Melihat Jakarta sekarang, rasanya sudah padat banget, ya. Pembangunan dimana-mana, peningkatan populasi, macet, hingga pemukiman yang padat penduduk.
Namun, pernah kebayang, nggak sih, bagaimana suasana pemukiman, situasi dan kondisi Jakarta jaman dulu?
Yuk, kita bahas!
Tahu, nggak sih guys kalau sebelum menyandang nama Jakarta, kota ini pernah mengalami beberapa kali pergantian nama, seperti Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga berubah menjadi nama yang sekarang kita kenal, yaitu Jakarta.
Pada awal abad 20, populasi kota Batavia mencapai 115.000 penduduk. Pada tahun 1911 diperkirakan sekitar 40% penduduk Batavia adalah migran. Populasi tersebut kemudian berkembang dengan pesat pada tahun 1900 hingga 1930, hingga mencapai sekitar 435.000 dengan angka pertumbuhan penduduk mencapai 9% per tahun. Pada tahun 1935, jumlah populasi di Batavia melebihi 500.000 penduduk.
Biasanya, kawasan pusat ditempati pemerintah kolonial. Untuk pusat perdagangan ditempati orang-orang Cina dan Timur Asing lain seperti Arab dan India, sementara pribumi menempati kawasan pinggiran yang sering menerima pendatang atau imigran. Rame banget ya, penduduknya.
Batavia awal abad 20 dapat dilihat dari 3 bagian. Pertama, bagian utara yang merupakan Batavia lama, dijadikan pusat perdagangan. Kedua, bagian tengah meliputi Noordwijk, Rijswijk, Pasar Baru, kampung Sawah Besar, Pasar Senen, Gambir, Tanah Abang dan Melayu. Biasanya, daerah-daerah ini digunakan untuk pembangunan kantor, hotel, dan tempat hiburan. Ketiga, bagian selatan yang dimulai dari batas utara Koningsplein (pemukiman Weltevreden). Kelompok yang berbeda akan tinggal di daerah yang terpisah.
Kita bahas satu-satu, ya, mulai dari kelompok Eropa.
Pada tahun 1905, jumlah kelompok Eropa di Batavia mencapai 13.805 jiwa. Orang-orang Eropa seperti tentara, pejabat VOC, beserta keluarganya biasa tinggal di pemukiman Weltevreden. Mereka cenderung menempati bagian tanah yang relatif besar, lokasi yang lebih tinggi, akomodasi yang luas, serta akses yang mudah. Makin dekat dengan pusat makin baik, tapi ada juga yang memilih tinggal di luar kota, pokoknya senyaman mereka aja, deh. Lokasi pemukiman orang Eropa di distrik Weltevreden seperti Gondangdia, Kebayoran, Menteng, sepanjang tembok kota, sementara yang memilih di luar kota biasanya dapat dijumpai di Poort Rotterdam, Nieuwpoort, Utrechtse Poort, dan tepi jalan yang mengarah keluar kota. Sedangkan keturunan Indo-Eropa banyak yang bertempat tinggal di Kemayoran.
Sejak tahun 1905 dilakukan usaha perbaikan kampung oleh pemerintahan kotapraja dimana sebagian tanah yang baru dibeli akan dialokasikan untuk daerah pemukiman. Untuk masyarakat kelas atas seperti orang-orang Eropa, akan dibangun pemukiman di daerah selatan Weltevreden, yaitu Menteng. Daerah Menteng berdiri di antara kanal pembangunan air dan kanal banjir di sebelah selatan. Pemukiman ini dihuni oleh orang-orang Eropa dengan arsitektur yang lebih baru dari abad 19. Pada tahun 1908, sebuah perusahaan Real Estate De Bouwploeg membeli tanah Menteng seluas 295 Rijnlandsche dan bermaksud untuk digunakan sebagai daerah pemukiman bagi masyarakat golongan atas, yang semakin banyak berkedudukan di Batavia dan mencari rumah-rumah yang sesuai dengan kemampuan finansial mereka (Marsitawati, 2007: 79). Semakin banyak permintaan menyebabkan permukiman Menteng menjadi padat dan dilakukan perluasan ke daerah selatan. Alhasil, daerah Menteng menjadi kawasan pemukiman yang banyak mengalami perkembangan di awal abad 20, lho!
Terus, kalau pribumi, min, bisa nggak tinggal di kawasan Eropa?
Orang pribumi bisa-bisa saja tinggal di kawasan Eropa karena beberapa faktor; pertama, ia merupakan bawahan orang Eropa; kedua, ia memiliki keuangan serta peran yang memungkinkan. Jadi yang bisa tinggal disini hanya 'orang-orang penting' yang memiliki tujuan melayani kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Sementara pribumi yang tidak berkepentingan menempati sebagian kecil wilayah perkotaan serta berada di wilayah pinggiran seperti Kemayoran, Tanah Tinggi, Menteng Dalam, dan Tanah Abang. Selain menempati wilayah pinggiran, mereka juga tinggal di pemukiman yang tidak layak. Apalagi setelah diberlakukannya kebijakan perluasan dan pengembangan kota, kotapraja membeli tanah yang sebelumnya berdiri kampung-kampung untuk mendirikan bangunan-bangunan baru. Alhasil, mereka digusur dan harus mencari tempat lain untuk bermukim, seperti di sepanjang rel kereta atau di pinggir sungai.
Bagaimana dengan komunitas Tionghoa, min?
Pemukiman Tionghoa berdiri dalam luas wilayah yang tidak terlalu besar. Komunitas ini tersebar di beberapa daerah seperti Glodok, Penjaringan, Mangga Besar, Tanah Abang, Pasar Baru dan Pasar Senen. Tapi yang lebih dominan itu di Glodok, bahkan daerah tersebut sampai mendapat julukan kawasan pecinan atau daerah orang Tionghoa.
Bukannya sejak tragedi pembantaian Tionghoa 1740, pemerintah menerapkan dua sistem yang disebut passenstelsel dan wijkenstelsel? Apakah kebijakan itu berdampak hingga abad 20?
Memang benar jika kebijakan yang mengekang dan membatasi masyarakat Tionghoa itu pernah diberlakukan. Tapi pada tahun 1919, pemerintah menghapus sistem tersebut sehingga masyarakat Tionghoa bisa memilih tinggal di luar perkampungan yang sudah ditentukan dan lebih leluasa berinteraksi dengan masyarakat dari etnis lain.
Pada tahun 1905, jumlah komunitas Tionghoa di Batavia mencapai 28.150 jiwa. Biasanya, laki-laki Tionghoa yang memilih menetap memutuskan untuk menikah dengan wanita pribumi karena memang jarang banget ada imigran wanita dari etnis Tionghoa. Kalau ada yang tidak asing dengan ungkapan 'orang Tionghoa itu suka berbisnis', maka itu bener banget. Mereka membangun banyak usaha mulai dari kedai minum, hotel murah, dan toko-toko kecil. Meskipun kalau lewat sana kita akan menemukan jalan sempit dan berliku, harus diakui tempat ini rame banget. Tapi, meskipun rame kawasan ini juga tidak semenyenangkan itu. Dalam buku Batavia Awal Abad 20 menjelaskan bahwa Glodok merupakan area dengan bangunan-bangunan suram, tempat menginap para pekerja paksa. Bangunan terdiri dari penjara-penjara untuk menampung para pekerja paksa. Ada pula klinik kota yang terlihat seperti rumah sakit untuk pribumi dengan alat-alat yang terbatas dan terkesan primitif. Glodok adalah tempat para penjahat dan orang sakit non-Eropa dengan tangan terbuka diterima sebagai tamu. Sementara di samping pasar senen, ada jembatan yang memisahkan rumah-rumah orang Tionghoa dengan gudang pakaian dan kantor yang suram (Brousson, 2017: 76).
Nah, komunitas Tionghoa sudah, sekarang lanjut ke komunitas Arab.
Masih sama dengan kelompok masyarakat lain, komunitas Arab juga ditempatkan di pemukiman tersendiri. Tapi, ada alasan khusus nih, guys kenapa pemerintah Hindia Belanda memisahkan pemukiman antara kelompok keturunan Arab dengan kelompok pribumi, karena kolonial khawatir apabila komunitas Arab tersebut memberikan pengaruh yang negatif kepada penduduk lokal muslim. Dengan mengatur pemukiman, mereka dapat lebih leluasa mengontrol segala bentuk perilaku masyarakat Arab melalui spionase Kapitein Arab. Jadi, Kapitein Arab itu tugasnya tidak hanya mengatur daerah pemerintahan dan memungut pajak, lho.
Pada tahun 1905, jumlah komunitas Arab di Batavia mencapai 2.772 jiwa. Untuk lokasi pemukimannya, komunitas Arab ditempatkan di beberapa kawasan seperti Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Struktur perkampungan Arab secara umum terdiri dari masjid, kuburan kediaman penghulu Arab, kediaman kepala atau Lurah Arab, dan kediaman lainnya.
Tahu, nggak guys kalau perayaan umat muslim jaman dulu itu nggak kalah ramai? Perayaan besar keagamaan menarik massa dalam jumlah besar. Hari raya Islam seperti lebaran, Isra Mi'raj dan Maulid menarik perhatian ribuan orang untuk ke masjid-masjid besar, apalagi kalau ada penceramah favorit, wah, pasti rame banget!
Wah, menarik, ya Min. Tapi, kok pisah-pisah, sih Min? Harus banget, ya?
Nah, jawaban untuk pertanyaan ini ya tergantung Belanda. Maksudnya, segala kebijakan yang diterapkan di Batavia harus berdasarkan kemauan dan pertimbangan pemerintah Hindia Belanda. Melalui VOC, mereka membangun Batavia sesuai tujuan dan kebutuhan mereka, yakni sebagai kawasan pusat kota, kawasan permukiman, kawasan niaga, dan kawasan militernya. Batavia menjadi kota yang memiliki kanal, dikelilingi oleh tembok kota, lengkap dengan bastion.
Kawasan pemukiman yang tersekat-sekat menggambarkan gagasan hierarki pemerintah dimana hal ini mengacu pada perbedaan perlakuan yang diberikan oleh kelompok yang mendominasi. Selain itu, perbedaan pemukiman dapat mendorong munculnya stratifikasi sosial yang berdasarkan ras dan keagamaan. Kanal-kanal yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada dasarnya merupakan pemisah antara kaum bangsawan Eropa, orang-orang Tionghoa, Arab, dan pemukiman pribumi. Pemisahan dikodifikasikan oleh bentuk Batavia sendiri dimana rencana kota memisahkan penduduk dengan kanal dan tembok kota. Pemisahan itu tampaknya juga meluas ke masalah ketimpangan pengadaan fasilitas perumahan yang tidak didistribusikan secara merata.
Keberhasilan pemerintah mengelompokkan etnis berdasarkan pemukimannya dapat dilihat hingga sekarang lewat nama-nama kampung seperti Kampung Ambon, Pecinan, Kampung Bugis, dan lain sebagainya. Ini sudah menjadi ciri khas pemerintah Hindia Belanda, mereka membuat transisi pemukiman Eropa dan pribumi dengan memasukkan etnis Arab, Tionghoa, dan etnis lain ke dalam sistem tata ruang pemukiman kota.
Nah, udah kebayang belum bagaimana pemukiman Batavia abad 20?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H