lebih tinggi.
Dari ajaran tersebut, dapat diketahui bahwa Manunggaling Kawula lan Gusti yaitu konsep dalam ajaran kebatinan Jawa yang mengajarkan tentang penyatuan antara manusia dan Tuhan. Dalam konteks kepemimpinan, Manunggaling Kawula lan Gusti mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kesadaran penuh mengenai peran dan tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang baik harus memiliki kebijaksanaan untuk tidak hanya memimpin dengan adil dan bijaksana, tetapi juga mampu untuk menempakan waktu dan juga diri untuk mendengarkan orang lain dan mengikuti arahan yang lebih tinggi, dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran akan kedudukan diri dalam suatu komunitas atau masyarakat. Konteks kepemimpinan, Manunggaling Kawula lan Gusti, relevan dengan nilai-nilai kategori kepemimpinan menurut Mangkunegaran IV:
- Nistha
dalam konteks kebatinan dan ajaran Jawa merujuk pada konsep perbuatan atau tindakan yang tercela, buruk, atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi. Nistha sering dikaitkan dengan perilaku yang menentang prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kesucian, yang seharusnya dijauhi oleh seorang individu yang ingin menjalani hidup secara benar dan harmonis.
Secara lebih luas, nistha dapat mencakup tindakan-tindakan seperti kebohongan, ketidakadilan, keserakahan, dan sikap egois yang merusak hubungan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Ajaran-ajaran dalam budaya Jawa, khususnya yang diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Mangkunegara IV, menekankan pentingnya menjauhi nistha dan intropeksi diri dengan sikap-sikap yang lebih luhur, seperti kebijaksanaan, kejujuran, dan kesederhanaan, untuk mencapai hidup yang lebih harmonis dan seimbang. - Madya (jelas, tahu hak dan kewajibannya)
dalam konteks kebatinan dan ajaran Jawa merujuk pada konsep keseimbangan atau posisi tengah. Kata "madya" itu sendiri berarti "tengah" atau "menengah", yang mengandung makna tentang menjaga keseimbangan dalam hidup. Pemimpin yang berada dalam kategori madya adalah pemimpin yang memiliki kesadaran akan pentingnya keseimbangan dalam setiap keputusan dan tindakannya. Maka sifat dalam memimpinnya pun akan cenderung bijaksana, memikirkan setiap langkah secara matang, dan mengedepankan keharmonisan dalam memimpin.
Akan tetapi, pemimpin tipe ini tidak ragu untuk menuntut hak-haknya karena ia merasa telah memenuhi kewajiban yang diembannya. Yang seringkali mengharapkan imbalan yang setimpal atas apa yang telah mereka lakukan. Sehingga menurt tradisi Jawa, belum mampu mencapai tingkat kepemimpinan yang sangat tinggi karena sifatnya yang cenderung lebih fokus pada pemenuhan hak dan kewajiban pribadi, tanpa mencerminkan pengorbanan yang lebih dalam atau dedikasi total kepada masyarakat. Oleh karena itu, meskipun seorang pemimpin dapat dianggap baik dan mampu, tetapi belum tentu mereka mampu mencapai dimensi kepemimpinan yang lebih luhur yang diharapkan dalam tradisi tersebut. - Utama (beyond/melampaui atau terbaik)
Pemimpin utama tidak hanya memimpin dengan kinerja yang luar biasa, tetapi juga menunjukkan sikap dan nilai yang lebih tinggi, seperti ketulusan, pengabdian tanpa pamrih, dan kemauan untuk terus berkorban demi kepentingan yang lebih besar. Selain itu, pemimpin dalam kategori ini tidak hanya memenuhi kewajiban mereka, tetapi juga memiliki pengorbanan yang mendalam dan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap masyarakat dan tugas mereka. Dengan begitu seorang pemimpin mampu menumbuhkan kedamaian, kesejahteraan, dan kemajuan yang berkelanjutan bagi orang banyak.
Dalam konteks kepemimpinan Jawa, pemimpin utama adalah yang benar-benar telah mencapai keseimbangan antara pengabdian pada diri sendiri dan masyarakat serta memiliki keikhlasan yang mendalam dalam segala hal yang mereka lakukan. Pemimpin dengna kategori ini dihormati sebagai sosok pemimpin terbaik yang memiliki kualitas dan nilai kepemimpinan yang sangat dihargai. Mereka dihormati karena menunjukkan integritas, pengorbanan, dan dedikasi yang luar biasa dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin utama ini menjadi teladan bagi banyak orang karena kemampuannya untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Menurut salah satu ahli Juniadi Suwartojo (1997) pengertian korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.
Kasus korupsi di Indonesia semakin marak diberitakan, dan praktik ini tampaknya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia politik dan pemerintahan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan "mengapa korupsi terus membesar dan seolah sulit diberantas". Ironisnya lagi, ada dugaan bahwa banyak kasus lain yang masih tersembunyi dan belum terkuak, karena praktik hubungan nepotisme yang saling melindungi antar pelaku. Tak jarang, para pelaku korupsi yang ikut terseret dari kalangan pegawai atau pejabat pemerintah yang sudah memiliki penghasilan tetap dan kehidupan yang layak. "Mengapa mereka tetap melakukan korupsi? Apakah ini karena ketidakpuasan terhadap apa yang sudah mereka miliki?".
Menurut Jack Bologna, korupsi muncul karena empat faktor utama, yaitu "greed" (keserakahan), "opportunity" (kesempatan), "need" (kebutuhan), dan "exposes" (hukuman yang rendah). Dari keempat faktor tersebut, aspek yang mendukung kuat tindakan korupsi justru berasal dari diri sendiri karena lemahnya moral seseorang, yang membuatnya mudah terpengaruh oleh dorongan hawa nafsu. Kombinasi antara faktor internal seperti kurangnya integritas pribadi dan faktor eksternal seperti peluang serta minimnya risiko hukuman menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya tindakan koruptif.
Menurut Falsafah Jawa, Mangkunegaran IV dalam kepemimpinannya memiliki prinsip-prinsip yang berlandaskan pada konteks etika dan efektivitas memimpin yang mencakup kesederhanaan, tanggung jawab moral, serta kemampuan menjalin hubungan yang harmonis dengan semua lapisan masyarakat. Prinsip-prinsip ini tidak hanya mencerminkan nilai-nilai luhur budaya Jawa, tetapi juga menjadi pedoman praktis dalam menghadapi tantangan pemerintahan dan masyarakat pada masanya.
Beberapa prinsip penting yang menjadi landasan kepemimpinan Mangkunegaran IV adalah:
- Aja Gumunan (Jangan Mudah Kagum)
Prinsip ini mengajarkan seorang pemimpin untuk selalu rendah hati dan tidak sombong meskipun memiliki jabatan. Selain itu, beliau menegaskan untuk tetap kritis dan tidak mudah terpesona oleh sesuatu yang baru atau luar biasa. Dalam konteks pemerintahan, ini berarti seorang pemimpin harus memiliki pandangan yang matang sebelum membuat keputusan besar.
Kepemimpinan seperti yang diterapkan oleh Mangkunegaran IV sangat relevan untuk diadopsi oleh pemimpin masa kini, terutama dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. Beberapa aspek kepemimpinan Mangkunegaran IV yang bisa diadaptasi untuk menghadapi tantangan zaman sekarang antara lain: keteguhan dalam prinsip, analisis yang matang, kerendahan hati, serta kemampuan untuk menilai situasi secara objektif.
- Aja Kagetan (Jangan Mudah Kaget)
Pemimpin harus memiliki ketahanan mental untuk menerima dan mengelola realitas, termasuk hal-hal yang mengejutkan atau di luar ekspektasi. Ini mencerminkan pentingnya kestabilan emosi dalam menghadapi perubahan. Ketahanan mental ini tidak hanya mencakup kemampuan untuk tetap tenang dalam situasi krisis, tetapi juga kesanggupan untuk berpikir jernih, strategis, dan rasional dalam kondisi yang penuh tekanan.
Mangkunegaran IV adalah sosok pemimpin Jawa yang dikenal menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan berbasis falsafah etika dan kestabilan dalam menghadapi realitas pemerintahan. Dalam konteks ketahanan mental dan kestabilan emosi, Mangkunegaran IV mampu menunjukkan kepemimpinan yang adaptif, bijaksana, dan relevan dengan berbagai tantangan yang dihadapinya pada masa itu.
Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan mental bukan hanya kemampuan untuk bertahan dalam tekanan, tetapi juga kemampuan untuk mengambil keputusan yang berlandaskan pada moral, visi jangka panjang, dan keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. Kepemimpinan Mangkunegaran IV menjadi cerminan bagi seorang pemimpin perlu untuk menjaga kestabilan emosi dan ketahanan mental untuk dapat membangun legitimasi pemimpin di mata masyarakat dan diri sendiri.
- Aja Dumeh (Jangan Mentang-Mentang atau Sombong)
Sikap rendah hati dan tidak menyalahgunakan kekuasaan menjadi inti dari prinsip ini. Mangkunegaran IV percaya bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan untuk melayani, bukan untuk menunjukkan kehebatan atau menindas orang lain. Dalam falsafah Jawa, prinsip ini mengingatkan pemimpin untuk tidak merasa lebih tinggi atau lebih hebat dari orang lain hanya karena jabatan atau kekuasaan yang dimiliki. Sebaliknya, kekuasaan harus dipandang sebagai amanah atau tanggung jawab yang harus digunakan untuk melayani dan mengayomi, bukan untuk menunjukkan kehebatan diri atau untuk menindas orang lain.
Prinsip "Aja Dumeh" dalam kepemimpinan Mangkunegaran IV mencerminkan sikap yang sangat relevan dalam konteks kepemimpinan modern. Kekuasaan bukan untuk disalahgunakan, melainkan untuk melayani dan memperjuangkan kesejahteraan orang banyak. Sikap rendah hati dan bijaksana ini menjadikan Mangkunegaran IV sebagai contoh pemimpin yang tidak hanya dihormati karena kedudukannya, tetapi juga karena kemampuannya untuk menyeimbangkan kekuasaan dengan tanggung jawab moral. Prinsip ini mengajarkan kepada pemimpin masa kini untuk tidak terjebak dalam kesombongan atau penyalahgunaan kekuasaan, dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat serta menjunjung tinggi integritas dan keadilan.
- Prasaja (Kesederhanaan)
Prinsip "Prasaja" dalam falsafah Jawa mengajarkan pentingnya hidup secara sederhana dan secukupnya tanpa terjebak dalam sifat berlebihan. Kesederhanaan tidak hanya mencerminkan pola hidup yang tidak memaksakan sesuatu di luar kemampuan, tetapi juga menjadi teladan moral bagi orang-orang di sekitar, terutama bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang sederhana menunjukkan kepada rakyatnya bahwa jabatan dan kekuasaan bukanlah sarana untuk kemewahan atau kesenangan pribadi, melainkan untuk menjalankan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.
Prinsip "Prasaja" dalam kepemimpinan Mangkunegaran IV adalah cerminan dari filosofi kepemimpinan yang tidak hanya relevan dalam konteks tradisional, tetapi juga dalam situasi modern. Kesederhanaan yang beliau terapkan tidak hanya menjadi teladan moral bagi rakyatnya, tetapi juga menjadi strategi pemerintahan yang efektif dalam menciptakan harmoni dan stabilitas.
Dalam konteks modern, prinsip ini dapat menjadi inspirasi bagi para pemimpin untuk menghindari gaya hidup berlebihan dan fokus pada kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang sederhana tidak hanya lebih mudah diterima oleh masyarakat, tetapi juga lebih mampu menciptakan kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak, seperti yang telah ditunjukkan oleh Mangkunegaran IV dalam masa kepemimpinannya.
- Manjing Ajur-Ajer (Cair dan Melebur dengan Semua Kalangan)
Prinsip "Manjing Ajur-Ajer" dalam falsafah kepemimpinan Jawa mencerminkan inklusivitas dan kemampuan seorang pemimpin untuk beradaptasi dengan berbagai kalangan masyarakat. Seorang pemimpin yang menjalankan prinsip dapat berbaur dengan semua orang tanpa memandang status sosial atau golongan, sambil tetap mempertahankan wibawanya sebagai pemimpin. Sikap ini menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan untuk memahami kebutuhan, aspirasi, serta persoalan rakyat secara langsung.
Lebih dari sekadar berbaur, prinsip ini juga menegaskan bahwa seorang pemimpin harus bisa meleburkan ego pribadi demi kepentingan bersama. Pemimpin tidak boleh terpisah dari masyarakatnya; ia harus menjadi bagian dari mereka sekaligus menjadi teladan. Dengan demikian, "Manjing Ajur-Ajer" menciptakan hubungan yang harmonis antara pemimpin dan rakyat, di mana pemimpin tidak hanya dipandang sebagai penguasa, tetapi juga sebagai pelayan masyarakat yang peduli dan dekat dengan rakyatnya.
Pendekatan ini relevan bagi pemimpin masa kini, yang sering kali dihadapkan pada tantangan kompleks dan masyarakat yang beragam. Dengan meneladani sikap Mangkunegaran IV, pemimpin modern dapat membangun pemerintahan yang inklusif, memahami kebutuhan rakyat secara langsung, dan menciptakan kebijakan yang lebih adil serta berdampak positif bagi masyarakat luas.
Pendekatan prinsip tersebut memberikan panduan bagi seorang pemimpin untuk menjaga integritas dalam menjalankan kekuasaannya. Kebatinan mengajarkan seorang pemimpin untuk introspeksi, menekan hawa nafsu, serta fokus pada tanggung jawab moral untuk melayani rakyat dengan adil dan penuh empati. Ketika nilai-nilai kebatinan ini diabaikan, peluang untuk penyimpangan, seperti korupsi, semakin besar
Korupsi, sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, sering kali muncul dari hilangnya keseimbangan batin dan lemahnya pengendalian diri. Pemimpin atau pejabat yang terjebak dalam korupsi biasanya terlalu berorientasi pada keuntungan materi, mengabaikan nilai-nilai moral, dan gagal menjaga keselarasan antara pikiran, ucapan, dan tindakan.
Kebatinan mengajarkan pemimpin untuk mengendalikan hawa nafsu terhadap godaan kekuasaan dan kekayaan. Dalam kasus korupsi, sering kali pelaku terjebak dalam "greed" (keserakahan), seperti yang dijelaskan dalam teori Jack Bologna. Tanpa pengendalian diri yang kuat, pelaku mudah tergoda untuk menyalahgunakan wewenang. Kebatinan berfungsi sebagai mekanisme untuk introspeksi dan menahan dorongan negatif ini, sehingga seorang pemimpin lebih fokus pada tanggung jawab moralnya.
Integritas menjamin bahwa seorang pemimpin berpegang teguh pada prinsip moral yang kokoh, sehingga setiap kebijakan dan tindakannya berlandaskan pada nilai keadilan dan kebenaran. Dalam kasus korupsi, kurangnya integritas sering tercermin melalui perilaku yang tidak sesuai dengan tanggung jawab seorang pejabat publik. Dengan menghayati nilai-nilai kebatinan secara mendalam, seorang pemimpin dapat mempertahankan integritasnya, menjauhi keputusan yang merugikan masyarakat, dan mengutamakan transparansi dalam pengelolaan pemerintahan.
Mangkunegaran IV selalu mempertimbangkan aspek moral dan etis dalam setiap kebijakan. Sikap ini mencegahnya mengambil keputusan yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Dalam kasus korupsi, hal ini mengajarkan pentingnya menempatkan kepentingan publik di atas keuntungan pribadi. Konsep kepemimpinan "Raos Gesang" (menguasai rasa hidup) dalam ajaran Mangkunegaran IV menggarisbawahi pentingnya seorang pemimpin harus memiliki kepekaan batin dan tanggung jawab moral. Prinsip ini menuntun pemimpin untuk tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga pada proses yang bermartabat dan penuh integritas. Berikut adalah empat prinsip utama dalam kategori kepemimpinan "Raos Gesang" yang diterapkan oleh Mangkunegaran IV:
- Bisa Rumangsa, Ojo Rumangsa Bisa (Bisa Merasa, Bukan Merasa Bisa)
Seorang pemimpin harus memiliki empati dan kesadaran diri. "Bisa rumangsa" berarti mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, sedangkan "ojo rumangsa bisa" mengajarkan untuk tidak merasa sombong atau berlebihan dalam menilai kemampuan diri. Dengan prinsip ini, pemimpin dapat menjaga kerendahan hati dan tidak menganggap dirinya selalu benar. Kemudian hal ini mampu mendorong pemimpin untuk mendengar dan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat, sehingga keputusan yang diambil lebih bijak dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Dalam konteks korupsi, prinsip ini sangat relevan. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk "bisa rumangsa" akan lebih peka terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi, seperti ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi. Mereka akan lebih memahami bahwa penyalahgunaan kekuasaan, seperti penggunaan anggaran negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, akan mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Pemimpin dengan empati akan merasa tergerak untuk menjaga keadilan sosial dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan masyarakat, apalagi untuk keuntungan pribadi.
Sebaliknya, seorang pemimpin yang hanya merasa “bisa,” atau merasa superior dan lebih mampu daripada orang lain, berisiko mengembangkan pola pikir yang justru dapat mengarah pada korupsi. Dengan merasa lebih berkuasa atau lebih pintar, pemimpin tersebut mungkin berpikir bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakan kekuasaan atau sumber daya negara untuk kepentingan pribadi. Tindakan ini bisa saja berupa pengalihan anggaran, suap, atau penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi rakyat yang seharusnya dilayani.
- Angrasa Wani (Berani Merasa, Berani Berbuat, Berani Mencoba, Berani Inovasi, Tidak Takut Risiko)
Keberanian bukan hanya soal menghadapi situasi sulit, tetapi juga tentang berani membuat keputusan yang benar, meskipun keputusan tersebut bisa menimbulkan risiko atau tantangan besar. Pemimpin yang berani dan inovatif cenderung mengambil keputusan berdasarkan prinsip dan kebutuhan publik, bukannya melayani kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam banyak kasus korupsi, ketakutan terhadap risiko atau ancaman bisa memaksa pejabat untuk mengikuti jalur yang lebih mudah, namun tidak etis. Dalam konteks ini, keberanian dan inovasi juga mencakup keberanian untuk menentang tekanan negatif dan tetap teguh pada prinsip-prinsip moral, meskipun ada godaan untuk mengambil jalan pintas yang lebih menguntungkan tetapi merugikan banyak pihak.
- Angrasa Kleru (Ksatria Mengakui Kesalahan, Bodoh, dan Lain-lain)
Seorang pemimpin yang memiliki sifat ksatria, yang berasal dari nilai-nilai ksatria dalam tradisi Jawa, akan menunjukkan integritas dengan mengakui kesalahan, ketidaktahuan, atau kekurangan yang terjadi, tanpa takut kehilangan wibawa atau reputasi. Dengan begitu hal tersebut menjadi salah satu nilai etika yang sangat penting dalam mencegah dan mengatasi korupsi. Banyak kasus korupsi bermula dari ketidakmauan seorang pemimpin untuk mengakui kesalahan atau ketidaktahuan dalam pengelolaan sumber daya atau kebijakan publik. Ini merupakan bentuk dari ketidakmauan bertanggung jawab yang seringkali berujung pada praktik korupsi yang semakin merajalela.
Pemimpin yang ksatria mampu untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan nya, meskipun itu mungkin menimbulkan konsekuensi yang tidak menguntungkan. Mengakui kesalahan bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan batin dan kedewasaan sebagai pemimpin yang menunjukkan ematangan emosional dan komitmen terhadap akuntabilitas. Secara keseluruhan, Angrasa Kleru adalah prinsip yang menuntut pemimpin untuk selalu siap mengakui kesalahan dan belajar dari pengalaman tersebut, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan jauh dari potensi korupsi.
- Benertur Pener (Bedakan Benar dan Pener pada Realitas)
Benertur Pener atau prinsip "Membedakan Benar dan Pener pada Realitas" mengajarkan seorang pemimpin untuk memiliki kemampuan untuk membedakan antara nilai kebenaran dan apa yang sesuai dengan kenyataan atau kondisi nyata yang ada. Pemimpin yang menguasai prinsip ini akan mampu memahami dan menilai situasi dengan objektif, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi, tekanan eksternal, atau persepsi yang keliru.
Dalam konteks korupsi, prinsip ini sangat relevan. Banyak tindakan korupsi terjadi karena pemimpin gagal membedakan antara apa yang benar secara moral dan apa yang seharusnya diterima atau dilakukan dalam realitas kekuasaan dan politik. Seorang pemimpin yang tidak mampu membedakan kebenaran dari kenyataan praktis mungkin tergoda untuk mengambil jalan pintas dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi. Mereka bisa menganggap bahwa melakukan tindakan yang tidak etis, seperti menerima suap atau mengalihkan anggaran untuk kepentingan pribadi, adalah langkah yang "realistis" atau praktis dalam mencapai tujuan atau mempertahankan kekuasaan, meskipun itu jelas salah secara moral.
Secara keseluruhan, Benertur Pener adalah prinsip yang mendalam dalam menciptakan pemimpin yang tidak hanya bijaksana dalam mengambil keputusan, tetapi juga jujur dan konsisten dengan nilai moral yang benar. Prinsip ini dapat membantu mengurangi praktik korupsi dengan memastikan bahwa pemimpin selalu memilih jalan yang benar, meskipun itu lebih sulit atau penuh tantangan dalam konteks realitas sosial dan politik yang ada.
Dalam konteks pemberantasan korupsi dan transformasi diri seorang pemimpin, Serat Pramayoga karya Raden Ngabei Ranggawarsita menawarkan ajaran penting yang berlandaskan pada nilai-nilai etika dan spiritual. Serat ini menekankan bahwa kepemimpinan yang ideal harus didasari oleh keselarasan antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya mampu mengarahkan orang lain tetapi juga mampu memimpin dirinya sendiri melalui pengendalian nafsu, introspeksi, dan penguatan nilai-nilai moral. Serat tersebut berisikan :
- Hang-Uripi (Mewujudkan Kehidupan Baik)
Karakteristik seorang pemimpin harus mampu bertanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Yang tepat fokus pada kebijakan yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh. Dalam konteks korupsi, seorang pemimpin yang memegang prinsip ini akan berorientasi pada pembangunan yang adil, transparan, dan berkelanjutan, sehingga menghindari penggunaan sumber daya untuk kepentingan pribadi. Karena, kesejahteraan masyarakat hanya dapat tercapai jika seorang pemimpin dapat mengelola sumber daya secara efektif dan bertanggung jawab, dengan memastikan bahwa tidak ada peluang bagi praktik korupsi yang dapat merugikan berbagai pihak.
- Hang-Rungkepi (Berani Berkorban)
Hang-Rungkepi mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati harus memiliki keberanian untuk berkorban demi kepentingan rakyat dan keadilan. Korupsi sering terjadi karena pemimpin lebih mementingkan kenyamanan pribadi daripada melayani rakyat. Ketidakmauan untuk mengambil risiko atau mengorbankan kepentingan pribadi dapat membuka jalan bagi praktik korupsi yang merugikan banyak pihak.
Hang-Rungkepi menggarisbawahi betapa pentingnya keberanian seorang pemimpin untuk mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Korupsi sering kali muncul ketika seorang pemimpin tidak mampu atau tidak bisa membebaskan diri dari zona nyaman dan tetap berpegang teguh pada pribadinya. Prinsip ini menekankan bahwa pemimpin sudah seharusnya mampu menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama, bahkan jika harus menghadapi berbagai tantangan dan risiko. Pemimpin yang berintegritas tidak hanya berani menghadapi tekanan atau ancaman, tetapi juga konsisten menjaga keadilan dan transparansi dalam setiap kebijakan maupun tindakannya.
- Hang-Ruwat (Menyelesaikan Masalah)
Pemimpin adalah garda terdepan dalam mengatasi masalah yang memengaruhi kesejahteraan rakyat. Seorang Pemimpin dipilih oleh rakyat karena dipercaya mampu bertanggungjawab penuh akan berbagai aspek kehidupan disuatu negara untuk menyelesaikan masalah, konflik dan mengatur rencana masa depan yang lebih baik untuk negaranya. Dalam suasana konflik tentu saja diperlukan seorang pemimpin yang mampu menjadi mediator yang adil dan bijaksana. Selain menyelesaikan masalah yang ada, pemimpin yang berpegang pada prinsip ini harus memikirkan rencana strategis untuk mencegah masalah serupa di masa depan.
Dalam menghadapi korupsi, prinsip Hang-Ruwat sangat penting. Pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah tidak hanya fokus pada pemberian sanksi kepada pelaku, tetapi juga mengatasi akar penyebab korupsi seperti lemahnya sistem birokrasi, kurangnya pengawasan, dan budaya permisif. Pendekatan yang menyeluruh ini dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan efisien, serta meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan institusi negara.
- Hang-Ayomi (Perlindungan)
Kepercayaan yang diberikan rakyat kepada pemimpin harus disertai dengan menciptakan kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat, segala bentuk penindasan, termasuk yang muncul akibat korupsi. Secara garis besar, Prinsip Hang-Ayomi menekankan peran pemimpin sebagai pelindung rakyat, baik dari ancaman eksternal maupun internal. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat membawa tanggung jawab besar bagi pemimpin untuk memastikan kesejahteraan, keamanan, dan keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, perlindungan bukan hanya soal fisik, tetapi juga mencakup perlindungan hak, martabat, dan keadilan sosial.
- Hang-Uribi (Menyala, Memberikan Motivasi)
Seorang pemimpin memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk semangat dan arah kehidupan masyarakat nya. Hal ini didasarkan pada kepercayaan rakyat atau Masyarakat kepada pemimpinnya. Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga menjadi figur panutan yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika. Sebelum menjadi inspirasi atau panutan, penting adanya kesadaran diri dari seorang pemimpin untuk berkelakukan dan moral yang baik yang tidak hanya terkesan formalitas, akan tetapi sudah seharusnya menjadi bagian integral dari kepribadian dan kepemimpinannya. Serta wujud nyata dari integritas yang melekat dalam setiap tindakan dan keputusan yang dilakukan. Dalam konteks pemberantasan korupsi, pemimpin harus menunjukkan komitmen yang jelas terhadap integritas dan memberikan contoh nyata melalui tindakan yang jujur dan transparan.
- Ha-Memayu (Harmoni, Keindahan, Kerukunan)
Dalam konteks ini, Keseimbangan dan kedamaian dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat hanya dapat tercapai jika praktik korupsi berhasil diberantas. Korupsi menciptakan kesenjangan, ketidakpercayaan, dan ketidakadilan yang merusak kepercayaan masyarakat kepada yang menjadi pemimpin. Oleh karena itu, penting bagi seorang pemimpin untuk memastikan bahwa sistem pemerintahan berjalan secara transparan, adil, dan bebas dari penyimpangan. Dengan memberantas korupsi, pemimpin tidak hanya memperbaiki sistem pemerintahan, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan bersatu.
- Ha-Mengkoni (Membuat Persatuan)
Korupsi sering menjadi pemicu perpecahan dalam masyarakat karena menghasilkan ketidakadilan dan memperluas kesenjangan sosial. Pemimpin yang memahami arti penting persatuan akan berkomitmen untuk menghapus praktik korupsi yang merugikan masyarakat secara menyeluruh. Prinsip ini menekankan perlunya menjalin kepercayaan antara pemerintah dan rakyat sebagai fondasi utama untuk menciptakan masyarakat yang bersatu untuk awal dan seterusnya menjadi Harmoni, Indah, dan Rukun.
- Hanata (Mengatur dan Menata)
Prinsip ini mengajarkan kemampuan untuk mengatur dan menata sistem pemerintahan dengan baik. Dalam konteks korupsi, pemimpin harus memastikan bahwa tata kelola pemerintahan berjalan efektif, akuntabel, dan transparan. Untuk mencapai hal ini, pemimpin juga perlu melakukan transformasi diri, sehingga mampu membangun sistem yang kuat dan mendukung penghapusan praktik korupsi secara menyeluruh.
Penerapan prinsip-prinsip tersebut tidak hanya mendorong terciptanya kepemimpinan yang berintegritas dan bermoral, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih transparan dan bebas dari korupsi. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut, seorang pemimpin tidak hanya berperan sebagai agen perubahan, tetapi juga menjaga kepercayaan publik sekaligus memastikan terciptanya kehidupan yang lebih sejahtera bagi semua lapisan masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan nasihat-nasihat Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama, yang menjelaskan bagaimana seharusnya pemimpin beretika:
- Eling lan waspada (eling tuhan, waspada dengan sesama, dan alam; atau vertical horizontal), memiliki makna untuk selalu “Eling Tuhan” Mengingat selalu kehadiran Tuhan dalam setiap tindakan. Dan bersikap berhati-hati yang harus sadar akan hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar.
- Atetam boyen wus bucik; (jangan sampai berobat setelah luka); memiliki makna mengingatkan pentingnya pencegahan daripada melakukan pengobatan. Bertindak sebelum masalah terjadi lebih baik untuk menghindari konsekuensi yang lebih buruk.
- Away mematuh nalutuh, (menghindari sifat angkara, perbuatan Nista), mengandung makna peringatan untuk menjauhi perilaku buruk dan tindakan yang merugikan dan berfokusokus pada kebaikan serta kejujuran sebagai landasan moral manusia.
- Kareme anguwus-uwus owose tan ana, mung janjine muring-muring; marah2 pada orang lain, tanpa alasan; mengandung makna pengendalian diri terhadap emosional, dengan mengajarkan untuk bersikap tenang dan bijaksana.
- Gonyak-ganyukngelingsemi (adap) kurang sopan santun, memalukan; makna terkandung didalamnya menunjukkan bahwa manusia, hidup harus didasar dengan pentingnya berperilaku sopan dan beradab dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut juga berdampak pada diri sendiri dan orang lain.
- Nggugu karepe priyangga (jangan bertindak sendiri tidak bisa diatur); makna terkandung didalamnya mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menghindari tindakan yang hanya didasarkan pada keinginan pribadi atau ego semata
- Traping angganira (dapat menempatkan diri); bermakna pemimpin harus menempatkan dir dengam bertindak tegas dan mengetahuibats-batas tertentu. Kemampuan untuk menempatkan diri dengan tepat adalah tanda dari kedewasaan dalam kepemimpinan.
- Angger uger ing keprabon(mematuhi tatanan negara); Taat menghormati dan mengikuti aturan serta hukum yang berlaku dalam masyarakat dan negara. Sebuah cerminan pemimpin yang berintegritas dan moral.
- Bangkit ajur ajer(bergaul dengan siapapun), mengandung makna mampu bergaul atau aktif berinteraksi dengan berbagai orang untuk sebuh relasi.
- Ngenaki Tyasing Lyan (menyenangkan oranglain walaupun berbeda)
- Den iso mbasuki ujaring janmi (pura-pura bodoh), sinamun ingsamudana (cara halus pura-pura), baik (sesadon ing adu manis), mengandung makna mampu menunjukkan sikap rendah hati dan tidak sombong, meskipun memiliki pengetahuan atau keahlian.
- Ngandhar-andhar angendhukur, kandhane nora kaprah (berbicara baik, logis, data, jelas, dan rendah hati)
- Anggung Gumrunggung (suka sombong itu bodoh), ungkapan yang menekankan bahwa kesombongan adalah tanda kebodohan. Seseorang yang terlalu bangga akan dirinya sendiri dan suka pamer sering kali tidak disukai orang lain. Kesombongan membuat seseorang tidak terbuka untuk belajar dari orang lain dan bisa menghalangi perkembangan diri.
- Ugungan sedina-dina (ingin dipuji tiap hari), seseorang dengan karakteristik yang selalu mencari pujian dari orang lain. Orang seperti ini sering kali mengorbankan kejujuran dan ketulusan demi mendapatkan pengakuan
- Lumuhasor kudu unggul, (sombong dapat dilihat dari tutur kata), sumengah sesongaran (merendahkan org lain)
DAFTAR PUSTAKA
Sumarno. (2012). Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Serat Wedhatama. Jurnal Partrawidya, 15(2), hal. 271-298.
Wibawa, S. (2013). Filsafat Jawa dalam Serat Wedhatama. Jurnal Ikadbudi, Vol. 2, Desember 2013.
ASTUTI, R. (2018). NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SERAT WEKARYA KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARYA DHATAMA MANGKUNEGARA IV.
Prabowo, R. S. (2023, November 29). Sejarah Raja Mangkunegara IV, Sosok Raja Modernis yang Peduli Budaya Jawa. Retrieved from Surakarta.id: https://surakarta.suara.com/read/2023/11/29/183908/sejarah-raja-mangkunegara-iv-sosok-raja-modernis-yang-peduli-budaya-jawa
Santo. (2023, Juli 13). Serat Wedhatama Adalah: Pengertian, Urutan, dan Isinya. Retrieved from detikJateng: https://www.detik.com/jateng/budaya/d-6821049/serat-wedhatama-adalah-pengertian-urutan-dan-isinya
SAPUTRA, M. N. (2012). MANUSIA UTAMA MENURUT MANGKUNEGARA IV (Kajian Atas Teks Serat Wedhatama Dan Serat-Serat Piwulang). Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Rudianto, E. (2024, April). Harlah PMII 64, Menelisik Gagasan Kepemimpinan ala Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara IV. Jatim Satu News. https://www.jatimsatunews.com/2024/04/harlah-pmii-64-menelisik-gagasan.html
Supardjo. (2019, December 31). Ajaran Luhur Dalam Sastra Klasik “Serat Tripama” Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV. Javanologi. https://javanologi.uns.ac.id/2019/12/31/ajaran-luhur-dalam-sastra-klasik-serat-tripama-karya-k-g-p-a-a-mangkunagara-iv/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H