Mohon tunggu...
Gina Sonia
Gina Sonia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah

A history enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Kembali Jakarta Abad 20

4 Agustus 2023   07:54 Diperbarui: 4 Agustus 2023   09:54 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus, kalau pribumi, min, bisa nggak tinggal di kawasan Eropa?

Orang pribumi bisa-bisa saja tinggal di kawasan Eropa karena beberapa faktor; pertama, ia merupakan bawahan orang Eropa; kedua, ia memiliki keuangan serta peran yang memungkinkan. Jadi yang bisa tinggal disini hanya 'orang-orang penting' yang memiliki tujuan melayani kepentingan pemerintah Hindia Belanda.

Sementara pribumi yang tidak berkepentingan menempati sebagian kecil wilayah perkotaan serta berada di wilayah pinggiran seperti Kemayoran, Tanah Tinggi, Menteng Dalam, dan Tanah Abang. Selain menempati wilayah pinggiran, mereka juga tinggal di pemukiman yang tidak layak. Apalagi setelah diberlakukannya kebijakan perluasan dan pengembangan kota, kotapraja membeli tanah yang sebelumnya berdiri kampung-kampung untuk mendirikan bangunan-bangunan baru. Alhasil, mereka digusur dan harus mencari tempat lain untuk bermukim, seperti di sepanjang rel kereta atau di pinggir sungai.

Bagaimana dengan komunitas Tionghoa, min?

Pemukiman Tionghoa berdiri dalam luas wilayah yang tidak terlalu besar. Komunitas ini tersebar di beberapa daerah seperti Glodok, Penjaringan, Mangga Besar, Tanah Abang, Pasar Baru dan Pasar Senen. Tapi yang lebih dominan itu di Glodok, bahkan daerah tersebut sampai mendapat julukan kawasan pecinan atau daerah orang Tionghoa.

Bukannya sejak tragedi pembantaian Tionghoa 1740, pemerintah menerapkan dua sistem yang disebut passenstelsel dan wijkenstelsel? Apakah kebijakan itu berdampak hingga abad 20?

Memang benar jika kebijakan yang mengekang dan membatasi masyarakat Tionghoa itu pernah diberlakukan. Tapi pada tahun 1919, pemerintah menghapus sistem tersebut sehingga masyarakat Tionghoa bisa memilih tinggal di luar perkampungan yang sudah ditentukan dan lebih leluasa berinteraksi dengan masyarakat dari etnis lain.

Pada tahun 1905, jumlah komunitas Tionghoa di Batavia mencapai 28.150 jiwa. Biasanya, laki-laki Tionghoa yang memilih menetap memutuskan untuk menikah dengan wanita pribumi karena memang jarang banget ada imigran wanita dari etnis Tionghoa. Kalau ada yang tidak asing dengan ungkapan 'orang Tionghoa itu suka berbisnis', maka itu bener banget. Mereka membangun banyak usaha mulai dari kedai minum, hotel murah, dan toko-toko kecil. Meskipun kalau lewat sana kita akan menemukan jalan sempit dan berliku, harus diakui tempat ini rame banget. Tapi, meskipun rame kawasan ini juga tidak semenyenangkan itu. Dalam buku Batavia Awal Abad 20 menjelaskan bahwa Glodok merupakan area dengan bangunan-bangunan suram, tempat menginap para pekerja paksa. Bangunan terdiri dari penjara-penjara untuk menampung para pekerja paksa. Ada pula klinik kota yang terlihat seperti rumah sakit untuk pribumi dengan alat-alat yang terbatas dan terkesan primitif. Glodok adalah tempat para penjahat dan orang sakit non-Eropa dengan tangan terbuka diterima sebagai tamu. Sementara di samping pasar senen, ada jembatan yang memisahkan rumah-rumah orang Tionghoa dengan gudang pakaian dan kantor yang suram (Brousson, 2017: 76).

Nah, komunitas Tionghoa sudah, sekarang lanjut ke komunitas Arab.

Masih sama dengan kelompok masyarakat lain, komunitas Arab juga ditempatkan di pemukiman tersendiri. Tapi, ada alasan khusus nih, guys kenapa pemerintah Hindia Belanda memisahkan pemukiman antara kelompok keturunan Arab dengan kelompok pribumi, karena kolonial khawatir apabila komunitas Arab tersebut memberikan pengaruh yang negatif kepada penduduk lokal muslim. Dengan mengatur pemukiman, mereka dapat lebih leluasa mengontrol segala bentuk perilaku masyarakat Arab melalui spionase Kapitein Arab. Jadi, Kapitein Arab itu tugasnya tidak hanya mengatur daerah pemerintahan dan memungut pajak, lho.

Pada tahun 1905, jumlah komunitas Arab di Batavia mencapai 2.772 jiwa. Untuk lokasi pemukimannya, komunitas Arab ditempatkan di beberapa kawasan seperti Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Struktur perkampungan Arab secara umum terdiri dari masjid, kuburan kediaman penghulu Arab, kediaman kepala atau Lurah Arab, dan kediaman lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun