Menurut salah satu ahli Juniadi Suwartojo (1997) pengertian korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. Kesimpulannya, Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk keuntungan pribadi, yang dilakukan dengan cara melanggar hukum atau norma, seperti menerima suap, menggelapkan uang, atau memanipulasi jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan yang merugikan berbagai pihak termasuk negara.
Kasus korupsi di Indonesia semakin marak diberitakan, dan praktik ini tampaknya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia politik dan pemerintahan. Baru-baru ini, pada April 2024, terungkap skandal korupsi timah dengan nilai fantastis, yakni Rp271 triliun, menjadikannya kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Angka ini bahkan melampaui kasus BLBI pada 1997-1998, yang mengakibatkan potensi kerugian sebesar Rp138,44 triliun.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan "mengapa korupsi terus membesar dan seolah sulit diberantas". Ironisnya lagi, ada dugaan bahwa banyak kasus lain yang masih tersembunyi dan belum terkuak, karena praktik hubungan nepotisme yang saling melindungi antar pelaku. Tak jarang, para pelaku korupsi yang ikut terseret dari kalangan pegawai atau pejabat pemerintah yang sudah memiliki penghasilan tetap dan kehidupan yang layak. "Mengapa mereka tetap melakukan korupsi? Apakah ini karena ketidakpuasan terhadap apa yang sudah mereka miliki?".
Dibalik pertanyaan tersebut, tentu saja terdapat penyebab dan alasan seseorang melakukan korupsi. Hal ini dapat dijelaskan melalui berbagai sudut pandang, salah satunya adalah teori "GONE" yang dikemukakan oleh Jack Bologna.
Tulisan ini dibuat bertujuan untuk mengkaji dan membahas lebih dalam terkait penerapan penyebab kasus korupsi di Indonesia melalui pendekatan “Gone” yang dikemukakan oleh jack bologna dan bagaimana kerangka ini dapat dikatakan Berkaitan Dengan Korupsi di Indonesia
What: Teori Gone: Yang dikemukakan oleh Jack Bologna ?
Teori GONE adalah teori yang popular digunakan dalam penelitan fraud (kecurangan). Penelitian ini dikemukakan oleh Jack Bologne (1993) sebagai dasar teori untuk meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku fraud (kecurangan) atau biasa disebut korupsi. Teori GONE merupakan teori yang menyempurnakan Teori Triangle Fraud oleh Cressey (1953), yang dalam teori nya tersebut ia menyebutkan terdapat tiga faktor yang tepat untuk menggambarkan alasan mengapa seseorang melakukan fraud atau tindak kecurangan yaitu hal tersebut dilakukan karena adanya "Pressure" (Tekanan), "Oppoturnity" (Peluang atau Kesempatan), dan "Rationalization" (Rasionalisasi). Teori GONE ini merupakan penyempurnaan dari teori Triangle Fraud yang mengungkapkan akar penyebab koruptor melakukan tindak fraud terdiri dari empat faktor, yaitu unsur "Greed" (Keserakahan), "Opportunity" (Kesempatan), "Need" (Kebutuhan), dan "Exposes" (Hukuman yang rendah) (Isgiyata, 2018).
Why: Kerangka Teori “Gone” Yang Dikemukakan Oleh Jack Bologna Mampu Menjelaskan Penyebab Terjadi Korupsi di Indonesia
Pertama, Greedy (Keserakahan), adalah ambisi yang tidak terukur, yang membuat seseorang akan melakukan segala cara tanpa memedulikan batasan hukum atau etika. Kedua, Opportunity (Kesempatan), yaitu adanya peluang celah dalam regulasi, yang memudahkan seseorang untuk melakukan tindakan korupsi tanpa takut ketahuan dan hukum. Ketiga, Need (Kebutuhan), suatu sikap mental yang tidak pernah merasa puas, penuh dengan pola pikir konsumtif, dan selalu dipenuhi dengan keinginan yang tak ada habisnya. Terakhir, Exposes (Hukuman yang rendah), lemahnya hukum dan minimnya sanksi yang tegas bagi para pejabat atau yang memiliki kuasa membuat nilai hukum rendah yang bisa di kuasai juga oleh kewenangan yang semena-mena (Isgiyata, 2018).
How: Kerangka Teori “Gone” Yang Dikemukakan Oleh Jack Bologna Dapat Dikatakan Berkaitan Dengan Korupsi di Indonesia
- Greedy (Keserakahan)
Indonesia merupakan salah satu produsen timah utama dunia. Timah merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Diketahui, sumber daya timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2021 sebesar 2.180.081,1701 ton dengan cadangan 1.971.101,13 ton. Sementara potensi bijih timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2021 mencapai 6.008.646.449,3485 ton, dengan cadangan bijih timah 6.126.513.015,5239 ton (Aryanto, 2024). Namun, tingginya permintaan timah di pasar global membuka peluang bagi praktik-praktik penambangan yang melanggar aturan, termasuk keberadaan tambang ilegal di wilayah Kepulauan Bangka Belitung. Baru-baru ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan kasus megakorupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha PT Timah Tbk. di Bangka Belitung pada periode 2015-2022. Dalam kasus ini, telah ditetapkan 20 tersangka, termasuk tokoh-tokoh seperti Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, mantan Direktur Utama PT Timah Tbk., wanita yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) yaitu Helena Lim, seorang pengusaha terkenal, dan suami aktris tanah air Sandra Dewi yaitu Harvey Moeis (Gultom, 2024).
Tersangka lainnya dalam kasus ini melibatkan sejumlah pihak dari sektor swasta, di antaranya Emil Emindra (EE), yang menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Timah Tbk pada 2018, dan Alwin Albar (ALW), Direktur Operasional PT Timah Tbk periode 2018-2021. Selain itu, terdapat Suwito Gunawan (SG), Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), dan MB Gunawan (MBG), Direktur PT SIP. Hasan Tjhie (HT), Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa (VIP), serta Kwang Yung alias Buyung (BY), mantan komisaris CV VIP, juga termasuk dalam daftar tersangka. Selain itu, Robert Indarto (RI), Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tamron alias Aon (TN), pemilik manfaat CV VIP, serta Achmad Albani (AA), manajer operasional CV VIP. Dari PT Rafined Bangka Tin (RBT), tersangka meliputi Direktur Utama Suparta (SP) dan Direktur Pengembangan Reza Andriansyah (RA). Rosalina (RL), General Manager PT Tinindo Inter Nusa (TIN), serta Toni Tamsil (TT), yang merupakan tersangka pertama dalam kasus ini sejak Januari 2024 (Bambang Noroyono, 2024).
Dapat diketahui, orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut merupakan kalangan atas yang telah memiliki jabatan tinggi dan penghasilan yang besar. Faktor ini muncul dari sifat manusia yang selalu merasa kurang, bahkan ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi dan kehidupan materi nya yang dipandang cukup. Hal ini bukan didasari karena korupsi yang didorong oleh keserakahan oleh kebutuhan mendesak, melainkan disertai ambisi yang tidak terukur, Dimana seseorang akan terus berupaya untuk menambah aset atau kekayaan tanpa memedulikan batasan hukum atau etika. Orang dengan sifat seperti ini disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD), atau Gangguan Kepribadian Narsistik, yang menunjukkan orang tersebut tidak akan merasa puas meskipun telah memiliki jabatan tinggi atau penghasilan yang besar. Mereka kerap menginginkan lebih tinggi lagi untuk memenuhi ego pribadi atau membangun citra sosial yang lebih bermartabat dengan jalur-jalur yang tidak rasional.
- Opportunity (Kesempatan)
Korupsi tidak akan terjadi tanpa adanya kesempatan. Dalam kasus ini, peluang korupsi muncul dari kelemahan dalam sistem regulasi dan pengawasan pertambangan. Modus operandi dalam kasus ini melibatkan manipulasi izin usaha pertambangan (IUP) yang diduga melakukan penggunaan dokumen ilegal untuk mengelola operasi tambang (Sukma, 2024). Aksi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam proses verifikasi dan pemberian IUP, dengan melalui suap, dokumen palsu, atau kerja sama dengan pihak yang memiliki otoritas. Manipulasi izin usaha pertambangan (IUP) bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal ini terjadi karena kurangnya transparansi dan pengawasan yang memadai dari pihak berwenang, sehingga memungkinkan operasi ilegal berlangsung. Bukan kurun waktu yang sebentar, korupsi pertambangan illegal ini berlangsung selama bertahun-tahun (2015–2022). Hal tersebut bukti nyata bahwa praktik korupsi ini dapat bertahan selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi menunjukkan bahwa pelaku merasa cukup aman untuk melakukan tindakan melanggar hukum.
Mereka beroperasi dengan perlindungan dan keyakinan bahwa risiko untuk ketahuan sangat kecil, dan memandang hukum sebagai hal dapat dihindari. Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah lemahnya penegakan hukum, di mana pejabat atau pihak berwenang yang terlibat seringkali memiliki jabatan atau status sosial yang tinggi. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksetaraan dalam pemberian sanksi hukum, karena pelaku korupsi dengan status atau jabatan yang tinggi seringkali tidak menghadapi hukuman yang setimpal dengan tindakan yang mereka lakukan. Sebaliknya, mereka mungkin menerima perlakuan khusus atau bahkan pembebasan dari proses hukum, yang semakin memperparah kelemahan sistem hukum di Indonesia.
- Need (Kebutuhan)
(Need) atau kebutuhan menggambarkan sikap mental yang tidak pernah puas, dilandasi pola pikir konsumtif dan keinginan yang terus menerus bertambah. Setiap pencapaian atau pemenuhan keinginan hanya memicu pencarian berikutnya yang lebih besar, khususnya ketika seseorang menghadapi tekanan ekonomi atau tuntutan sosial yang mendesak dan tidak dapat dipenuhi dengan cara yang legal. Pada kasus pertambangan ilegal timah, pelaku didorong oleh kebutuhan finansial untuk memperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara ilegal. Sikap ini mencerminkan pola pikir konsumtif dan ambisi tanpa batas, di mana keuntungan yang telah diperoleh tidak pernah dianggap cukup. Penjualan timah ilegal menjadi cara cepat untuk mencapai tujuan tersebut, meskipun melanggar hukum.
Demikian pula pada kasus Harvey Mois, kebutuhan finansialnya tidak hanya untuk memenuhi gaya hidup mewah tetapi juga untuk mempertahankan status sosial. Selain itu, tuntutan sosial seperti memenuhi ekspektasi keluarga atau mendukung kegiatan politik turut menjadi alasan utama pencarian dana besar melalui jalur yang tidak sah. Kebutuhan semacam ini mencerminkan sikap mental yang tidak hanya konsumtif tetapi juga oportunis, dengan mengabaikan dampak hukum dan moralitas dari tindakan yang dilakukan.
- Exposes (Hukuman yang rendah)
Exposure dalam teori GONE merujuk pada rendahnya risiko penegakan hukuman atau pengawasan yang lemah, sehingga sering sekali menjadi faktor utama dalam mendorong tindakan ilegal, termasuk korupsi. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi sering kali tidak setara dengan besarnya kerugian yang diakibatkan, baik terhadap ekonomi negara, masyarakat, maupun lingkungan. Pada kasus Harvey Mois, potensi keuntungan dari eksploitasi tambang ilegal jauh lebih besar dibandingkan risiko hukuman yang mungkin dihadapi. Selain itu, sistem pengawasan terhadap aktivitas tambang ilegal sering kali tidak efektif yang memicu peluang besar bagi pelaku untuk memanipulasi perizinan atau menggunakan dokumen palsu tanpa deteksi. Lemahnya penegakan hukum menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh pelaku. Contohnya, dalam kasus Harvey Mois, eksploitasi tambang dapat berjalan terus meskipun menggunakan metode ilegal, karena kontrol dari pihak berwenang tidak memadai atau bahkan melibatkan oknum yang bekerja sama dengan pelaku.
Pertambangan ilegal bukan hanya merugikan negara dalam hal kerugian finansial, kerusakan lingkungan, sosial dan ekonomi, tetapi juga mengancam keberlanjutan industri dan ekosistem diwilayah itu sendiri. Oleh karena itu, kejahatan ini harus dilawan dengan penguatan hukum yang lebih tegas dan pengawasan yang lebih ketat untuk penanganannya, yang tidak hanya dilakukan secara konvensional, melainkan membutuhkan pendekatan holistik yang luar biasa.
Dalam kasus ini, pemerintah diharapkan mampu memperkuat penegakan hukum dan diusut tuntas hingga pemberian hukum yang adil dan tegas sesuai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP (Bambang Noroyono, 2024). Sangat penting juga untuk memberikan edukasi mengenai dampak negatif tambang ilegal terhadap lingkungan dan kesehatan kepada masyarakat, agar masyarakat lokal tidak terjerat dalam praktik pertambangan illegal sebagai antisipasi hal seperti ini tidak terjadi lebih buruk kedepannya.
Selain itu, dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sektor pertambangan, pemanfaatan teknologi digital seperti blockchain menjadi solusi yang inovatif dan efektif. Blockchain adalah sistem pencatatan data yang terdesentralisasi, di mana setiap transaksi atau perubahan data disimpan dalam bentuk blok-blok yang saling terhubung dan tidak dapat diubah tanpa persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Teknologi ini dapat memberikan manfaat signifikan dalam pengawasan pengelolaan tambang. PP No 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko memperkenalkan pendekatan baru dalam sistem perizinan yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha, yakni risiko menengah rendah, risiko menengah tinggi, dan perizinan penunjang (Rizkinaswara, 2021).
Dalam konteks ini, teknologi seperti blockchain dapat menjadi alat strategis untuk mendukung implementasi kebijakan ini, terutama dalam memperkuat transparansi dan efisiensi proses perizinan sebagai strategi mencegah terjadinya hal serupa. Selain untuk melacak izin, teknologi blockchain juga dapat dimanfaatkan dalam pemantauan hasil produksi tambang. Setiap langkah dalam proses produksi, mulai dari eksplorasi, ekstraksi, hingga distribusi, dapat direkam secara digital. Dengan cara ini, setiap transaksi atau perpindahan material tambang dapat diawasi dan diaudit dengan mudah. Hal ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyelundupan atau laporan yang tidak akurat mengenai jumlah produksi.
Secara keseluruhan, teori "GONE" membantu menjelaskan bagaimana kombinasi keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan lemahnya hukuman menjadi faktor kunci yang mendorong korupsi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang holistik, termasuk reformasi sistem regulasi, peningkatan pengawasan, penegakan hukum yang lebih tegas, dan kampanye kesadaran antikorupsi yang melibatkan masyarakat luas. Langkah-langkah ini tidak hanya akan mengurangi tingkat korupsi tetapi juga memperkuat integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara.
DAFTAR PUSTAKA
Aryanto, R. (2024, Januari 24). Timah Bangka Belitung Yang Mendunia. Retrieved from Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu: https://dpmptsp.babelprov.go.id/content/timah-bangka-belitung-yang-mendunia
Bambang Noroyono, J. S. (2024, April 03). Ini Daftar Harta Ratusan MIliar yang Disita dari Kasus Suami Sandra Dewi. Retrieved from REPUBLIKA.CO.ID: https://news.republika.co.id/berita/sbd6gd318/ini-daftar-harta-ratusan-miliar-yang-disita-dari-kasus-suami-sandra-dewi
Gultom, M. N. (2024). Salah Kaprah Korupsi 271 Triliun: Kerugian Negara atau Kerugian Lingkungan? Retrieved from LK2 FHUI: https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/salah-kaprah-korupsi-271-triliun-kerugian-negara-atau-kerugian-lingkungan/
Isgiyata, I. B. (2018). Studi Tentang Teori Gone dan Pengaruhnya Terhadap Fraud Dengan Idealisme Pimpinan Sebagai Variabel Moderasi: Studi Pada Pengadaan Barang/Jasa di Pemerintahan. Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis Vol. 5(1), 2018, pp 31-42, 33.
Latifah, M. (2024, Maret 31). PENANGANAN KASUS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TATA NIAGA KOMODITAS TIMAH. Retrieved from berkas.dpr.go.id: https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan---IV-PUSLIT-Maret-2024-222.pdf
Rizkinaswara, L. (2021, Agustus 09). Regulasi akan Lindungi Konsumen dalam Pemanfaatan Blockchain. Retrieved from Ditjen Aptika : https://aptika.kominfo.go.id/2021/08/regulasi-akan-lindungi-konsumen-dalam-pemanfaatan-blockchain/
Sabrina, F. M. (2021, September 09). Cegah Korupsi, Terapkan Nilai Kementerian Keuangan : Integritas. Retrieved from Direktorat Jenderal Kekayaan Negara : https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-jakarta1/baca-artikel/14475/Cegah-Korupsi-Terapkan-Nilai-Kementerian-Keuangan-Integritas.html
Sukma, A. M. (2024, Januari 17). Kejagung Temukan 3 Modus Kasus Dugaan Megakorupsi PT Timah (TINS). Retrieved from KABAR24: https://kabar24.bisnis.com/read/20240117/16/1733063/kejagung-temukan-3-modus-kasus-dugaan-megakorupsi-pt-timah-tins
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H