Mohon tunggu...
Gina Aprilliana Darmawan
Gina Aprilliana Darmawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Ini aku, riskan yang diam-diam merasuk sampai akar-akarmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Cerita Menjelang Fajar

22 September 2022   11:43 Diperbarui: 22 September 2022   11:58 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah sejak lama kami adalah kawan. Mungkin tidak wajar ketika laki-laki dan perempuan berkawan cukup dekat dengan jangka waktu yang lama. Menurutku, tak ada alasan untuk jatuh cinta pada teman sendiri. Dia cukup popular di kalangan kaum hawa, tubuhnya cukup tinggi dan punya materi.

Azka, dia sangat baik padaku. Ketika aku membutuhkannya, dia selalu menjadi yang terdepan menyiapkan telinga, otak dan mulut untuk untuk menjelaskan hal yang masuk akal dan yang tidak.. Di awal pekuliahan dia mulai aktif di bidang organisasi, namun juga di bidang akademik. 

Aku beberapa kali main kos-annya besama beberapa teman sekelasku untuk membuat tugas kelompok, yah sudah tak diragukan lagi kos-nya temasuk salah satu kos-an mahal di sekitaran kampus. Kamarnya bersih, bedcover hitam-putih, tv, computer, dan beberapa sepatu branded bejajar di rak sepatu samping kamar mandi. Sejak saat itu, aku dan Azka menjadi dekat. 

Kami pergi mencari gorengan di Pasar Kuliner, aku, Syafa dan Azka dengan bebonceng tiga di atas motor sportnya yang serba hitam. Sya duduk di tengah, karna aku dan Azka belum telalu dekat namun nyatanya di sepanjang pejalanan hanya Azka dan aku yang mengoceh. Kami beda pemikiran, dia orang yang terlalu bebas sedang aku orang yang membatasi segala sesuatu.

Dan setelah itu, kami menjadi dekat dengan makan siang bersama, membahas teori, sastra serta sejarah yang amat memusingkan. Maklum, dia mengambil bidang organisasi yang menyangkut kebudayaan dan filsafat. 

Bahkan, saat aku mulai dekat dengan seorang laki-laki aku meminta sarannya saat itu yang aku tahu ia tengah dekat dengan kakak tingkat yang amat popular di fakultas. Dia berusaha untuk mengajakku begabung di salah satu organisasi kampus, tapi aku tetap menolak.

Di semester tiga, Azka tejebak di pergaulannya dan meninggalkan kehidupan nyamannya. Dia sering tinggal di Sekrtariat Kampus, jarang mengikuti kelas, rambutnya berantakan, gayanya lusuh, setiap malam mabuk-mabukan, sangat berbeda dengan Azka yang biasa aku lihat. Pakaian sampai sepatunya pun sering aku lihat dipakai oleh beberapa anggota organisasnya.

Tiba di suatu malam, kami sekelas menginap di bibir pantai. Aku dan Azka duduk di atas pasir, di samping api unggun dengan angin malam dan mendengarkan deburan ombak. Aku jelas tak terlalu ingat apa yang ia ceritakan waktu itu yang jelas dia punya teman baik seperti aku sebelumnya, dan aku menceritakan hubunganku dengan Rayen.

Ia menuliskan puisi untuk Puan yang dibelai rindu, pastinya itu untuk seorang gadis yang dekat dengannya. Azka sangat jarang ke Kampus, waktunya habis dengan organisasi namun aku dan Azka tetap menjaga ikatan baik itu. Azka tak pernah mau pacaran, setahuku ia selalu mengidolakan kata-kata ini perasaanmu adalah perasaanmu, dan perasaanku padamu biarlah menjadi urusanku.

Di bulan September aku dan Rayen putus karena Rayen selingkuh dengan adik mentornya. Rayen menjadi ketua ospek di kampusnya. Dan ternyata ia tak mampu mengontrol keinginannya ketika melihat gadis yang jauh lebih baik dariku. Memang sedari bulan Juli lalu hubungan kami sudah agak renggang, karena aku yang sering marah-marah karena ia tak pernah punya waktu untukku. 

Sebelumnya aku masih mencoba menahan amarahku ketika kudapati chatigan Rayen bersama adik mentornya yang agak mesra. Seminggu kemudian Rayen berterus terang selama ini ia kemana, selama ia tak punya kabar saat sudah keluar rumah.

Setiap hari ia dan adik-adik mentornya yang semuanya perempuan sering nongkrong di kos-kosan salah satu anggota mentornya, dan pulang sampai larut lalu mengantar pulang gadis yang telah berhasil menarik perhatiannya itu. Lalu, aku menampar Rayen dan esoknya aku mabuk-mabukan dengan Putri dan teman-teman SMA-ku. 

Aku menangis sampai subuh, paginya aku memutuskan Rayen. Dan setelah itu aku bahkan masih mengemis untuk mencoba mempertahankan, Tapi, Rayen tetap memilih pergi. Bodoh bukan? Setiap malam aku menangis, ia adalah cinta pertamaku dan hubungan kami sudah berjalan dua tahun.

Hampir setiap malam Azka menemaniku menangis. Dia mengajaku bersenang-senang kemanapun yang aku mau.

"Na, sudah mendingan? Jangan ingat-ingat lagi yah sekarang kamu harus lebih banyak tertawa"

Aku merasa lebih baik ketika Azka membawaku jalan-jalan.

Aku dekat dengan dua laki-laki, yang pertama adalah Richard anak dari seni musik yang adalah teman sementorku sewaktu ospek. Wajahnya setengah bule, kulitnya putih, dan tentunya sangat pandai             memainkan hampir seluruh alat musik. 

Yang kedua, Alanta dia adalah ketua himaju di jurusanku. Alanta punya dua lesung pipit, dia hitam manis, cerdas dan yang kutahu ia cukup digilai kaum hawa. Aku tak jujur pada Azka, Azka hanya tahu aku dekat dengan Richard karena Azka juga aktif di lembaga jurusan.

Aku sibuk mengurus kegiatan di kampus, setelah putus dari Rayen aku aktif di HIMAJU dan perlahan melupakan Rayen.

Setelah rapat banyak kakak tingkat yang ingin lebih dekat denganku, dan kami menjadi akrab

"Na, ini jawab jujur yah?" kata ka Mawar dan aku hanya mengangguk dengan wajah kebingungan

"Kamu pacarana yah sama Azka?" sambar ka Rehan, jelas aku hanya tertawa

"Tidak kok ka, hubungan kami tidak sejauh itu kita hanya dekat sebagai teman saja" kataku

"Kamu tahu tidak tiap kita kumpul kamu selalu saja dibahas Azka padahal tak ada sangkut pautnya denganmu" jelas ka Rehan

"Dan satu lagi, dia selalu repost snapgram kamu tapi tidak pernah repost kalau snapgram kita. Aneh kan?" Sambung ka Via

Aku terdiam, kenapa Azka bersikap seperti itu. Memang Rayen sering mengatakan bahwa Azka mempunyai perasaan lebih untukku tapi aku tak percaya, aku hanya beranggapan bahwa Rayen tak suka aku berteman dengan Azka. Tapi setelah mendengarnya dari sudut pandang lain aku mulai khawatir, aku takut jika benar Azka menyukaiku.

"Na, ayo cepat keburu gelap" panggil Azka dari depan pintu kelas. Setelah rapat Azka menungguku diluar sembari menyebat dan mengobrol dengan beberapa teman seangkatan

"Aku duluan ya" pamitku

Aku mengikuti langkah Azka dan memperhatikannya dari belakang, aku takut menyakiti perasaan Azka. Selama perjalanan, Azka selalu mengingatkan bahwa sudah waktunya aku menerima orang lain tapi aku masih nyaman dengan posisiku saat ini.

Esoknya aku menjauhi Azka, aku tak mau pertemanan kami rusak karena hal perasaan. Aku ingin menstabilkan keadaan. Selepas kuliah aku hanya ke Sekretariatan dan menghabiskan waktu bersama mereka dan pulang sebelum Azka datang.

Dan itu berjalan selama seminggu, dan selama seminggu itu aku semakin dekat dengan Alanta. Richard menghilang setelah beberapa kali meihat aku bersama Alanta, sialnya kami satu fakultas. Tapi Azka masih tak mengetahui kedekatan kami.

Mendekati hari kegiatan Azka mengajakku makan siang di kantin belakang kempus.

"Azka, aku sudah memutuskan bahwa aku akan menerima seseorang"

"Sungguh?" tanyanya penuh semangat

"Azka, aku dekat seseorang dan ia cukup baik"

"Aku kenal?" tanyanya

"Iya, kamu kenal. Kamu tak akan percaya, karena aku pernah menyukainya sewaktu semester satu"

"Siapa?"

"Tunggu saja, aku pasti cerita tapi ini belum watunya"

Azka sangat tahu aku, ia tak akan pernah memaksa sampai aku sendiri mengatakannya.

"Begini yah Na, jangan terlalu cepat mengambil keputusan karena kamu belum mengenalnya dengan baik"

"Dia baik kok"

"Itu kan tampak luarnya saja, kamu siap patah hati lagi? Capek tahu dengerin kamu nangis"

"Enggak, ini keputusanku aku akan bertanggungjawab sendiri"

Besoknya, Alanta mengajakku berpacaran, ia sangat manis, bertanggungjawab, cerdas dan kuanggap dia adalah sebuah paket komplit

Semua anggota organisasi tahu, kecuali Azka. Aku belum siap cerita ke Azka, karena Azka juga sibuk dengan organisasinya. Alanta mengantarkan aku pulang tapi tak sampai rumah, aku belum mengizikannya apa kata ayahku nanti. Azka mengirimiku pesan

Azka : Selamat ya, kunci kosku di atas pintu

            Azka benar-benar kecewa, aku lantas marah setalah Azka mengirimiku pesan seperti itu. Pasti teman-temanku sudah cerita pada Azka. Aku dan Azka semakin jauh, aku pun kesal karena pesan Azka di hari itu.

Hari kamis malam, saat hujan telah deras-derasanya sepupuku menelpon kalau Rayen berada di depan rumahku. Aku mengajaknya ke rumah tanteku, yang berada disamping rumahku. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat dan matanya bengkak.

Dia memohon padaku untuk kembali, tapi aku tak mau. Pasti sepupuku yang cerita kalau aku telah bersama Alanta. Aku tak mungkin meninggalkan Alanta, dia sangat polos dan baik sekali padaku, dan kesalahan Rayen belum bisa kumaafkan.

Rayen pulang dengan segala rasa penyesalannya, entah apa yang terjadi dengan hubungannya, namun Tuhan seadil itu karma cepat sekali berjalan. Aku menceritakannya pada Azka, ternyata aku dan Azka tak bisa memutuskan hubungan pertemanan kami.

Hubunganku dengan Alanta berlangsung manis, ia amat memperlakukanku istimewa, tak sedikit perempuan yang menengokku tajam saat di kampus bahkan saat kami jalan-jalan diluar kampus banyak kaum hawa yang memperhatikan Alanta, karena Alanta memang setampan itu.

Aku masih disibukkan dengan organisasi, aku sering menginap di kos ka Mawar karena rumahku cukup jauh dari kampus. Ka Mawar sangat baik padaku, pagi itu aku pamit pergi karena ada mata kuliah pagi aku berjalan sendiri ke Kampus, dan setelah sampai kampus aku lupa laptopku karena hari ini adalah jadwal presentasiku.

Azka mengantarkanku kembali ke kos-an ka Mawar pintunya terbuka kecil dan baru aku ingin membukanya lebih lebar aku melihat ka Mawar yang tengah berkecup mesra dengan seseorang yang tak asing untukku, Alanta. Sangat-sangat tak begitu kupercaya. Aku benar-banar lemah saat itu.

Azka yang tadinya diatas motor kini menghampiriku yang hampir jatuh. Azka tak bertanya apa-apa dan langsung mendorong pintu kos-an ka Mawar, aku dan Azka menyaksikan pemandangan itu dengan sangat jelas, kemesraan mereka berdua terhenti dan langsung menengok ke arah kami, dengan rasa takut atau mungkin malu. 

Azka terlihat sangat marah, matanya sangat tajam ia masuk dan langsung memukul Alanta, aku menangis menghentikan pukulan Azka. Aku mengambil laptopku lalu menarik Azka keluar.

Azka membawaku ke tempat rekreasi di tengah sawah disana cukup sunyi ada pagi hari, aku sudah tak mengingat presentasiku lagi rasa sakit ini adalah rasa sakit yang belum sempat pulih diwaktu lalu. Kenapa aku? Aku menangis sekencang-kencangnya, Azka hanya berdiri di sampingku dan sama sekali tak mau mengengok ke arahku. Aku malu pada Azka saat aku begitu membanggakan Alanta padanya, saat aku berkata aku akan bertanggungjawab dengan keputusanku.

Setelah sudah cukup tenang Azka membelikanku ice cream lalu mengajakku berfoto dengan keadaan mata yang bengkak. Setelah siang aku sama sekali tak mau makan, kita pergi ke sebuah caf yang tak jauh dari situ, Azka membelikanku kentang goreng dan segelas teh susu dingin.

Di semester akhir aku mengalami mental illness rasanya memang seperti orang tak waras aku bahkan melakukan konseling dengan psikolog dan psikiater, semua rasa perihku terakumulasi dan memuncak semenjak kepergian ayah. Sudah sebulan aku sama sekali tak keluar rumah, dan hari ini aku akan menceritakannya ke Azka. 

Di sebuah caf di tengah kota, sekitar pukul satu siang kami memesan dua lemon tea ice dan burger, perlahan aku menjelaskannya ke Azka, Azka mendengarkan dan dia sama sekali tak memberiku saran apa-apa.

"Yuk jalan-jalan" panggilnya

"Kemana?"

            "Ke salah satu tempat dimana ada kebebasan"

            Kami beranjak pergi dari caf itu. Kami memasuki sebuah kampung kecil dan banyak pepohonan dan tanaman sayuran motor Azka melaju kencang dan aku memeluk Azka sepanjang jalan. Langit mendung saat itu, kami tak banyak bercerita, duduk beralaskan rumput di sebuah bukit tinggi di pinggir kota, kami duduk berampingan diiringi lagu sayu.

Sangat tenang rasanya seperti ini, bahkan sepanjang perjalanan kami sudah bisa menikmati pemandangan desa yang asri aku bahkan tak ingat pulang. Aku bersandar dibahunya dan kami berdua membisu.

Sangat beda rasanya ketika ke tempat ini jika bersama orang lain, pasti hanya akan sibuk berselfiria. Hari itu sangat menenangkan untukku, bisa jauh dari bisingnya kota, menghirup udara segar dan tak memikirkan apapun.

            Kini setelah kelulusan sudah setahun aku dan Azka tidak bertemu karena Azka melanjutkan pendidikan master-nya di Jogja. Aku sibuk dengan pekerjaanku sebagai editor di salah satu perusahaan penerbit buku.

Di bulan April, tepat di hari ulang tahunku pada pukul 10 malam Azka pulang dan hanya mampir sebentar,  kami bercengkrama tak lama di pinggir jalan karena teman-temannya sudah menunggu, mereka segerombolan, ada yang di mobil dan ada beberapa yang di motor. Baru saja aku hendak berjalan pulang

"Anna!" Pria itu kembali dengan motor milik temannya, aku tersenyum dan ia langsung memelukku erat-erat

"Kenapa kamu tahu aku sangat ingin memelukmu" kataku sembari terharu melepas rindu

"Sebelum hari ulang tahunmu habis, aku akan membawamu ke suatu tempat"

Azka membawaku ke suatu bukit, ternyata teman-teman Azka sudah berada disana dan seentara menyiapkan tenda dan api unggun. Aku menyapa mereka dan tersenyum.

"Indah sekali, kenapa aku tak pernah tahu tempat ini" Aku sangat bahagia, apa yang aku kulihat saat ini benar-banar indah, lampu-lampu penduduk beradu terang dengan bintang-bintang.

"Terimakasih ya" Aku memeluk Azka

Kami menyaksikan pemandangan itu bersama, Azka merangkulku sedang aku bersandar dipundaknya. Ternyata, setelah hampir lima tahun menjadi sahabat, aku baru merasakan keberadaan Azka setelah jauh darinya.

Pada saat matahari mulai kembali, aku terbangun Azka memberikanku secangkir teh hangat. Kami duduk berdampingan menyaksikan matahari terbit, dan tanganku tak lepas dari genggamannya.

"Bukankah perasaanmu telah cukup untuk main-main? Menetaplah" bisik Azka, lalu aku menatapnya dalam dan kembali bersandar dibahunya

"Aku tak bisa berjanji untuk membahagiakanmu, tapi setahuku aku akan selalu berusaha untukmu" sambungnya sembari mendekapku

Aku sangat mengenal Azka, tak pernah ia sehangat ini, dan setahuku ia tak pernah mengungkapkan perasaanya pada orang lain. Terimaksih Azka, sudah mau menunggu dan menemaiku menerima rasa sakit selama ini.

                                                                                               

Selasa, 3 Agustus 2021

Gina A. Darmawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun