Mohon tunggu...
GINA SULISTIANA
GINA SULISTIANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223110041

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2 - Kebatinan Mangkunegara IV Pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi Memimpin Diri Sendiri

21 November 2024   06:37 Diperbarui: 30 November 2024   23:35 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Serat Wedhatama ini bertujuan memberikan tuntunan moral dan spiritual bagi masyarakat Jawa, mencerminkan nilai-nilai luhur yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia Istilah Wedhatama berasal dari kata, kata "wedha" memiliki makna ilmu atau pengetahuan. Sementara itu, "tama" berasal dari kata "utama", yang merujuk pada sesuatu yang unggul atau bernilai tinggi, baik dalam sikap, perilaku, maupun budi pekerti. Dengan demikian, Wedhatama dapat diartikan sebagai "pengetahuan yang utama" atau "ilmu yang unggul," mencakup ajaran-ajaran yang bertujuan untuk memperbaiki akhlak dan memberikan tuntunan hidup yang baik bagi masyarakat Jawa. Karya ini mencerminkan keinginan untuk mengajarkan nilai-nilai etika dan moral yang tinggi kepada generasi muda dan selanjutnya, untuk menjadi panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan budi pekerti yang luhur.

Serat Wedhatama mengandung lima tembang macapat (puisi tradisional Jawa) dengan total 100 bait. Ajaran yang terkandung dalam Serat Wedhatama dapat dibagi menjadi dua kelompok utama: ajaran untuk generasi muda dan generasi tua. Untuk panduan bagi anak muda  Mangkunegara IV menitikkan ajaran untuk bersikap rendah hati, memilih pembimbing atau mentor yang bijaksana, dan tidak terjerat oleh godaan kesenangan duniawi. Dengan begitu, generasi muda diajarkan pentingnya pengendalian diri, berserah diri kepada Tuhan, mensyukuri segala nikmat yang diberikan-Nya, dan mulai memahami hakikat kehidupan melalui introspeksi dan pencarian spiritual.

Untuk generasi tua, ajaran dalam Serat Wedhatama berfokus pada pengembangan kesabaran, cinta kasih, dan penghormatan terhadap berbagai aspek kehidupan. KGPAA Mangkunegara IV menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan. Dengan keseimbangan ini, seseorang dapat mencapai harmonisasi yang mendalam dalam kehidupan, baik secara spiritual maupun sosial. Selain itu, pendekatan ini bertujuan membantu individu menghadapi tantangan usia tua dengan kebijaksanaan dan kedamaian, sekaligus menjaga hubungan baik dengan diri sendiri dan lingkungan.

Berikut lima jenis tembang macapat yang didalamnya terdapat aturan dan karakteristik tersendiri. Tembang-tembang ini tidak hanya berfungsi sebagai media estetika dalam sastra Jawa, tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan moral dan filosofis yang khas.

Pangkur : memiliki arti "berbalik arah" atau "menghindar dari perilaku buruk" dalam bahasa Jawa. Pangkur menekankan aspek spiritualitas dan introspeksi diri, terutama dalam mengendalikan hawa nafsu dan emosi.

Sinom : Tembang Sinom dalam sastra Jawa sering dikaitkan dengan masa muda atau permulaan hidup yang penuh harapan dan potensi. Dalam makna untuk menggambarkan fase kehidupan yang penuh semangat dan kebebasan, di mana seseorang sedang menjalani awal perjalanan hidup yang penuh dengan cita-cita dan impian. 

Pucung : Dalam hal ini tembang "Pucung" berperan sebagai pengingat akan keterbatasan hidup manusia di dunia. Tembang ini menekankan bahwa hidup di dunia hanya bersifat sementara dan sangat singkat. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan dan kesadaran yang lebih mendalam tentang tujuan akhir yang lebih tinggi, yaitu kehidupan setelah kematian. 

Gambuh : salah satu tembang yang sarat dengan nilai-nilai spiritual yang tinggi, Mangkunegara IV memberikan ajaran dalam tembang yang menggambarkan perjalanan hidup yang bijaksana dan penuh refleksi spiritual harus saling beriringan. Gambuh memberikan ajaran tentang keteguhan hati, kedewasaan, dan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dalam mencapai tujuan yang lebih abadi. Dalam pupuh Gambuh ini juga di ajarkan tentang catur sembah, yaitu empat cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan:

  • Sembah Raga merujuk pada ibadah salat lima waktu yang dimulai dengan bersuci menggunakan air. Salat suatu kewajiban bagi seorang muslim yang menjadi dasar tiang agama. Selain wajib untuk dilakukan, sholat juga memberikan manfaat bagi tubuh, menenangkan hati, dan meredakan pikiran yang gelisah.
  • Sembah Cipta adalah bentuk ibadah yang dilakukan melalui tirakat atau latihan spiritual untuk membersihkan hati dengan cara mengendalikan nafsu. Ibadah ini memerlukan ketekunan, konsistensi, kehati-hatian, dan kesabaran dalam pelaksanaannya.
  • Sembah Jiwa berfokus pada jiwa atau sukma dan berhubungan erat dengan aspek batin. Ibadah ini dilakukan setelah seseorang menjalankan sembah cipta dan hanya bisa dilakukan dengan hati yang murni dan suci. adalah bentuk pemahaman diri yang mendalam melalui rasa yang sejati. Seseeorang yang mencapai pemahaman rasa sejati telah berhasil menyatukan dirinya dengan Allah, yagn mampu mencapai kondisi manunggaling kawula gusti. Dalam ajaran tasawuf Jawa, orang ini telah melewati tahap mahu, sakar, dan suhu.

Kinanthi : Pupuh ini memperjelas maksud dari serat sebelumnya. Yang didalamnya, Mangkunegara IV menekankan bahwa ketenangan dalam batin menjadi dasar yang kuat untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan dan pengertian hidup yang lebih mendalam. Tembang ini menggambarkan pentingnya menjalani hidup dengan penuh ketenangan, menghadapi dunia dengan penuh kesabaran, dan mencari kedamaian dalam diri untuk mencapai kesempurnaan hidup yang lebih tinggi.

Dari ajaran tersebut, dapat diketahui bahwa Manunggaling Kawula lan Gusti yaitu konsep dalam ajaran kebatinan Jawa yang mengajarkan tentang penyatuan antara manusia dan Tuhan. Dalam konteks kepemimpinan, Manunggaling Kawula lan Gusti mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kesadaran penuh mengenai peran dan tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang baik harus memiliki kebijaksanaan untuk tidak hanya memimpin dengan adil dan bijaksana, tetapi juga mampu untuk menempakan waktu dan juga diri untuk mendengarkan orang lain dan mengikuti arahan yang lebih tinggi, dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran akan kedudukan diri dalam suatu komunitas atau masyarakat. Konteks kepemimpinan, Manunggaling Kawula lan Gusti, relevan dengan nilai-nilai kategori kepemimpinan menurut Mangkunegaran IV:

  • Nistha
    dalam konteks kebatinan dan ajaran Jawa merujuk pada konsep perbuatan atau tindakan yang tercela, buruk, atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan spiritual yang tinggi. Nistha sering dikaitkan dengan perilaku yang menentang prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kesucian, yang seharusnya dijauhi oleh seorang individu yang ingin menjalani hidup secara benar dan harmonis.
    Secara lebih luas, nistha dapat mencakup tindakan-tindakan seperti kebohongan, ketidakadilan, keserakahan, dan sikap egois yang merusak hubungan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Ajaran-ajaran dalam budaya Jawa, khususnya yang diajarkan oleh tokoh-tokoh seperti Mangkunegara IV, menekankan pentingnya menjauhi nistha dan intropeksi diri dengan sikap-sikap yang lebih luhur, seperti kebijaksanaan, kejujuran, dan kesederhanaan, untuk mencapai hidup yang lebih harmonis dan seimbang.
  • Madya (jelas, tahu hak dan kewajibannya)
    dalam konteks kebatinan dan ajaran Jawa merujuk pada konsep keseimbangan atau posisi tengah. Kata "madya" itu sendiri berarti "tengah" atau "menengah", yang mengandung makna tentang menjaga keseimbangan dalam hidup. Pemimpin yang berada dalam kategori madya adalah pemimpin yang memiliki kesadaran akan pentingnya keseimbangan dalam setiap keputusan dan tindakannya. Maka sifat dalam memimpinnya pun akan cenderung bijaksana, memikirkan setiap langkah secara matang, dan mengedepankan keharmonisan dalam memimpin.
    Akan tetapi, pemimpin tipe ini tidak ragu untuk menuntut hak-haknya karena ia merasa telah memenuhi kewajiban yang diembannya. Yang seringkali mengharapkan imbalan yang setimpal atas apa yang telah mereka lakukan. Sehingga menurt tradisi Jawa, belum mampu mencapai tingkat kepemimpinan yang sangat tinggi karena sifatnya yang cenderung lebih fokus pada pemenuhan hak dan kewajiban pribadi, tanpa mencerminkan pengorbanan yang lebih dalam atau dedikasi total kepada masyarakat. Oleh karena itu, meskipun seorang pemimpin dapat dianggap baik dan mampu, tetapi belum tentu mereka mampu mencapai dimensi kepemimpinan yang lebih luhur yang diharapkan dalam tradisi tersebut.
  • Utama (beyond/melampaui atau terbaik)
    Pemimpin utama tidak hanya memimpin dengan kinerja yang luar biasa, tetapi juga menunjukkan sikap dan nilai yang lebih tinggi, seperti ketulusan, pengabdian tanpa pamrih, dan kemauan untuk terus berkorban demi kepentingan yang lebih besar. Selain itu, pemimpin dalam kategori ini tidak hanya memenuhi kewajiban mereka, tetapi juga memiliki pengorbanan yang mendalam dan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap masyarakat dan tugas mereka. Dengan begitu seorang pemimpin mampu menumbuhkan kedamaian, kesejahteraan, dan kemajuan yang berkelanjutan bagi orang banyak.
    Dalam konteks kepemimpinan Jawa, pemimpin utama adalah yang benar-benar telah mencapai keseimbangan antara pengabdian pada diri sendiri dan masyarakat serta memiliki keikhlasan yang mendalam dalam segala hal yang mereka lakukan. Pemimpin dengna kategori ini dihormati sebagai sosok pemimpin terbaik yang memiliki kualitas dan nilai kepemimpinan yang sangat dihargai. Mereka dihormati karena menunjukkan integritas, pengorbanan, dan dedikasi yang luar biasa dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin utama ini menjadi teladan bagi banyak orang karena kemampuannya untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Menurut salah satu ahli Juniadi Suwartojo (1997) pengertian korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun